Dalam Satu Tahun, Apa Saja yang Berubah? Apa yang Akhirnya Mengubah?

Chill.
“If we believe in nothing, if nothing has any meaning and if we can affirm no values whatsoever, then everything is possible and nothing has any importance.” ― Albert Camus.

Setahun lalu, tiap kali habis sholat saya doanya cuma satu, “ya Tuhan tunjukkan jalan yang harus saya ambil.” Mengejutkannya, kini, setahun kemudian, doa saya masih sama. Kadang lucu betapa banyak yang berubah dan betapa enggak cukup banyak perubahan dalam satu tahun. Ketika kita masih menemukan diri kita dalam kepelikan yang sama. Lalu, apa saja yang berubah, dan apa yang akhirnya mengubah?

“It’s funny how many things changed in a year, but yet everything still the same,” ketik saya suatu malam lalu post di Path. Maklum, belum lama ini saya tambah umur, Mei lalu saya berusia 31 tahun. Yap, just when I thought I could not be older than 30, here I am, plus one. Segala kegalauan saya tentang usia, somehow masih sama, masih seperti ketika menjelang usia 30 setahun lalu

Tapi karena tahun lalu begitu berat dan drama, banyak kebodohan yang saya lakukan yang akhirnya harus saya bayar mahal, this, changes me, a lot. At least, itu yang berbeda, saya lebih kalem menyikapi pertambahan usia, lebih pasrah, least expectation of myself and to other people. Berusaha menurunkan ekspektasi hingga nyaris nihil, walau masih susah, ini sangat membantu saya menjalani hidup, yang ini harus selalu dilatih.

Tapi masih ada kegalauan tahun lalu yang tampaknya merambat hingga dua belas bulan kemudian. 

“Kayaknya kamu harus baca teori existentialism, deh, Cil. Kalau dari kecil pertanyaan kamu tentang hidup adalah, kenapa kamu harus dilahirkan dan mau apa di dunia,” saran Anata yang udah kenal saya sejak kuliah, semalam sebelum saya ulang tahun.


Mau apa di dunia?

idola~


Kadang makin banyak pilihan malah makin bingung. Ketika tahu maunya apa tapi takut buat dilaksanakan. Karena benar kata Gita, kadang melakukan apa pun yang kita mau tipis perbedaannya sama selfish. Dan saya terjebak di antaranya. Bahkan malam kemarin, mba Marti bilang, “Langkah yang kita ambil ini, apa bisa dikatakan egois, yah?” Kemudian saya enggak bisa jawab.

“Dijalanin aja, buat sebagian orang apa yang kamu kerjain sekarang itu bisa jadi kerjaan impian, lho,” nasihat kakak saya bertahun-tahun lalu. And I do enjoy it, I love it a lot. 

Tapi, selalu ada tapi. Ada bagian kecil di dalam saya yang terus ketakutan saya terlalu lama di zona nyaman, takut saya enggak berkembang, dan ketika saya dipaksa keluar, sudah terlambat untuk memperkaya diri. Ada bagian kecil di dalam saya yang terus mencari sosok menginspirasi yang tiap sekian tahun makin berkurang. Ada bagian kecil di dalam saya yang mengintip ke luar betapa orang semakin hebat. Sementara saya, banyak sekali yang saya tidak tahu dan saya harap saya tahu. Semakin saya tahu, semakin saya sadar kalau saya kurang ilmu. Saya ingin lebih maju.


Saya ini mau ngapain?

With great people.


Di luar pekerjaan, ada begitu banyak hal yang ingin saya lakukan. Saking banyaknya, semuanya scattered di kepala, entah mau yang mana dulu, bagaimana melakukannya, dan mau mulai dari mana. Tapi sifat pengecut yang takut hidup susah (lagi) juga masih menggelayut di jantung.

Dan lagi-lagi, penyakit self-critic yang kadang melebihi yang seharusnya selalu menghukum pikiran-pikiran liar dan berusaha membuatnya malu. Malu sudah seliar itu, dan malu bahkan pernah muncul. Padahal, bisa jadi, kalau dilakukan, tidak ada pihak yang dirugikan. Bisa jadi. Bisa jadi tidak.

Sehingga, di usia 31 tahun ini, saya akan mulai mencicil cita-cita hidup yang selama ini membelenggu. Yang selama ini selalu menjadi bayangan kecil yang memanggil-manggil. Tapi saya tetap pengecut, melakukan segalanya dengan tetap berhati-hati, one baby step at a time.

Dan sekuat apapun saya menolak dikategorikan millenials, mungkin, saya ini memang millenials. Yang tidak mencita-citakan apa yang ibu saya cita-citakan. Yang keras soal jati diri, yang tidak bisa ditawar, yang melakukan apa yang ingin dilakukan demi menjadi seseorang yang kaya, bukan dari segi materi. Walaupun dicukupkan materi juga Alhamdulillah, ya, ha-ha-ha.


Kemudian di tengah-tengah nulis ini dipanggil Om Elwin, direktur perusahaan tempat saya bekerja.


“Kalau lagi nyetir di jalan tol, ngeliat ke samping itu pusing karena kita jalan cepet. Jadi harus ngeliat ke depan," kata dia.

"Terus gini, ketika ada gambar lingkaran, gue kasih titik, lu ngeliat apanya?” tanyanya.

“Titiknya,” jawab saya.

“94% orang bakal ngeliat titiknya. Lu lihat lingkarannya aja. Jadi jangan ngerasa stuck sama satu kejadian dalam hidup lu. Lihat ke depannya, umur 40 atau 45 lu mau jadi apa. Gue berusaha enggak baper tiap ada kejadian gede, kalau harus belok, ya belok aja dulu jalan hidupnya, yang penting gue tahu arahnya ke mana,” urainya.

“Seeing the big picture?” tanya saya.

“Iya.”

Oke, mungkin memang sekarang ini jalan hidup saya lagi belok. Jadi, mari kita belok sejenak, asal petanya jangan hilang.

Selamat datang, tiga satu!


Fighting our own fight. Right?

Comments