in denial


"and I can tell just what you want. you don't want to be alone. YOU DONT WANT TO BE ALONE. and I can't say it's what you know. but YOU'VE KNOW IT the whole time," - two door cinema club.

"You dont want to be alone. Okay, isn't it obvious?" sambil mengitari bibir gelas dengan ujung jari telunjukmu, tiba-tiba kamu bilang begitu. Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu, posisiku berubah, aku mulai menopang dagu. "Maksudnya?" kataku.

Sementara matamu masih mengikuti gerakan telunjukmu, kamu menjawab dengan nada serius. "Iya, siapa sih yang mau alone? Stupid song. People is just stupid!"

Obrolan malam memang sering tak bertema, tak berbatas. Kadang kita habiskan malam diam saja berdua. Ditemani gelas-gelas minuman dingin yang kita teguk perlahan. Dan aku tahu, kapan, apa yang kamu katakan bukanlah apa yang kamu maksud. Malam ini contohnya, kalimat itu misalnya.

"Mungkin dia enggak bodoh, cuman clueless," komentarku sambil membuka menu kembali. Aku tahu ini akan jadi malam yang panjang. Dan aku lapar.

Di luar perkiraan perkataanku mendapatkan perhatianmu. Seketika kamu menoleh, kedua tanganmu kamu lipat rapi di atas meja bundar tinggi itu. "Siapa?" katamu sambil mengerenyitkan kening.

Kupandang suasana cafe sekeliling. Sepi. Kucari di mana dia, si pelayan yang bisa membawakanku makanan. "Ah, itu dia," kataku dalam hati. Kuangkat tangan kanan dan kupanggil dia, sambil tersenyum tentunya. Si pelayan mengerti isyaratku, dia mengangguk, tapi tangannya penuh tray berisi makanan. Aku tahu, dia akan datang setelah selesai mengantar beberapa loyang pizza di tangannya.

"Iya, siapapun yang kamu omongin. Bukan kesal sama Two Door Cinema Club, kan?" kataku tenang. Entah mengapa tapi ada sensasi luar biasa kalau aku bisa menebak tepat lalu menanggapi orang panik dengan tenang. "Yes, i am zen," kataku dalam hati.

Wajahmu mulai merah. Tapi bukan rona yang sama ketika kamu jatuh cinta. Kali ini, tebakanku salah. "Iya. Dia. Siapa lagi orang yang bodoh. Paling bodoh di dunia. Bikin kelakuan gila dan bikin semua orang enggak bahagia. Why people hurt those who love them the most? And why they acted like its never happened. And why they think others will forgive them just like that? He is one crazy guy!" katamu dengan cepat sampai aku pikir kamu sedang mengutip Eminem.

Sambil mengambil gelas panjang dari tangannya, aku bilang, "kamu mabuk, yah?" Kedua telapak tangan kamu buka lalu kamu tutup wajahmu. Andai meja bundar ini enggak sebesar ini, sudah kubuka paksa tangan di mukamu itu. Lagipula si mas pelayan tiba-tiba datang.

"Classic Margarita, medium satu, mas. Makasih ya," kataku kilat. Aku juga sebenarnya heran, aksi buka-buka menu tidak pernah membuahkan ide untuk memesan yang lain. Hanya yang itu, pizza klasik kesukaanku.

"Enggak, aku enggak mabuk!" katamu. Dan aku percaya, kita memang enggak minum minuman keras. Toh pertanyaan itu juga aku ucap hanya karena omonganmu yang melantur. Lalu perlahan, wajahmu terlihat. Mulai dari kening di belakang ponimu yang ajaibnya tidak pernah terkena jerawat. Lalu alismu yang kamu biarkan natural dan tebal. Dan matamu, mata terangmu yang entah kenapa selalu tampak berkaca-kaca. Apa yang menyebabkan bola matamu itu lembab berlebihan?

Tapi malam ini berbeda, matamu basah. Sampai pucuk bulu mata. Dan kedua telapak tangan. Hidungmu merah. Kau gigit bibirmu dan mulai terisak. "He's cheating on me," kamu bilang dengan suara pelan. Lambat-laun wajahmu mendekat ke meja, sampai aku tak bisa lagi melihat apa yang terjadi di balik rambutmu yang mulai terlihat panjang. "Kenapa?" mulutmu bersuara di balik dekapan kedua tanganmu.

Seketika darah dari perut memompa ke jantung dan meninggalkan bagian tengah tubuhku kosong. Jantungku berdebar kencang. Entah rasa apa ini, senang atau sedih. Yang pasti, aku benci melihatmu begini. Racauanmu dalam bahasa inggris selalu muncul kalau hal buruk terjadi. "Abis kalo ngomongin hal kayak gini pake bahasa indonesia jadi kayak sinetron, nggak, sih?" dulu kamu pernah bilang begitu.

"He'll come back. You know he will," sambil meremas jemariku sendiri, aku berusaha menenangkan.

Kamu mulai bangun dan mengusap tapak air matamu dengan beberapa lembar tissue. "He's not going anywhere. I've said that i forgive him. But that doesn't change the fact what he did, right? Kita enggak putus. Aku cuma kesal aja," kamu bilang.

Dan lagi, segalon darah dari kepala meluncur ke kaki, meninggalkan kepalaku menjadi seperti balon melayang sendirian di atas leher. "I see," aku bilang.

Ketika seloyang pizza datang, wajahmu sudah tak merah, kamu sudah tak lagi marah. Sementara di kepalaku hanya terngiang perkataanmu di awal malam. "Why people hurt those who love them the most?"

"Ayo, kesukaanmu, nih!" katamu dengan mulut penuh classic margarita, membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum. "Karena kadang, kita enggak sadar, siapa orang yang paling sayang sama kita. Walaupun dia selalu ada setiap kali kita mau," aku bilang sambil mengambil potongan pizza paling besar.

Dan kamu terseyum, senyuman paling manis. Yang lagi-lagi aku tahu, bukan karena aku. Lucu, kadang, betapa sesuatu yang membuat kita senang bukan sesuatu yang ada di depan kita. Betapa sesuatu yang membuat kita senang justru yang selalu membuat kita sedih. Dan itu terjadi pada kamu, bersamaan dengan terjadinya padaku. Dan lucu bagaimana kita tidak bisa mengatur perasaan kita. Tidak karena alasan agama, tidak karena alasan kasta, tidak karena alasan jenis kelamin.

Senyum menutup malam dalam kepura-puraan. Kamu, berpura-pura bahwa dia akan membuatmu bahagia. Dan aku berpura-pura kamu tidak membuatku menderita. Dan ini manusiawi, toh kita ditakdirkan berotak sempurna, lengkap dengan mekanisme pertahanan.

Kalau kamu yang ngomong, pasti kamu akan bilang, "we human are so smart, we have defense mechanism, it make us live stronger in denial."

+++

"Sometimes reality has a way of sneaking up and biting us in the ass....we are tired, we re scared, denying it doesn't change the truth. sooner or later we have to put aside our denial and face the world." dr. Grey

Comments