Kodaline dan Main Lumpur in Style di Lalala Festival

 
Kodaline @ Lalala Festival


“Nothing ever becomes real 'til it is experienced.”

"Ini aku yang udah tua atau memang enggak menyenangkan, sih?" Tanya saya pada Irfan (suami saya) setelah kami berhasil duduk di salah satu bukit di depan panggung utama, beralaskan jas hujan plastik yang ditinggalkan empunya untuk pindah duduk di posisi yang lebih pewe.
"Enggak. Ini memang enggak menyenangkan," jawab Irfan sambil matanya terus memandang sekeliling mencoba memetakan keadaan, sambil geleng-geleng kepala seakan enggak percaya sama apa yang ia lihat dan alami.

Memangnya melihat dan mengalami apa, sih?

Empat jam sebelumnya… Kami siap-siap berangkat ke Lalala Festival. Kata orang, konsepnya menarik. Karena akan jadi festival musik pertama yang diadakan di hutan. Dengan konsep hippie ditandai dengan menyediakan tenda, teepee, hammock, dan meminta kami untuk datang dengan tampilan fashion bohemian lengkap dengan fringe dan flower crown. It's gonna be awesome, right?

Sebenarnya saya sih enggak peduli-peduli banget sama konsepnya. Bahkan saya enggak begitu peduli juga dengan deretan lineup-nya. Satu-satunya alasan saya beli tiket seharga 500K belum ditambah pajak itu adalah karena saya pengen nonton Kodaline. Kalau konsepnya, jadi bonus aja buat saya, bonus pengalaman.

Perjalanan 4 jam itu…
Berangkatlah kami dari Cimahi menuju Pine Forrest Cikole Lembang. Sebagai warga Cimahi, kami paham betul yang namanya Bandung apalagi Lembang pasti macet kalau weekend. Jadi saya merasa cocok naik motor walaupun jauh. Tadinya sempat mikir untuk naik Uber kalau mau dandan. Tapi saya juga tahu Cikole itu dingin. Jadi saya memutuskan untuk memakai celana panjang dan sweater turtle neck. Biar anget, ya, kan?

Dan keputusan kami untuk naik motor sangat tepat. Karena kemacetan yang kami perkirakan itu belum ada apa-apanya. Jalan Raya Lembang bagaikan parkir bersama. Kami yang pakai motor saja sempat stuck enggak bisa bergerak. Melihat Google Maps, aliran kemacetan ini memang bersumber di Lalala Fest. Selain memang ada juga acara reuni dan berbagai wisata alam yang banyak dikunjungi warga tiap harinya. Sehingga ya, saya juga jadi penyebab kemacetan ini. Ada baiknya enggak perlu koar-koar lebih panjang soal macet ini. Mengadakan event di lokasi macet, ya makin gila macetnya. Beruntung saya beli tiket reguler jadi saya bisa datang pukul berapa saja. Dan karena cuma ingin nonton Kodaline saya dan Irfan juga enggak diburu waktu. Yang kasihan, mereka yang beli tiket early entry (harus masuk sebelum 3PM) tapi kemudian perkiraan waktu tempuhnya meleset sehingga harus upgrade ke tiket reguler. Kami sih sempat mampir dulu makan di Ayam Goreng Brebes mumpung lewat dan laper. Baru melanjutkan perjalanan dalam kemacetan.

Papan arahnya, mana, yah?
Setelah mengarungi bahtera kemacetan luar biasa itu, sampailah kami di Pine Forrest yang depannya berantakan sama posisi parkir kendaraan yang amburadul dan tukang ojek. Saya yang belum pernah ke Pine Forrest enggak akan tahu event-nya ada di titik itu kalau enggak ngeliat 'dedek-dedek' berdandan boho lengkap dengan gold temporary tattoo di wajah. Enggak salah lagi, di sini acaranya! Irfan pun mencari spot seadanya dan enggak tertata untuk parkir motor. Kenapa dedek? Karena saya yakin mereka berusia dua puluhan atau kurang, yang seumuran juga ada sih, tapi enggak banyak. Kelihatan dari raut mukanya, yang 30-an udah ada raut muka tagihan dan deadline.

