John Adams Dalam Pelarian



Seperti di adegan romcom. Aku berlari, kamu menyambut. Lalu kita berpelukan sambil berputar.
Entah itu wajahmu yang unik tak terdefinisikan. Atau rambutmu yang kau cat biru. Atau memang hanya senyum yang tak bisa tidak menular setiap kali dia berkembang. Atau ya kamu saja alasannya. Bahkan aku tak ingat apa sebabnya. Bahkan aku tak ingat kapan bermulanya perasaan menggebu untuk memeluk. Sampai menekukkan kaki seperti peran utama film remaja di ciuman pertama.
Yang pasti bukan keahlianmu menggebuk drum, alasannya.

Sekali lagi kamu tersenyum. Mau tak mau aku juga. Rasanya seperti terjaga sepanjang malam ditambah segelas alkohol. Kau tangkap ringan kepalaku dengan genggaman tangan. Kita pun berlalu. Entah ke mana itu, yang kutahu, asal kamu menggenggam tanganku.
Perjalanan kita panjang. Harus berbagi kendaraan dengan lain petualang. Tak apa, selama kita bersama.

Seketika suasana membiru lalu hitam. Wajah para petualang menegang. Tampak segerombolan klan lengkap dengan atribut berwarna bumi. Cokelat, hijau, hitam. Mendekat mereka, masuk ke armada.

"Come with us, you can do some work," kata seorang perempuan tua berkulit kisut bergigi hitam bertutup kepala ala pengantin Minang. Setelah berkata begitu sambil menunjuk ke arahku, dia menoleh ke belakang.

"You too," tunjuknya pada seorang perempuan di seberangku. Dan sepanjang kejadian yang ada di pikiranku hanya satu. Jangan sampai klan ini membawamu juga.

Alasan ini juga yang membuatku melepaskan genggaman tadi. Sesaat sebelum armada kita diberhentikan klan. "When they come, pretend that you don't know me. They won't take you," paksaku. Dengan wajah bingung, kamu menurut dan menunduk.

Tak lama, perempuan tua itu turun. Berharap aku dan satu perempuan lagi yang ditunjuknya mengikuti. Aku tak mau. Aku tak rela. "Please, John, I don't want to go!" pekikku.

Beberapa doa didengar. Beberapa keinginan kita dalam hidup akan terwujud. Dan kadang, jawaban datang dari orang yang sama sekali tidak kita kenal.

"Don't worry, I won't let them take you," kata sang supir. Sambil menginjak gas dan banting setir ke kanan. Kabur dari barisan klan dan armada mereka, barisan kerbau hitam bermata hitam gelap bulat. Berbadan besar, gempal, dan kuat.

Sekilas kulihat wajah si perempuan tua di klan itu. Melihatku kabur entah mengapa dia tak terkejut. Tak pula berusaha mengejar. Dia tatap lekat mataku seakan berisyarat, aku bisa kabur kali ini tapi tidak kali nanti. Rasakan tatapannya di mataku, waktu seolah gelang karet yang diregang perlahan. Semua bergerak dengan ganjil, tak nyata.

Sementara kamu ikut cemas setengah mati. Kembali kamu menggenggam tanganku. Kencang. Dua duanya tak ingin kau lepas. Wajahmu pun panik, menoleh ke kanan kiri. Tak pasti apa yang kamu ingin temui. Mungkin jalan keluar. Mungkin kesempatan untuk lari.

John, ternyata memang kamu yang aku cari. Dan kita mengabur bersama armada yang disupiri seorang lelaki pembela. Lengkap dengan doa semua petualang di dalamnya. Entah, mau dibawa ke mana kita. Oh, dunia.

**

The thing about vivid dreams are, when you wake up, you really thought they were real. Like you, John Adams.

Comments