Cil, kamu iteman! Dan 9 Pujian Menyenangkan Lainnya

If you know what I mean, right? People. Ha ha ha.


"And then one day everything fell into place because I finally decided to be okay with being me."

Contrary to popular believe (as if), enggak semua bayi dilahirkan berkulit putih. Enggak semua orang kulitnya gelap hanya karena panas-panasan. Sebagian orang memang sejak lahir kulitnya sudah gelap. Enggak usah ngomongin orang berkulit gelap yang berasal dari benua lain, deh. Juga enggak usah ngambil contoh temen-teman kita di Indonesia timur. Di Pulau Jawa aja yang dekat, kulit orang beda-beda warnanya. Some have darker brown skin than others and that people, is NORMAL. Ini konsep sederhana yang saya yakin semua orang sudah tahu tapi enggak paham atau lupa atau terlalu banyak terkena terpaan iklan dan menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar nonton image kecantikan yang dianggap ideal dan terlanjur tertanam di otak. Dan wajar, mengingat ketika masih sekolah dulu konsep cantik ideal yang disepakati bersama ini juga gets into me.

Waktu masih SMP dulu, dibilang "iteman" atau "item banget" bisa bikin saya menangis di kamar. Lalu menyalahkan ibu kenapa melahirkan saya. Lalu menyalahkan ibu kenapa menikah sama bapak yang kulitnya hitam (ibu saya kulitnya putih sekeluarga soalnya). Kan saya jadi hitam, jelek. 

"Ya, kamu enggak jelek-jelek amat, lah," kata ibu saya ketika itu sambil lalu.

ENGGAK JELEK-JELEK AMAT?
*Saking shock-nya berhenti nangis. Ha-ha-ha.


Tahu, dong, mana yang kakak kandung saya? 

So I've been deal with it since early age. I've outgrown my enemy. Jadi sekarang, kalau ada yang bilang (dan ini sering sekali terjadi khususnya berasal dari rekan kerja atau teman laki-laki) "Cil, kamu iteman" saya malah tertawa. Kenapa? For me now, my tan skin is my happy skin!

Kalau saya iteman, artinya saya habis bermain di bawah matahari. Artinya saya habis liburan. Atau liputan ke tempat-tempat menyenangkan. Karena kulit saya sudah gelap (tidak hitam ya, nanti dibilang ngaku-ngaku sama yang ras kulit hitam, saya cokelat, cokelat agak pekat) kena matahari sedikit saya makin mengkilat, kan, khususnya di hidung, always. Mengingat saya juga alergi sunblock (yea its real, sudah coba berbagai merk) jadi saya cuma mengandalkan after sun supaya enggak terbakar dan melepuh. Sisanya, saya mengandalkan pigmen, dan bismillah.




Sejak kuliah, saya sudah menerima konsep warna kulit ini. Karena saya tahu memang enggak bisa diubah. Bisa diusahakan? Bagi sebagian orang enggak, sih. FYI. Dan jaman sekolah dulu memang sempat berusaha. Tapi sejak kuliah (terima kasih jurusan Jurnalistik) apalagi masuk ke dunia kerja, saya sudah berhenti berusaha mengubah 'keadaan.'

Tentunya setelah dimarahi ibu ketika SMA karena harus ngeluarin uang banyak di dokter kulit gara-gara saya nyoba pakai lotion pemutih, ternyata alergi juga. Setelah bertemu banyak perempuan lain yang menyenangkan dan cantik tanpa melihat warna kulit. Setelah berkali-kali "ditembak" dan secara spesifik pernah ada satu cowok yang bilang, "kamu item sih, tapi enggak kucel, jadi ya lumayan, lah."

LUMAYAN LAH!
*Key, thanks! Those boys we met in school yah, memang asik sekali! (If you know what I mean).


Lumayan, lah, ya, hemmmn.

Juga setelah mengalami pengalaman paling absurd yang sepertinya sudah saya ceritakan jutaan kali; ada laki-laki bule yang tiba-tiba menghampiri dan bilang, "OMG, you're so beautiful." Udah. Dia ngomong gitu aja, lalu pergi. Itu saya baru turun dari Kopaja siang-siang terik di Sarinah. Lalu pernah juga di Kemang ada cowok bule tiba-tiba tepuk tangan di depan muka saya dan beberapa teman (yang tone kulitnya serupa) sambil bilang "beautiful, beautiful girls." Lalu saya takut, akhirnya pulang. Setelah pengalaman waktu ke Jepang ada perempuan yang kerja di museum memuji warna kulit saya katanya bagus.

BAGUS KATANYA!
*If you only knew what my childhood friends think about my skin o dear fair lady (gyahahahaha).


Kalau foto sama Adam Young tentu saja kelihatan banget bedanya, ya? La-la-la.


So yes people, saya kadang iteman. Kadang biasa. Tapi enggak pernah putih. Enggak juga berusaha. Kalaupun saya melakukan perawatan kulit, bukan demi kulit putih. Kalaupun ke dokter kulit, saya selalu bilang, "saya enggak mau kulit saya putih, dok, mau ilang aja jerawat dan komedonya." Lalu dokternya jawab, "iya nanti aneh juga yah kalau yang putih cuma mukanya."

