morning of the (supposed to be) glorious life
chapter 7: a tough shell, i am. am i?
"Some say I'm out of sight, how i run and that we're all so blind. If you could open up your eyes, you could see what i couldn't describe. And then, you'd see the signs, and your soul would be set free, and then you'd be released."
Saya masih ingat, alasan kakak saya melarang saya masuk SMAN 2 Bandung. Sekolah yang awalnya ingin saya masuki dulu. Selain jaraknya yang jauh dari rumah, kakak saya bilang, dia takut saya jadi cewek "gaul" yang sibuk main, bikin pensi, dan sama sekali enggak peduli pelajaran. Atas pengalaman dia berteman dengan anak SMAN 2 jaman dia sekolah dulu.
Saya juga masih ingat, pengalaman saya dan teman saya Gita menginjakkan kaki ke kampus Unpad Dipatiukur untuk pertama kalinya dulu. Kami merasa seperti dari dunia lain di hadapan para mahasiswa D3. Betapa kami under dressed, under make up, dan under confident, kalau memang ada kata-kata seperti itu. Lalu kami berhenti menilai, dan mulai instrospeksi, dan berkesimpulan bahwa: itu merupakan tuntutan lingkungan. Dan betapa kalau kami masuk ke sana pun mungkin akan demikian.
Beberapa tahun setelah itu, obrolan masih berlanjut. Mengenai apakah kami akan menjadi pribadi yang berbeda kalau kami masuk ke universitas atau bahkan jurusan lain. Mengenai dandanan, pergaulan, dan hal-hal yang sebenarnya enggak penting-penting banget. Lalu kami tersadar, bukannya kami selama ini juga kuliah di fikom? Yang katanya anak-anaknya gaul. Yang katanya suka main malam di diskotik, yang katanya sering banget bikin acara musik, yang katanya bebas berekspresi dengan pakaian atau make up.
Dan menemui betapa kami, yah biasa saja. Seperti citra diri yang selama ini kami percaya. Dengan prinsip yang kami pegang masih melekat. Enggak mudah terpengaruh juga, enggak mudah berubah juga. Di situlah kami sadar. Lingkungan memang berpengaruh, tapi diri kita, siapa kita, yah kita sendiri yang menentukan. Dan itu bukan sekedar teori. Kami membuktikannya.
"And why do you expect the door to open up,
if you don't even knock?"
Seperti sekarang, delapan bulan sudah saya di sini, di megapolitan. Yang katanya akan merubah saya. Yang saya takut merubah saya. Yang saya juga pikir merubah saya. Kalau cara saya berpikir, sih, pasti. Tapi saya memutuskan, i am who i am, i've made up my mind.
Kalau kata pepatah sunda, moal kabawa ku sakaba-kaba.
Setelah mencicip sepotong megapolitan, saya sadar, saya tidak suka rasanya. Saya tidak suka bagaimana ia membuat saya menjadi someone that i'm not. Dan seperti biasa, setelah mencicip dan mengalami gegar budaya, saya menjadi diri saya kembali.
Tidak, saya tidak ingin terjebak di rimba ini dengan sekantung placebo. Karena ketika saya melintas, semuanya terlihat seperti rangkaian potongan salindra dengan judul:
YOU CAN'T AFFORD ME!
*thank God, i like my job, my colleague, my friends, my brothers and mum, and my boyfriend :D
"Some say I'm out of sight, how i run and that we're all so blind. If you could open up your eyes, you could see what i couldn't describe. And then, you'd see the signs, and your soul would be set free, and then you'd be released."
Saya masih ingat, alasan kakak saya melarang saya masuk SMAN 2 Bandung. Sekolah yang awalnya ingin saya masuki dulu. Selain jaraknya yang jauh dari rumah, kakak saya bilang, dia takut saya jadi cewek "gaul" yang sibuk main, bikin pensi, dan sama sekali enggak peduli pelajaran. Atas pengalaman dia berteman dengan anak SMAN 2 jaman dia sekolah dulu.