Little that I know, ternyata space parkir memang minim banget. Sehingga pengunjung diminta parkir cukup jauh dari venue dan dijanjikan shuttle car. Ternyata mobil-mobil orange tanpa logo yang saya lihat itu shuttle car yang disediakan panitia. Baca kisah shuttle car ini di comment Instagram ini. Well, panitia sudah berusaha, lho.


A photo posted by Suara Penonton LALALA Fest (@feedback_lalalafest) on
 
Kami pun menuju venue yang minim penerangan. Saking gelapnya, saya melewatkan tempat menukarkan tiket dengan bracelet. Bodohnya, saya berasumsi spot menukarkan bracelet dekat pintu masuk, dong? Tahunya sekitar 10 menit jalan kaki jaraknya. Oke fine, saya dan Irfan balik lagi untuk menukarkan tiket dengan bracelet.

Awalnya saya pikir cuma saya saja yang melakukan kebodohan ini, nope, saya lihat di Instagram beberapa orang juga mengalami ini saking gelapnya dan kurangnya panitia yang bertugas di pintu masuk. Enggak ada yang mengingatkan gitu. Dan kebiasaan digiring sama panitia juga sih kalau konser kan? Memang yang ini jadi pembelajaran buat saya juga. Jangan terlalu berharap diurus sama panitia, walaupun kita mengeluarkan uang untuk itu yah, jangan berharap banyak. Lesson learned.

Bracelet apa ini?
Begitu menerima bracelet, saya langsung berpikir, “ini kita di acara apa sih? Kok tulisan di bracelet-nya SH Power EDM Fest? Perasaan saya mau nonton Kodaline, sejak kapan deh ah mereka jadi EDM?”




Ini gelangnya. Saya anak EDM banget.

Like, bracelet konser itu suka dikoleksi orang sebagai memorabilia lho, lha ini apa kabar? FYI, saya juga beli tiketnya sebulan sebelum konser, bukan on the spot. Tapi karena saya sudah kadung bete harus jalan bolak-balik, saya pasrah. Yang penting nonton Kodaline. Saya juga enggak enak sama Irfan yang udah saya tarik-tarik ke Cikole, kalau sayanya malah cemberut. Oke, mari kita jalan ke venue!

Kegelapan dan ketidakjelasan sign di lokasi kembali membuat kami bingung. Bahkan sudah membaca peta pun tetap bingung. Karena percuma ada peta kalau kenyataannya di depan mata gelap dan berbukit-bukit, enggak kelihatan. Juga karena venue luas, kami enggak bisa bergerak mendekati sumber suara. Enggak kedengeran siapa dan di mana band-nya manggung. Ya udah, kami mengikuti arus ke mana orang berjalan. Dan betapa itu menyesatkan! Kami malah ke lokasi stan makanan yang ramenya ampun-ampunan sampai susah melintas.

Little that I know, ternyata sekitar jam 6 sore, lampu sempat mati. Banyak stan yang kehabisan makanan (mungkin butuh waktu untuk masak batch selanjutnya) sehingga beberapa pengunjung mengeluhkan kelaparan. Mengingat masuk ke venue ini juga kan enggak boleh membawa makanan atau minuman dari luar. Kisah ini saya baca di salah satu caption di Instagram juga. Poor thing!

Dan sebenernya situasi enggak akan seheboh itu kalau, jalanannya enggak berlumpur. Jangan bayangkan saya anaknya enggak mau kotor dan manja ngeliat lumpur sedikit, yah. Ini sih, mud fest!

Main lumpur in style
Saya dan Irfan tahu sebenarnya kalau November itu bulan penghujan, jadi kami siap bawa jas hujan. Baik untuk di motor ataupun di konser. Jadi kami membawa jasnya di backpack. Lalu saya juga pakai jelly shoes karena khawatir becek atau hujan jadi enggak takut sepatu basah. Tapi betapa kami enggak menyangka kalau harus menghadapi lumpur semata kaki dalamnya.

