Dua Puluh Dua

 

"The trick is growing up without growing old." Casey Stengel.
  
Being twenty-something is hard. Begitu kata sebuah buku yang pernah saya baca sampulnya. Tidak perlu lah saya keluarkan uang untuk membelinya. Kalau saya bayangkan isinya menjelaskan mengapa umur dua puluhan itu susah. Asumsinya lebih susah dibanding dua belas, yah.

Putar waktu ke usia dua puluh dua. Dengan senang hati saya kembali. Bahkan seringkali saya lupa usia, setiap ditanya saya jawab dua puluh dua. Padahal itu empat tahun lalu. Setiap orang punya usia paling bahagia, bagi saya, dua puluh dua. Masih skripsi, sudah bekerja, keluarga kumpul, masih biasa saja, tidak terlalu banyak drama. Anak paling kecil tapi sudah bisa bantu orang tua. Rasanya bangga.

Tapi dua puluh dua tidak lama. Dia mau dirasa setahun saja. Sisanya? Kalau boleh hiperbola, senyum saya berhenti di dua puluh dua.

Masih ingat rasanya, semangat mengejar impian. Bahkan seringkali dengan jumawa mengumbar pada kawan. Seperti bilang belum mau menikah kalau belum pernah pergi ke Jepang. Minimal sebelum umur 40 sudah harus ke sana. Atau waktu ditertawai teman ketika bilang, maksimal umur dua puluh lima harus sudah jadi editor. Juga waktu bilang, sebelum menikah harus sudah mulai kredit tempat tinggal sendiri. Atau waktu sesumbar, harus bisa berangkatkan ibu naik haji. Ha-ha-ha.

Kadang lupa, kalau pernah sesemangat itu. Rasanya rindu...

Comments