morning of the (supposed to be) glorious life
Chapter 13: nowhere is safe.
"I have an affection for a great city.
I feel safe in the neighborhood of man,
and enjoy the sweet security of the streets."
- longfellow
"It's not because it's a big city. Its not because of me. But nowhere is safe," pikir saya pagi ini sambil ikut terduduk dalam antrian kendaraan. Macet. Kebiasaan yang luar biasa merugikan. Sebenarnya saya biasa berjalan dari tempat kos ke halte transjakarta. Pagi ini saya merasa terlalu lelah, dengan alasan semalam saya pulang larut dan tidur pun lebih larut.
Teman kos saya sering menatap saya dengan heran. sambil bertanya dari mana saja saya baru pulang larut. Semacam ibu saya. Awalnya saya terganggu, tapi saya mulai membuka hati dan berpikir dia khawatir. Atau memang kepo sama kehidupan saya. Tapi ketika dia tanya "Enggak takut pulang malam sendirian?" Saya mulai mengerutkan dahi. Dan menjawab dengan pertanyaan, "Memang harusnya takut?" bukan dengan logat menantang. Tapi saya benar-benar meminta jawaban.
Setahun sudah kira-kira saya tinggal di jakarta. Sering sekali pulang malam. Bukan malam ala teman kos saya, jam sepuluh. Tapi jam dua belas sampai jam satu malam. Dan iya, saya memakai angkutan umum. Kadang pakai taxi. Tapi enggak jarang saya tetap harus jalan kaki atau menyebrang jembatan penyebrangan. Sendiri. Siapa yang mau menemani? Semua teman saya juga pulang sendiri setelah bertemu. Dan mereka perempuan.
Alkisah punya masa lalu sebagai ugly duckling, jujur, saya enggak merasa terancam bakal ketemu cowok yang pengen ngapa-ngapain saya. I'm not that pretty. Satu hal yang membuat saya enggak peduli dengan tatapan orang dan merasa aman enggak akan ada yang nyolek. Tapi di Jakarta sini mungkin mata orang-orang mulai rabun karena teriknya panas matahari. Meneriaki orang "brengsek, anjing, dan kurang ajar" jadi biasa. Giving the finger dan mukul tangannya duluan sebelum dia nyolek juga jadi biasa. Memberikan tatapan membunuh jadi kebiasaan sehari-hari. Alasan psikis masa lalu sudah tidak memberikan rasa aman.
Kejahatan enggak hanya terjadi di jakarta. Saya pernah meliput berita pembunuhan di sebuah desa di Bandung Barat yang pemandangan sekelilingnya sangat damai. Sawah dan rumah panggung. Saya juga pernah kecopetan di kota kesukaan saya, Bandung. Enggak berarti aman juga. Sudah saya kejar sambil berteriak "toloooong copeeeet" ala film Ramadhan dan Ramona. Tapi kisah-kisah street crime di jakarta sini mulai bikin bulu kuduk saya merinding. Apalagi ketika terjadi sama orang terdekat.
Lalu...
Irfan baru dua hari di jakarta. Sejak awal dia kurang suka sama kota ini. Dan sebagai penunggang motor, dia tidak terbiasa dengan sarana angkutan massal apalagi di sini. Bad things happened. shit happened. but i wonder why it have to happened to him? Raiblah uang dan ponselnya. Di jembatan penyebrangan halte Transjakarta Benhil itu.
Okay, being a victim is a bad luck. It's not him. It's not the big city. It's those criminals! tapi ini membuat saya merenungkan si jembatan penyebrangan. Yang bagi pejalan kaki mau tidak mau harus melewatinya. Karena di jalanan sebesar jalan jendral sudirman enggak mungkin menyebrang langsung. Pembangunan, yang membangun, memang mengharuskan kami lewat jembatan ini.
Di satu sisi jembatan ini dibuat demi keselamatan para pejalan kaki. Dari para pemgemudi jalanan yang maunya buru-buru selalu. Tapi dengan keadaan sekarang ini, di sisi lain, para pejalan kaki seperti ditempatkan di posisi rawan. Dari para pencopet, pemalak, perampok, dan profesi spesialis mengambil barang yang bukan miliknya. Lalu lintas jadi lancar dengan berpindahnya para pejalan kaki ke jembatan. Tapi demi Tuhan, selain melelahkan, selalu ada rasa tidak aman. Apalagi kalau malam. Suasana jembatan seperti cafe remang-remang. Padahal di sana, sebelah sana, 711 terang benderang. The irony.
"Hidup di Jakarta harus selalu waspada dan banyak trik," kata teman saya. Makanya jangan heran kalau orang-orang disini ketus, jutek, bermata curiga, tidak mau peduli pada orang lain. Pada dasarnya, mereka merasa tidak aman. Nowhere is safe and no one who'll help. We are our self hero. This is the concrete jungle. Di mana setiap hari kita harus waspada dari para pemangsa. Macam meerkat. Dan sayang sekali, saya bukan Tarzan.
Saya sering menyindir kota ini dengan julukan Gotham City karena langit polusi yang dark and those scary alley. But here is worst. We have no batman. We have no hero.
:( di sini juga aku merasa tidak aman, Chill. Semenjak dijambret tas dan isinya, tiap naek bis atau dibonceng motor, selalu pegang tas erat-erat dan rajin cek isi-isinya. selalu ngerasa gak aman dan ingin segera sampai rumah. kadang mikir, emang segitu kerasnya ya tuntutan hidup, segitu susahnya ya cari kerjaan yang halal, sampe mutusin ngambil cara macam itu :(
ReplyDeletetadi di atas aku komen tapi salah akun. haha. btw, di sini juga aku merasa tidak aman, Chill. Semenjak dijambret tas dan isinya, tiap naek bis atau dibonceng motor, selalu pegang tas erat-erat dan rajin cek isi-isinya. selalu ngerasa gak aman dan ingin segera sampai rumah. kadang mikir, emang segitu kerasnya ya tuntutan hidup, segitu susahnya ya cari kerjaan yang halal, sampe mutusin ngambil cara macam itu :(
ReplyDeleteeta pisan. terus di rumah juga merasa gak aman karena tetangga rumahnya pernah kemasukan maling *adeuh tyada berhenti* iya nel, emang susah sih yah kayaknya nyai kerjaan halal (yang mudah) bagi sebagian orang. yang lebih gampang yah itu, maling -_-''
ReplyDeleteaku selalu merasa ga aman di jakarta, selalu mendengar cerita mengerikan dari teman sendiri, pulang malem jam 1 ketakutan setengah mati karena daerah kosan eik adalah rawan jambret..EHHHH tetep aja gw mah apes nya di Bandung. Di jambret di bandung, Ketabrak mobil di bandung..aneh..intinya ga ada yang aman di dunia ini mah..pleh,..
ReplyDeleteyes. nowhere is safe. selalu ketakutan -_-''
ReplyDelete