Ketika pertama kali sepatu Melissa saya tenggelam di lumpur, saya pengen nangis. Enggak tega melihatnya, sedih. Soalnya barang saya enggak banyak, yang saya punya sekarang itu memang saya bener-bener sayang (lebay). Irfan juga kesal, sepatunya yang baru dicuci langsung berubah warna. Memang kami yang salah, udah tau mau ke Cikole, udah tahu musim hujan, harusnya pakai boots karet, dong? Dan keselnya lagi, saya sebenarnya punya. Tapi pikiran saya kalah saya harapan dan kepercayaan mutlak (dan agak bodoh) bahwasanya, "masak sih, panitia enggak mempertimbangkan soal ini ketika bikin event? Masak sih mereka enggak membuat pathway yang membuat pengunjung nyaman?" It was a total mudfest!

 
'Anak Kota Masuk Hutan?!' 👦🏻: "Udah tau acaranya di dalem hutan dan musim ujan! Kenapa pake sepatu gladiator?" 👧🏻: "Abis di iklannya (video teaser) gitu...." Sebuah perbincangan singkat kemarin malam dengan seseorang yang kepleset di lumpur, dan sepatu gladiatornya rusak (tali putus dan sol-nya lepas) di #LALALAfest Banyak komentar negatif yang gue baca soal #LALALAfest, sedih harus mengakui kalau sebagian besar gue setuju acara tersebut kacau; panitia yang gak tau apa-apa tiap ditanya, penerangan beberapa titik yang gak ada, minim tanda penunjuk arah, jadwal yang berantakan, dan lain-lain. Tapi ada banyak juga yang menurut gue gak masuk akal dan terlalu aneh untuk di-protes-in, kalau iseng cek sendiri deh komentar-komentar orang soal #LALALAfest. Di luar itu gue salut sama para artis yang tetep tampil maksimal walau dengan segala macam masalah di baliknya. Persiapan panitia amat sangat penting, tapi persiapan (dan logika) kita sebagai pengunjung juga penting. Semoga bisa jadi pelajaran buat semuanya, panitia maupun pengunjungnya. Jangan sampai ada lagi kalimat, "Namanya juga anak kota masuk hutan!" Btw, ini (foto di atas) sepatu temen gue yang seharian dipake di #LALALAfest, gak tau mau dicuci atau dipajang aja buat kenang-kenangan.
A photo posted by Aulia Soemitro (@aulsoemitro) on
 
Banyak yang kemudian jadinya nyeker dan menenteng sepatu. Ada juga yang dapat boots karet tapi saya enggak tahu di mana dibagikannya. Karena jalanan berlumpur telah mengalahkan keinginan kami untuk lebih explore venue. Boro-boro lihat-lihat, mau jalan aja susah. Beberapa kali juga saya melihat orang terpeleset dan jatuh ke kubangan. Dedek, maaf kakak enggak bantuin.

Sebeneranya it would be totally fine, yah, kalau mau bikin konser outdoor temanya berlumpur-lumpur gitu, seru! But please, let us know what we’re dealing with before hand, gitu, lho. Karena kemudian muncul anggapan kalau para penonton yang datang yang salah kostum, atau dianggap anak kota main ke hutan sehingga enggak tahu medan. Enggak di situ sih, duduk perkaranya, kalau menurut saya. Kan jadinya ini sih main lumpur in style, tapi in the wrong style. Zadd.



A photo posted by Suara Penonton LALALA Fest (@feedback_lalalafest) on
 
Setelah terseok-seok, akhirnya diiringi gerimis kami sampai di depan main stage. Kami pun langsung memakai jas hujan. Sambil mencari spot enak untuk menikmati musik dengan sisa-sisa mood yang ada. Di depan main stage dipadati penikmat musik berbalut jas hujan warna-warni. Awalnya saya berasumsi kalau yang datang siang dibagikan jas hujan oleh panitia. Tapi melihat banyak yang mencari jas hujan sana-sini sepertinya mereka pun beli sendiri?

Menurut info di Instagram sih memang dibagikan tapi jumlahnya terbatas. Ini mirip pengalaman saya naik kapal melintas dari Karimun Jawa ke Jepara, jumlah pelampung enggak sebanding sama penumpang. Seakan kapasitas kapal itu enggak bisa diketahui. Get what I mean? Lalu dari yang saya lihat, enggak ada brand di jas hujannya. Padahal ini kesempatan branding yang ciamik banget! Dipakai sepanjang konser, lho! Anyway, akhirnya kami memutuskan naik ke bukit supaya bisa melihat ke panggung walau jauh. Naik-naik ke puncak bukit, yang juga sudah dipenuhi sama penonton yang duduk-duduk. Akhirnya kami sampai lah di spot itu. Duduk. Lelah. Merasa tua.

