Terjebak di Kedua Mata Erika



They said, love is love.
 ***

Seperti masuk ke dalam lift berdua dengan orang asing. Perlahan, tatapan kosong, sesekali melihat angka-angka yang menyala, sudah sampai di mana kita? Lalu kembali larut di dalam pikiran sendiri. Menanti dengan sesuatu yang mengganjal di hati. Kadang pilihan yang ada hanya menatap ke depan. Berdiri tepat di depan pintu, di tengah kubus berjalan, melihat bayangan tubuh terbagi dua. Ada jeda, ia tak terbagi sempurna. Lambat laun jeda melebar, makin berjarak, makin terbuka. Terang… terang… terang!
***

“Pagi!”

Senyummu membuyarkan imagi.

Ada banyak kata dalam kamus yang bisa aku pilih untuk menjelaskan detik ini. Kamu, tidak ada di dalamnya. Kata untuk membalas sapaanmu, juga tak bisa kutemukan. Apalagi frase untuk mengungkapkan apa yang saat ini membuat hatiku berlompatan seperti bayi kodok di kolam menyambut hujan.

“Hujan terus yah. Nice boots by the way.” Katamu. Lalu kau tarik kursi mendekat ke mejamu. Menyimpan tas, jaket, dan hoodie yang baru saja kau lepas dari kepala. Setelah duduk, kau langsung menyangga dagu dengan kedua tangmu. Menghadapku. Tersenyum lagi. Lalu menoleh ke kanan, menatap jauh ke luar jendela kaca. Setiap pagi, kau memandang entah ke mana. Kadang kupikir, jika tidak ada bongkahan kaca tebal besar di jendelamu, kau akan lompat. Begitu saja. Apa yang kau lihat di luar sana?

Masih saja kau lihat ke luar. Aku menoleh ke kiri, ke jendela yang sama. Yang kulihat hanya bayanganmu. Pantulan senyummu yang mengembang di jendela kaca yang bertahan diserang derasnya hujan.

Sejak pertama kali kau bilang suka hujan, aku mulai berdoa  tiap malam. Entah pada siapa. Pada para dewa yang mengatur cuaca, kugantung terbalik semua teru-teru bozu di jendela, pun pada Tuhan yang maha kuasa. Semua hanya untuk sapaan ini. Pujian ini. Obrolan ini.

“Tapi aku suka. Enggak panas. Kadang suka merasa berdosa, pengen hujan setiap hari padahal jadinya macet di mana-mana. Padahal yang lain kebanjiran. Tapi, aku suka.” Katamu sambil menggaruk kepala, rambut pendekmu jadi berantakan. Kadang tanpa sengaja kau senggol batang kacamatamu sampai dia mau jatuh. Dan aku anggap hariku sempurna ketika melihatmu membenarkan posisi kacamata dengan mendorong batangnya yang bersandar di hidungmu. Kacamata. Hah, mana kaca matamu?

“Sial. Kacamata ketinggalan! Buta deh.” Katamu sambil mendekatkan kedua mata cokelat tua itu ke depan kedua mataku. Dari semua orang di dunia, sepertinya kau yang paling tidak mengerti arti personal space. Karena hanya ada beberapa centimeter jarak di antara wajah kita. Wajahmu, yang tiap pagi kupandangi. Yang tiap siang kucari. Tiap sore coba kuhindari. Dan tiap malam kurindukan. Dan kini di depanmu, aku terdiam. Dan kau, lagi-lagi tersenyum.

Kau banting tubuhmu ke kursi. Tertawa. Lalu kau rogoh saku celana, mengambil smart phone berbalut casing hitam legam. Suara laki-laki, menyanyikan lagu pop down tempo. Suaranya melengking, seperti Chris Martin. Tapi aku yakin betul, itu bukan lagu Coldplay. Lagu siapa itu?

“Roger. Siap!” Jawabmu singkat. Lalu kembali menyimpan smart phone di saku. Kamu paling suka ponsel berukuran genggaman tangan. Meskipun sekarang sedang musim ponsel layar sentuh berukuran lima inci, kamu setia pada yang lama. Empat inci paling pas di tangan, katamu dulu. Dan seperti semua hal di badan dan hidupmu, kau dandani dia dengan warna kesukaan, hitam.

“Cabut ya. Titip meja, enggak tau sampai kapan. Kayaknya hari ini urusannya bakal lama. Have a nice day, you!” Katamu sambil berlalu. Tidak lupa kau simpan sekotak permen herbal di sampingku. “Musim sakit tenggorokan!” teriakmu di sana, di depan pintu keluar.

