Wartawan Versus Netizen, Mungkin Enggak Harus Versus tapi Gandengan Tangan

Salah Satu Sesi yang saya hadiri di Social Media Week 2016, bersama Yusuf Arifin, Editor In Chief CNN Indonesia.

Saya enggak kelihatan di foto ini, karena bukan pembicara, ha-ha-ha. (foto: @SMWJakarta) 


“Sebagai wartawan, saya tergagap-gagap karena media sosial,” salah satu kalimat pembuka dari Yusuf Arifin, yang mungkin dirasakan banyak wartawan jaman sekarang.

Kalau udah ngomongin profesi wartawan, media massa, media digital, kayaknya rame banget. Seenggaknya di kalangan saya, pasca tulisan Bre Redana yang judulnya Inikah SenjakalaKami lalu disusul berbagai reaksi dari sana-sini yang viral kemudian jadi overrated. Sebagai yang menyantap tulisan dari kedua sisi, saya sih menemukan keduanya bermanfaat tanpa berpihak pada salah satu sisi.

Sebagai orang yang bekerja di perusahaan media yang menutup beberapa media cetaknya, ya, banyak kenyataan yang memperlihatkan kalau media cetak menghadapi senjakala. Sebagai orang yang bekerja di media digital, ya, banyak usaha yang bisa dilakukan supaya itu enggak terjadi. Dunianya berubah, rupa dan tata cara media juga mesti berubah sih, menurut saya.

Lalu ketika Editor In Chief CNN Indonesia itu ngomong begitu di sesi kali ini, sontak banyak yang tertawa. Sebagian karena memang mengikuti isunya, sebagain mungkin karena cara beliau bicara yang kocak. Dan sebenarya di sesi ini ada banyak pembicara, tapi yang lainnya dari sisi brand, saya mau menulis yang dari sisi media massa ini saja.

Digital media

Media massa digital, atau di Indonesia bisa disebut “online” saja, juga awalnya membuat Yusuf kewalahan. Di mana dulunya dia wartawan media cetak. Makanya ketika Detik.com muncul dengan pola penulisan yang banyak dianggap salah tapi terbukti disantap banyak pembaca, dia pun tergagap-gagap. Di satu sisi harus mengikut tren, di sisi lain, enggak sepakat sama pola penulisan Detik yang umumnya enggak mengikuti kaidah penulisan berita 5W1H dalam satu beritanya. Detik biasa memotong satu berita lengkap menjadi beberapa berita, sehingga, ketika kita enggak membaca seluruhnya maka kita enggak akan mengerti duduk perkaranya secara keseluruhan. Tapi, pada masanya dia malah sukses, karena pembaca suka. Akhirnya media online lain jadi mengikuti, bisa dibilang Detik membuat tren penulisan media online di Indonesia.

Halo, Netizen!

Setelah menghadapi persaingan beradu cepat dengan media online, datanlah yang namanya netizen. Para pengguna media sosial yang dengan senang hati membagikan informasi yang cepat tanpa mengharapkan bayaran. Kembali lagi wartawan menghadapi tantangan. Lalu, harus bagaimana menghadapinya?

Yusuf bilang, semua yang disampaikan netizen adalah informasi. Sebagai wartawan, kita lah yang harus mengubahnya menjadi berita. Sebagai wartawan harus mencerna setiap informasi dengan skeptis. Bukan langsung, “wah!” Tapi mikir, “kenapa dan gimana?”

Ini juga sih, yang saya lakukan di website saya. Misalnya, ketika beredar broadcast message atau tweet atau status di Path soal tanaman yang bisa menyebabkan kanker, kita yang harus memverifikasinya dan mencari kebenarannya, baru menuliskannya menjadi berita. Atau contoh lebih luasnya adalah ketika beredar informasi penembakan dan bom di lokasi lain, ketika bom di Starbucks Sarinah meledak, Kompas.com mencari informasi kebenarannya lalu menuliskan beritanya.

Jadi, daripada melihat netizen sebagai saingan, sebenarnya kita mestinya berjabat tangan. Mereka yang ngasih tip awal, mereka yang membentuk opini awal, mengumpulkan massa untuk tema itu, dan di akhirnya wartawan jugalah yang akan memberikan beritanya.

Asal, wartawannya aja jangan berperilaku kayak netizen ya? Yang kadang dengan mudahnya terpengaruh sama informasi enggak bertanggung jawab kemudian dengan mudahnya melemparkannya lagi dengan kemasan “berita.” Baik dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari. Eh, saya juga harus hati-hati, sih. Karena sesinya pendek, mungkin enggak banyak yang Yusuf bisa bagikan, tapi cara penyampainnya yang khas wartawan banget, story telling, dia pun dihadiahi tepukan tangan meriah dari audience.


Baca juga ulasan sesi ini dari website resmi Social Media Week 2016, di sini.

Comments