Jiwa boleh muda, tapi…
“Ini aku yang udah tua atau memang enggak menyenangkan, sih?" tanya saya pada Irfan setelah kami berhasil duduk di salah satu bukit di depan panggung utama, beralaskan jas hujan plastik yang ditinggalkan empunya untuk pindah duduk di posisi yang lebih pewe.
"Enggak. Ini memang enggak menyenangkan," jawab Irfan sambil matanya terus memandang sekeliling mencoba memetakan keadaan, sambil geleng-geleng kepala seakan enggak percaya sama apa yang ia lihat dan alami.

Jasmine Thompson mulai menyanyi di main stage. Honestly, I don't know her. Tapi dari musiknya yang saya dengar malam itu, saya yakin kalau saya dengar di Spotify saya bakal suka. Penonton lain yang duduk di dekat saya juga sing along. Dan ternyata ada beberapa lagu yang saya juga familiar.




Little that I know, saya menerima undangan interview Jasmine di email tapi baru baca Senin, untung masih sempat! Karena suara dia kece, saya minta reporter untuk berangkat interview. Dari cerita Iif (reporter saya) she was cool!

Setelah penampilan Jasmine, saya mulai bosan duduk di spot itu. Juga karena masih ada dua penampil lagi sebelum Kodaline dan saya yakin ngaret. Karena Jasmine yang harusnya tampil jam 7 pun baru tampil jam 8 malam lebih. Saya dan Irfan memutuskan untuk memberikan satu lagi kesempatan untuk explore. Tapi kalau lumpurnya seheboh di sekitar booth makanan sih batal, yah. Kami pun berjalan dengan sangat penuh pertimbangan mengarahkan ke mana kaki melangkah. Supaya enggak mblesek gitu. Sampailah di depan stage yang satu lagi. Sedang tampil Float. "Lagu terakhir pasti Sementara, satu-satunya lagu mereka yang aku suka. Kita tunggu, ya?" Enggak lama, Sementara pun dibawakan.

Di momen itu saya paham konsep yang dikejar oleh Lalala Fest. Karena mendengarkan musik di alam itu memang syahdu. Makanya Sigur Ros bikin Heima. Makanya Float bikin Float to Nature. Dan banyak juga acara musik di tempat glamping (glam camping) akhir-akhir ini. Saya paham. Next, karena Kodaline sudah mau tampil, kami kembali ke main stage, kembali dengan langkah yang penuh perhitungan. Kagetnya saya ketika sampai di depan main stage, MALIQ & D'Essentials yang tampil. Di agenda yang saya terima harusnya Bag Raiders yang tampil sebelum Kodaline dan sebenarnya saya agak penasaran sama mereka. What's up with the rundown?

Rundown-nya itu, lho!
Ini bukan festival musik pertama saya. Sebagai anak yang pilih-pilih, saya sangat mengandalkan rundown untuk berpindah dari satu spot ke spot lain. Karena kan tiap stage ada yang tampil dan enggak semua yang tampil harus saya tonton, dong? Sehingga kalau rundown-nya enggak bisa saya pegang, saya harus percaya sama apa? (Yang di dalam hatinya jawab saya harus percaya sama Tuhan, please, cari joke lain, bosen ah).

Little that I know, banyak perubahan rundown tanpa pemberitahuan yang jelas. Ini juga saya lihat komplain para pengunjung yang datang sejak siang. Malah, ada juga penampil yang batal naik panggung.

Anyway, ya udah lah ya, toh dedek-dedek lainnya di depan saya tampak sangat menikmati. Menari ikuti melodi dari MALIQ & D'Essentials. Ini kali ke-4 saya nonton mereka live. Dan pengalaman ke-4 ini semakin membuat saya yakin kalau, musik mereka memang bukan buat saya. Saya pun malah sibuk memperhatikan sana-sini, dandanan dedek-dedek sungguh asyik sekali. Ada satu geng yang jogetnya asyik sekali.