Permen original herb, bebas gula. Mulai sekarang, ini permen kesukaanku!
***

Ku angkat ke atas, kuintip ke dalamnya. Ternyata memang ini butir permen terakhir di dalam kotak karton berwarna kuning ini. Kulempar pandang ke depan. Meja kosong, tak ada kau, wajahmu, dan aroma parfum manis yang menggigit di hidungku. Sejak keluar kantor kemarin, tidak ada tanda-tanda kepulanganmu. Tapi begitulah, kau lebih sering di luar, sementara aku di sini saja di depan laptop. Entah bagaimana kau di luar sana, bagaimana orang lain memandangmu. Kuharap mata mereka serupa denganku, penuh rindu.

Dunia seketika gelap. Tapi lebih gelap dari kelamnya langit di luar jendela malam ini. Dan dingin memeluk mata.

“Tebak siapa?” suara yang kukenal lebih dari suaraku sendiri. Kau telah kembali. Ah, selamat datang kembali!

Kau pun berlalu, lagi-lagi menjatuhkan badan ke kursi. Wajahmu berkeringat. Padahal di luar sudah malam, kau tampak kelelahan.

“Kok belum pulang? Tinggal kamu sendirian, lho. Enggak takut?” tanyamu dengan wajah menggoda. “Pasti nungguin aku, yah?” tambahmu sambil membuka laptop. Membuka kotak kacamata, lalu memakainya. Lalu terbenam dalam tulisan. Sesekali kau lempar ponimu ke belakang. Seakan mereka menghalangi pandangan. Padahal kau hanya membutuhkan beberapa detik tambahan untuk berpikir apa yang akan kau tuliskan.

Pemandangan yang kutunggu sejak kemarin. Ah tidak. Pemandangan yang kutunggu seumur hidupku.
***
Terakhir kali kulirik jam di tangan kiriku, masih pukul delapan malam. Tidak terasa jarumnya sudah mengarah ke pukul sebelas. Kamu masih saja serius. Sementara aku masih berpura-pura sibuk. Sampai akhirnya kudengar laptop ditutup. Kau masukkan semua barang ke dalam tas. Tas besar berwarna hitam dengan model sederhana, persegi dengan dua saku. Ala postman bag tapi berbahan kanvas. Kau lebih suka
bahan ringan karena semua barang di dalamnya berat. Aku tahu.

“Kamu masih ngerjain apa sih?” Tiba-tiba bagian belakang kepalamu ada di depan hidungku. Setahuku minus matamu hanya satu di mata kanan dan satu setengah di mata kiri. Kau tidak harus memandang begitu dekat ke layar untuk membacanya. Sekali lagi, kau hanya menggodaku.

“Hari ini malamnya dingin banget, yah. Aku jadi inget waktu kita semua jalan-jalan ke Bandung. Eh, udah lama deh kamu enggak pake sweater hitam itu, kenapa? Bagus lho. Scarf aku juga hilang tuh waktu itu, sebel banget. Padahal aku suka. Rambut kamu juga waktu itu belum sepanjang sekarang. Enggak mau potong lagi? Kayaknya lebih cocok agak pendek deh,” katamu sambil makin mendekat. Sambil memegang rambutku, seperti sedang mengukur panjangnya. Lalu wajahmu makin mendekat di depan wajahku. Terlalu dekat. Terlalu dekat. Tolong mundur sekarang. Kalau tidak, kalau tidak..
***

Kau terperanjat. Tiba-tiba menarik badanmu ke belakang, sampai terduduk di lantai karena jatuh dari kursi. Mata bulatmu membelalak, kau tutup bibirmu dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri berusaha menahan tubuhmu di lantai. Kau menatapku dengan ekspresi yang belum pernah kulihat di wajahmu sebelumnya, horror. Aku terpaku pada tatapanmu. Tak tahu harus berbuat apa.

Tanpa bicara sepatah kata pun, kau berdiri, mengambil tasmu yang tergeletak di lantai. Lalu berlalu. Begitu saja. Aku memandangi kepergianmu. Menunggumu meneriakkan sesuatu. Ah tidak, menunggumu berbalik lalu tersenyum. Ah itu juga bohong, menunggumu berbalik, berlari, dan memelukku. Tapi kau hanya berlalu. Tidak memelukku, bahkan tidak membalas ciumanku.
***

Dan pagi ini, kita berada di ruangan yang sama. Hanya berdua. Menunggu penugasan dari atasan. Duduk bersampingan yang awalnya adalah surge bagiku, kini… Seperti masuk ke dalam lift berdua dengan orang asing. Perlahan, tatapan kosong, sesekali melihat angka-angka yang menyala, sudah sampai di mana kita? Lalu kembali larut di dalam pikiran sendiri. Menanti dengan sesuatu yang mengganjal di hati. Kadang pilihan yang ada hanya menatap ke depan. Berdiri tepat di depan pintu, di tengah kubus berjalan, melihat bayangan tubuh terbagi dua. Ada jeda, ia tak terbagi sempurna. Lambat laun jeda melebar, makin berjarak, makin terbuka. Terang… terang… terang!

“Erika, Dara, masuk ke ruangan saya sekarang.” Kata-kata Pak Rudolf memecah lamunanku.

Comments

Post a Comment