Dibayar Kontan dengan Seikat Bunga



"Where flowers bloom, so does hope."

"Kenapa sih, aku harus ngasih bunga?" tanya pria berambut keriting panjang, berkumis, dan paling suka memakai celana jeans robek juga kemeja flannel itu sambil rolling his eyes.

Sejak pertanyaan itu muncul belasan tahun lalu, sudah belasan tangkai bunga juga yang kemudian dia beli dan berikan pada saya. Saya, perempuan yang hampir selalu memakai pakaian warna hitam, suka eyeliner hitam tebal, lipstik ungu tua, dan sangat suka pada bunga ini.

"Karena aku suka. Bunga bikin aku senang," jawab saya ketika itu. Dan tampaknya jawaban itu memang sudah cukup. Karena kenyataannya setiap anniversary tanggal jadian dia akan selalu memberikan saya bunga.

Awalnya hanya setangkai mawar merah. Maklum, waktu itu kami masih kuliah, dan harga bunga cukup mahal. Lalu kadang dua, ia tambahkan setangkai mawar putih. Kadang tiga. Lalu kemudian sebuket mawar. Lalu dia belajar kalau dia bisa membeli buket bunga apa saja. Kemudian mulailah saya menerima hydrangea dan calla lilly. Semua bunga kesukaan saya. Semua bunga yang pasti membuat saya tersenyum ketika melihatnya. Semua bunga yang membuat saya merasa bahagia.

Awalnya, ia sengaja mencari penjual bunga. Membelinya, lalu menyimpannya di dalam tas ransel. Kadang bunganya sedikit tertekuk, bisa terlihat di kelopaknya. Dia juga memberikan seikat bunga ketika saya lulus kuliah.

A photo posted by Irfan Fitrat (@irfanfitrat) on
 

Bahkan ketika melamar saya, dia membawa sebuket bunga dan menyembunyikan cincin di tengahnya. Cincin yang enggak bisa saya temukan ketika itu, enggak tahu kenapa. Saya bahkan enggak sadar kalau dia membawa sebuket bunga mawar yang entah kapan ia beli dan bisa-bisanya dia sembunyikan di tas ransel. Padahal ketika itu kami sedang liburan di Jogja dan naik motor. Seperti tukang sulap, dia keluarkan buket bunga itu ketika kami sedang mengunjungi museum Ullen Sentalu

Dia juga sengaja mengajak saya ke sana karena kami memang suka museum dan peninggalan sejarah. Sambil memberikan bunga dan setelah menemukan cincinnya, he pop the question. It was the sweetest thing. It was one of my happiest day.  

Bukan karena dia mengajak saya menikah, tapi bagaimana dia mengajak saya menikah. Karena kalau sepakat menikahnya sih sudah dibicarakan sebelumnya. Saya hanya enggak menyangka kalau dia akan melamar saya secara personal. Saya pikir ya lamaran resmi bersama keluarganya saja nanti ke orang tua saya. Karena saya bukan tipe perempuan yang mengidolakan 'the perfect proposal' or 'the perfect wedding,' saya sangat kaget. Sekaligus menghargai apa yang sudah ia lakukan. How he took the effort for doing so, it was beyond my expectation. 

 



Ketika mempersiapkan pernikahan, dia juga sabar ketika saya kekeuh pengen buket bunga hydrangea. Tapi karena waktu itu budget kami sangat terbatas (baca aja di sini) jadi harus mengalah dan menerima buket paketan dari makeup artist. Dia janji akan memberikan mawar biru. Seingat saya, saya sudah minta mawar putih saja, tapi akhirnya yang tersedia di hari H mawar biru. It looks artificial. But hey, nothing could really make me feel bad that day (baca aja di sini).



 

Lalu, karena kami harus menikah di tanggal 5 September, padahal maunya 7 September supaya sama dengan tanggal jadian, tapi gedungnya cuma bisa tanggal 5 dan tanggal 7 itu Senin, kami tetap merayakan anniversary di tanggal 7. Bebas, lah, ya, ha-ha-ha. Dan di tanggal 7 itu, saya yang sedang honeymoon di Jogja, kaget karena bangun pagi sendirian di kamar hotel. OMG! Jangan-jangan dia berubah pikiran dan kabur? Macam di sinetron. Jujur, saya sempat kaget, sempat mencoba menelepon, maksudnya kenapa enggak bilang-bilang tiba-tiba menghilang, kan aneh, ya? Eh enggak lama, dia datang, dengan seikat bunga, bunga anniversary katanya, sudah biasa katanya. Hampir nangis. Tapi gengsi. Cium aja, deh, ha-ha-ha.



 

Bunga juga berperan di saat things got bad. Semua orang tahu LDR itu banyak tantangannya, salah satunya kualitas komunikasi. Apalagi bagi orang seperti saya yang terlalu banyak dipikirin bukannya diomongin. Sering salah paham. Masalah pun bermunculan. Yang ringan sampai yang berat yang saya pikir hanya bisa terjadi di film saja. Dan hadirlah seikat hydrangea dikelilingi baby's breath. Buket yang paling indah yang pernah saya terima. It was simply beautiful. Dia mengirimnya karena ketika itu juga saya sedang enggak enak badan, enggak enak perasaan, dan mostly discomfort about many things in my life. A bouqet of flower might not make our problems go away, but it sends a message to my heart. Sending hopes.





Tepat di hari setahun pernikahan pun, dia mengirimkan seikat calla lily yang ditemani aster. Semua putih. Ketika saya simpan di dalam vas di kamar, sangat serasi, karena hampir semua barang di kamar saya berwarna putih. Kenapa saya lebih senang diberi bunga daripada barang? Karena bunga-bunga ini sebenarnya jadi bukti, that he listen, he care, he appreciate, and he took the effort to make me happy. And believe me, for a man like him, picking and buying flower is not easy task, he he he.



Senang dikasih bunga.
I'm such a cliche. 
Right?

Dan ketika bunga-bunga ini layu, saya akan keringkan, lalu kembali menyimpannya dalam vas. Kecuali bunga yang memang enggak bisa dikeringkan karena membusuk atau berubah bentuk. Bunga-bunga kering ini juga yang dulu menginspirasi saya menamai blog ini, potpourri memory. Karena setelah kering pun, bunga tetap bisa diapresiasi keindahannya, misalnya dibuat potpourri. Dan bersamanya terus hidup kenangan ketika ia berpindah tangan dari pemberi ke penerima, juga harapan dan senyum di wajah keduanya.

Lalu, enggak  lama setelah saya selesai menulis blog ini di perjalanan travel Jakarta-Bandung, ketika tiba di pool travel, saya dikejutkan dengan setangkai mawar putih.

"Selamat tanggal 4," katanya, berusaha menjawab tanya yang tergambar di wajah saya.

"Ada apa di tanggal 4 November?" tanya saya. "Ada demo," jawabnya enggak serius.

 
A photo posted by Astri Soeparyono (@astrisoeparyono) on

Comments