Little that I know, dia enggak sepenuhnya hepi. Soalnya saya baca di akun Instagramnya dia bilang, “F.U lalalafest,” dengan pose dua tangan memberikan jari tengah. Lah, kirain having so much fun? Tapi hati orang kan siapa yang tahu. Kayaknya sih dia kecewa sama tenda tempat dia bermalam setelah konser. Banyak yang komplain bayar tenda 600K tapi fasilitasnya enggak sesuai yang dijanjikan dan panitia juga sudah mengumumkan bisa refund. Iya, saya suka stalking, iya. Tapi stalking mantan sih enggak. Gengsi. Sebenarnya stumbling upon hashtags on Instagram itu riset, lho. Riset tidak mendalam, sih.

Tiba-tiba Irfan nyeletuk, "ini mereka semua pake baju apa, sih?” Pembaca yang budiman, suami saya ini enggak being cynical, yah. Dia enggak sarkas. Dia memang enggak paham aja kenapa dedek-dedek cewek memakai off shoulder top, fringe outer, ripped hot pants, colorful culottes pants, hingga flower crown. Lalu dedek-dedek cowok memakai loose tunik, ikat kepala, ikat leher, sampai feather head band. Dan ini semua dipakai di gunung yah, yang biasanya dipakai tempat camping, atau lokasi ospek.

"Biar sesuai konsep, panitia memang minta kita datang dengan dandanan kayak gitu, boho, hippie!" kata saya. Ya saya juga sih mau-mau aja dandan seperti itu sebenarnya, andai acara konsernya di Ancol atau di Senayan, deh, minimal. Enggak dingin-dingin banget kayak di Cikole.


 
Honestly, saya sih suka melihat dandanan mereka. Saya suka melihat orang-orang yang explore sama gaya fashion. It was fun to watch. Dan memang banyak yang dandanannya kece! Tapi saya enggak kuat dingin, enggak sanggup. Langsung deh, lagi-lagi merasa tua. Keinginan untuk tampil maksimal dikalahkan oleh keinginan untuk Senin enggak sakit.

Lalu Maliq membawakan lagu Untitled. Lagu yang belasan tahun lalu relevan katanya sama keadaan Irfan. Waktu itu kami bahkan belum jadian. Dan malam itu, kalau diterka dari jumlah orang yang menyanyi sepenuh hati, lagu ini tampaknya masih sangat relevan bagi banyak orang. Stay strong geng, soon it will be better!

Akhirnya Kodaline!
Setelah baper dan joget berjamaah sama Maliq, saya paham bener kenapa mereka selalu diminta panitia untuk tampil live, selalu sukses menarik massa dan menghibur. Respect them a lot dengan penampilannya, salut!

Dan akhirnya the reason why I came for! Setelah empat jam perjalanan, setelah semua kegelapan dan kebingungan, setelah berjibaku dengan udara dingin dan lumpur, saya bisa menikmati Kodaline secara live!

Saya terkesima betapa crowd yang ada di depan panggung itu memang benar-benar mau nonton Kodaline. Biasanya di festival musik, banyak yang datang for the sake of being there and not missing out. Tapi ini mereka beneran antusias, hafal liriknya dan menikmati penampilan band asal Irlandia ini. Enggak nyangka Kodaline disukai begitu banyak orang. Karena terus terang di kalangan teman-teman sebaya saya enggak banyak sih yang suka. Dan di detik itu juga saya sadar, damn, selera musik saya dedek-dedek banget, ya? Ya udah, musik kan enggak mengenal usia, yah? Saya juga suka The Platters atau Frank Sinatra. Tak masalah. Nanya sendiri, jawab sendiri, self service.