MAKASIH LHO, DOK!
*Insert emoji senyum terpaksa.

Saya yakin, ini isu yang cewek banget. Seperti isu beauty concept dan body image lainnya. Pasti semua perempuan pernah mengalaminya. Soal warna kulit ini sendiri kalau menurut saya sih perpaduan antara insecurities, sejarah, dan tuntutan masyarakat. Bisa baca tulisan yang lebih memotret ‘obsesi menjadi putih’ ini, di sini:

Juga suka tulisan rekan-media-swag saya di akun Instagram-nya soal berat badan ini:
"Kok sekarang gendut banget, sih, Drey?" Seberapa sering saya mendengar kata itu keluar dari mulut orang-orang terdekat? Enggak bisa dihitung dengan jari. Menyakitkan? Enggak, sih, tapi mulai jenuh saja. . . Tapi kalau boleh saya balik tanya, saya ingin sekali bertanya, "Memangnya bentuk tubuh saya mengganggu penglihatan kamu banget, ya?" . . Jangan bayangkan saya bertanya dengan nada sinis, tapi dengan nada yang sangat datar. . . Saya bukan orang yang gampang tersinggung ketika orang lain bilang saya gendut, karena jelas saya lebih marah kalau orang bilang saya bodoh. Saya sering dan sudah terbiasa dapat pertanyaan (atau pernyataan) ini, bahkan dari keluarga sekalipun, dari saya masih remaja. . . Saya pernah lebih kurus dari ini di tahun 2008 (berat saya 52 kg saat itu) dan sepertinya orang-orang terjebak dengan figur saya yang kecil waktu itu. Sehingga ketika berat saya sudah mencapai 65 kg, sepertinya saya sudah melakukan dosa besar. Saya mencoreng imej "the small Audrey" in 2008. . . It was 8 FREAKING YEARS AGO. I guess it's time to move on, people. . . Tapi saya juga ingat ketika berat badan saya masih 52 kg, orang mulai berkomentar, "Kok kurus banget sekarang? Jangan kurus-kurus, ah, gak seger kelihatannya!" . . What is my body to you, people? Why should my body fit your beauty standard? Fat is not pretty but skinny is not that impressive either? Is it my job to make my look suits your preferences? . . I've been struggling with this kind of body shaming for so long and it's time for me to say, "Whatever, dude. It's my body, I make my my own standard. I can be as fluffy or petite as I want.". . . Love, Gabriella
A photo posted by Audrey Gabriella (@nengaudrey) on



“Western beauty ideals exist today as a kind of hangover from the colonial pasts of many countries.”

FYI, 9 'pujian' menyenangkan lainnya yang kalaupun enggak diungkapkan enggak apa-apa karena tentunya ybs juga sudah sadar apa yang terjadi dengan dirinya dan walaupun enggak akan menyakiti perasaan mereka lagi (kalau udah dewasa) tapi bisa terkesan rude karena siapa tahu ybs lagi PMS (yes its real and scientificallyproven) atau mungkin lagi berada di titik rendah dalam hidupnya, adalah:

“Kamu gendutan.”
*Sehingga, apa?

“Makannya banyak banget.”
*Situ bayarin?

“Kamu kurusan.”
*Percayalah, bagi sebagian orang ini bukan pujian.

“Kamu jerawatan.”
*Jerawat di muka masak iya enggak kelihatan, yah, sama orangnya sendiri? Yes they know.

“Kamu pake baju kekecilan?”
*Hello, ybs udah ngaca sebelum keluar rumah atau mungkin udah merencanakan pakai apa sejak malam sebelumnya.

“Rambut kenapa, tuh?”
*Makasih, lho, udah ngeluarin duit ratusan ribu ini.

“Kok bisa, udah cantik, pinter, lagi?”
*Seakan keduanya tidak boleh seiring sejalan.

“Ah, putih doang.”
*Kata siapa kalau putih harus cantik? Seakan punya kulit putih enggak cukup da nada tuntutan lainnya.

“Udah, enggak usah capek-capek belajar, dandan aja yang cantik, nunggu cowok ada yang lirik.”
*Seriously pernah ada yang bilang gini sama saya. Speechless.

BTW, tulisan temansaya soal stereotype yang dia terima karena kulitnya yang mirip-mirip sama saya ini juga menarik banget buat dibaca. Sebagai perempuan Asia yang punya pasangan berkulit lebih terang dan tinggal di luar negeri, pengalamannya ini, bikin gemes.

Last but not least, as a girl we endure a long path to finally become a woman who loves our self with all our pinching thorns and velvety petals. Be proud!


Comments

  1. Jadi penasaran, Cil. Kalau di media remaja sekarang ini, konsep kecantikannya seperti zaman kita dulu apa ada yang berubah?

    ReplyDelete

Post a Comment