Saya juga masih ingat, pengalaman saya dan teman saya Gita menginjakkan kaki ke kampus Unpad Dipatiukur untuk pertama kalinya dulu. Kami merasa seperti dari dunia lain di hadapan para mahasiswa D3. Betapa kami under dressed, under make up, dan under confident, kalau memang ada kata-kata seperti itu. Lalu kami berhenti menilai, dan mulai instrospeksi, dan berkesimpulan bahwa: itu merupakan tuntutan lingkungan. Dan betapa kalau kami masuk ke sana pun mungkin akan demikian.
Beberapa tahun setelah itu, obrolan masih berlanjut. Mengenai apakah kami akan menjadi pribadi yang berbeda kalau kami masuk ke universitas atau bahkan jurusan lain. Mengenai dandanan, pergaulan, dan hal-hal yang sebenarnya enggak penting-penting banget. Lalu kami tersadar, bukannya kami selama ini juga kuliah di fikom? Yang katanya anak-anaknya gaul. Yang katanya suka main malam di diskotik, yang katanya sering banget bikin acara musik, yang katanya bebas berekspresi dengan pakaian atau make up.
Dan menemui betapa kami, yah biasa saja. Seperti citra diri yang selama ini kami percaya. Dengan prinsip yang kami pegang masih melekat. Enggak mudah terpengaruh juga, enggak mudah berubah juga. Di situlah kami sadar. Lingkungan memang berpengaruh, tapi diri kita, siapa kita, yah kita sendiri yang menentukan. Dan itu bukan sekedar teori. Kami membuktikannya.
"And why do you expect the door to open up,
if you don't even knock?"
Seperti sekarang, delapan bulan sudah saya di sini, di megapolitan. Yang katanya akan merubah saya. Yang saya takut merubah saya. Yang saya juga pikir merubah saya. Kalau cara saya berpikir, sih, pasti. Tapi saya memutuskan, i am who i am, i've made up my mind.
Kalau kata pepatah sunda, moal kabawa ku sakaba-kaba.
Setelah mencicip sepotong megapolitan, saya sadar, saya tidak suka rasanya. Saya tidak suka bagaimana ia membuat saya menjadi someone that i'm not. Dan seperti biasa, setelah mencicip dan mengalami gegar budaya, saya menjadi diri saya kembali.
Tidak, saya tidak ingin terjebak di rimba ini dengan sekantung placebo. Karena ketika saya melintas, semuanya terlihat seperti rangkaian potongan salindra dengan judul:
YOU CAN'T AFFORD ME!
*thank God, i like my job, my colleague, my friends, my brothers and mum, and my boyfriend :D
saya (pernah) bermasalah dengan seseorang yang mengalami gegar budaya di megapolitan sana. dan saya tidak (cukup) sabar untuk menunggu beliau kembali menjadi dirinya sendiri, pada saat itu saya selalu berkata "saya tidak kenal kamu lagi," kepada beliau. belakangan saya tahu gegar budaya hanya akan terjadi sesaat. regret? yes and no. ini rupanya sejenis persoalan khas dan klise 'el-de-er' yah? lucky you.
ReplyDeletekalau budaya barunya lebih dia suka mungkin lebih memilih budaya baru kali yah. aku sih, tidak (tidak semua). iyah, menyebalkan memang yang klise, klise banget, tapi emang kejadian uuuu -_-
ReplyDeletelucky me?
mmhmm, yang bergemerlapan memang terlihat lebih menarik di mata (mayoritas) perempuan. :P
ReplyDeleteyah lucky you, karena ada yang sabar menanti dan (semoga) baik-baik saja sampai detik ini. hehe.
semoga, amin :D
ReplyDeletekadang manusia emang kayak siraru, ga. menghampiri yang terang-terang. walaupun jadinya kejebak di dalam lampu neon sampe besok paginya, sampe mati -_-
:)) analogi yang bagus.
ReplyDeletekepikiran waktu liat 711 yang terangbenderang dipenuhi umat di malam hari :D
ReplyDelete