Saya Lucu, Karena Hidup Saya Juga Menggelikan



“The moments that make life worth living are when things are at their worst and you find a way to laugh,” Amy Schumer.


I’m naturally funny because my life is a big joke. Pernah nge-tweet begitu sekitar tahun lalu. Kenapa? Karena walau dandanan saya seperti magician atau anak emo (tanpa poni miring), serba hitam, sesungguhnya saya sangat kocak dan menggelikan. Kayak idup.

Well, it’s a lie. My life is not a big joke. It’s a compilation of small witty jokes. Kumpulan lelucon receh, lah, kalau bahasa jaman sekarangnya. Karena hidup saya sesungguhnya standar. Malah, kalau hidup yang standar itu diubah tolak ukurnya, bisa jadi hidup saya di bawah standar. Biasa banget. Entah apa yang saya pikirkan ketika nge-tweet itu. Mungkin waktu itu saya lagi melamun.

Nah. Kalau hidup saya sebenarnya biasa aja, lamunan saya yang luar biasa. Bisa jadi kalimat itu muncul karena saya memang sedang melamunkan sesuatu. Kejadian kecil yang standar aja bisa menginspirasi kalau udah masuk lamunan saya. Dan lucunya, lately, tweet ini menjadi relevan. Dan saya mulai bisa membayangkan, kenapa dulu saya bisa menuliskan kalimat macam itu.

See, I have a high standard in things. Termasuk standar atas diri saya sendiri. Dan ketika saya enggak mencapai standar itu, saya merasa lucu, merasa saya ini lelucon, a big joke, get it? Seperti karakter di film yang percaya kalau dia adalah pemeran utama dengan segala macam kelebihannya. Tapi di mata orang lain dia itu nothing, a failure, A BIG JOKE. People do not laugh with you, they laugh at you. Tapi di lamunan saya, kedua subjek dalam keadaan ini adalah saya sendiri.

So what do we do when people laugh at us?

Join them!

Dulu rasanya susah sekali menertawakan kebodohan diri sendiri. Jikalau Anda merasakannya, jangan risau, mungkin Anda harus masuk ke posisi di mana Anda harus merasa bodoh on daily basis. Lama-lama jadinya pasrah. Yaudah, kan, mau gimana lagi? Dulu suka marah kalau ada orang yang menertawakan. Tapi sekarang, fuck this shit, I’m gonna laugh at me too. 

HAHAHAHAHAHAHAhiks.


Menurut Susan Sparks, penulis Laugh Your Way To Grace, “If you can laugh at yourself, you can forgive yourself. And if you can forgive yourself, you can forgive others.” (dikutip dari Psychology Today).


whtvr!


Dan ini bener banget. Jadinya saya juga jadinya lebih bisa menertawakan kebodohan orang lain. Malah menertawakan kesalahan orang lain. Malah menertawakan perilaku enggak masuk akal orang lain. Bahkan juga menertawakan perilaku orang lain yang jelas-jelas menyakiti saya. Bahkan, memaafkan. Super sekali Achilles!

Joan Cornella. Salah satu ilustrator 'gila.'


Malah menurut penelitian di University of California, Berkeley, & University of Zurich, kemampuan untuk menertawakan diri sendiri akan membuat seseorang lebih rileks, punya mood yang baik, dan fondasi yang pas untuk membangun selera humor. Baca aja soal penelitian ini di Time.  

A photo posted by Mind Blowon (@tahilalats) on


Ini juga yang saya lihat dari beberapa comic idola. Mulai dari Amy Schumer, Kevin Hart, Ricky Gervais, sampai Aziz Ansari, mereka semua menertawakan diri sendiri dan hidup mereka sendiri di atas panggung. And they are hilarious. Seriously! Yang mereka bawakan menjadi bit jokes adalah kebodohan atau misfortune yang mereka alami sendiri. Dan betapa kemalangan hanya terlihat lucu di mata mereka yang punya selera humor. Walau humornya kadang satir.






Dan emang harus memperbanyak tertawa aja sih daripada kesel apalagi marah. Karena sebagai perempuan, sebenarnya saya suka males kalau marah. Nanti dibilang lagi PMS. Nanti dibilang emosional. Nanti dibilang up tight. Nanti dibilang ngambekan. Nanti dibilang kurang piknik. Dan karena sesungguhnya marah saya adalah energi yang hanya akan saya keluarkan untuk sesuatu atau seseorang yang matters.


So, I laugh at it because it doesn’t matter.

And I’m not mad at you because you don’t matter.

Funny, right?

Comments