Permainan musik Kodaline juga asik. Saya enggak ngerti banget soal musik. Jadi kalau ranah teknis atau istilah sulit musik lainnya ala-ala pengamat gitu enggak akan banyak saya kulik di sini, ya. Suara sang vokalis Steve Garrigan juga khas banget. Semacam punya cengkok. Seringkali dia seperti enggak kuat menggapai nada tapi kemudian karena masih enak didengerin ya kami anggap saja gaya. Dan saya sebenarnya enggak menuntut banyak dari vokalis band, Jared Leto aja masih banyak yang mencibir kalau tampil live karena suaranya kadang enggak pas. Buat saya, yang penting sih, related sama musik, lirik, dan penghayatan si vokalis ketika nyanyi. They're trying to send a message through music and once I got the message I just hooked. Ya tapi kalau enggak bisa nyanyi banget jangan jadi penyanyi, sih. Jadi kayak saya aja, penonton.

Penampilan Kodaline malam itu juga mengena di hati ketika mereka membawakan lagu The One. Salah satu lagu di wedding playlist kami yang enggak pernah diputar. (Kenapa enggak diputar? Baca aja kisahnya di sini). Harusnya kami dansa dengerin lagu itu live. Tapi malu. Harusnya enggak malu. Toh enggak ada yang kenal juga kaaaan. Nyesel, deh. 




Hal penting lain selain penampilan band dan sound, lighting juga penting. Oke, kalau suaranya doang yang prima sih kita bisa dengerin di Spotify aja pake headphone bagus. Kita datang ke konser kan memang untuk mencari kepuasan audio-visual, yah? Dan lighting panggung Lalala Fest kemarin patut diakui memang bagus. Sayang, layar samping panggung sangat kecil untuk ukuran venue sebesar itu.

Anyway, ketika Kodaline pamit tapi belum membawakan lagu All I Want, saya tahu itu 'tipu-tipu' biar crowd teriak uncore. Akhirnya mereka kembali membawakan lagu Raging dan akhirnya All I Want. Sebenarnya lagu Kodaline kesukaan saya adalah Come Down To You dan Big Bad World. Dan keduanya enggak dibawakan malam itu. Tapi memang sih All I Want jadi lagu pemicu sehingga saya dengerin satu album. Dan ada masanya, beberapa tahun lalu, lagu itu saya dengarkan berulang-ulang. Tapi karena saya suka semua lagi di album pertama mereka dan album kedua mereka juga lumayan, saya sih senang-senang saja sama setlist-nya. Dan dalam hati saya yakin, enggak akan nangis, lah, ya, kalau dengar lagu All I Want. Kan nontonnya sama Irfan, biasanya nonton konser sampai nangis itu kalau sendirian. Tapi failed. Saya nangis diam-diam di pelukan Irfan. Masih aja lho, lagu itu, damn.


A video posted by Shellen Danise (@boncheur) on
 
Dan walaupun setelah Kodaline dijanjikan masih ada satu international performer yang entah siapa, kami pun bergerak pulang. Sudah lelah. Maklum, kami enggak lagi berusia dua puluhan. Di usia tiga puluh, kami dengan mantap tahu apa yang kami mau di jam dua belas malam; pulang, makan, bobok kemulan.

Dan malam itu saya tidur dengan perasaan tenang, puas nonton Kodaline ditemani Irfan, enggak lagi kedinginan, dan kaki sudah bebas dari lumpur yang meresahkan.




***Catatan pinggir (yang lokasinya di bawah), karena tidak sempat foto-foto di venue, saya embed foto dari beberapa akun Instagram. Jikalau pembaca yang budiman merasa keberatan dengan foto atau video yang saya embed, please leave me a comment to delete it. Last but not least, really appreciate panitia yang kemudian memberikan permohonan maaf di akun Instagramnya, menampung berbagai kritik dan saran, juga memberikan beberapa solusi dari masalah yang masih berlangsung post event. Semoga segera teratasi dengan baik. Ternyata masih banyak hal lainnya di luar apa yang saya alami ini. Tapi banyak juga respon dan komentar positif soal acara ini bisa ditelusuri hashtag #lalalaFest atau #wesinglalala. Dan semoga sih ini jadi case study untuk kita semua ke depannya kalau mau membuat event, juga pelajaran untuk kita semua sebagai penonton. Be smart, be wise, be prepared.


***Buat yang penasaran sama Kodaline, dengerin aja di Spotify:

 

***Dan berikut setlist yang seingat saya mirip saya yang di Lalala Fest:
 

Comments