Lanang


"Apalah ruginya berbohong, kalau kita meyakininya sepenuh hati." Lanang.

Sekali lagi dia rapikan poninya sambil berkaca di depan cermin. Dia ambil lagi seujung jari gel rambut, lalu diusap pada poni bagian atas yang masih terlihat lemas. Digelengkannya kepala ke kanan dan ke kiri, masih memeriksa poni. "Semuanya harus lancar hari ini. Yap, penting sekali. Poniku harus rapi," katanya membatin. Sementara kedua telapak tangannya masih saja sibuk merapikan poni pendek ala jurnalis Belgia, Tin Tin. Lalu dia mendekatkan hidungnya ke permukaan cermin. Pupilnya membesar, menatap engan sangat lekat. "Sempurna," katanya.

Dirapikannya kerah kemeja flanel warna hijau yang dia pakai sore ini. Seakan kemejanya bisa saja kusut hanya karena aktivitasnya merapikan poni. Dia tarik kaos hitam yang dia pakai di balik flanel longgarnya. Kaos hitam bergambar tengkorak. Dia memang suka kaos bergambar tengkorak, buat dia tengkorak membuat dia kelihatan macho. Dan dia suka sekali terlihat macho. Dia tepuk pantat kanannya, memastikan dompet kulit kesayangannya ada di sana. Dia hembuskan nafas panjang, matanya masih memandang cermin. "This is it," katanya sambil berlalu ke pintu kamar kos-nya. Dia pakai sandal, sore ini urusannya bukan pekerjaan. Sore ini, urusannya adalah hati.

Sambil berjalan menuju jalan raya, hati Lanang berdebar-debar. Di kepalanya berputar lagi, memori kronologis perkenalannya dengan Rika. Pertama kali dia melihat profil foto Rika di Facabook. Pertama kali Rika membalas message-nya. Pertama kali mereka chatting di YM. Pertama kali mereka bertukar pin BB. Pertama kali mereka saling mengobrol di telepon. Pertema kali dia menyebut namanya, "Ri-ka," Lanang bersuara. Lalu pipinya memerah.

Jeda antara kata "ri" dan "ka" pada nama Rika memang selalu dipakainya. Ketika Rika bertanya soal itu, Lanang menjawab, "Soalnya aku jadi ingat sama film jadul Rhoma Irama. Kamu pernah nonton enggak? Lupa judulnya, tapi ada pemeran utama ceweknya namanya Rika, dan Bang Haji manggilnya Ri-ka, he he." Mendengar jawaban itu Rika tertawa geli, "Ah abang, sukanya sama Rhoma Irama, jadul ah!" Rika dengan suaranya yang lembut dan manis selalu membuat Lanang terseyum-senyum sendirian di kamar kos-nya sambil menggenggam ponselnya.

Saking sibuknya memikirkan Rika, tak dirasa Lanang sudah sampai halte Transjakarta. Dirogohnya uang receh di saku kiri celana jeans hitamnya. Seketika Lanang merasa geli, dia tersenyum pada penjaga loket hari itu. Pada dadanya tertera name tag bertuliskan "Rika". Rika sang penjaga loket pun membalas senyum. Jarang juga ada sesosok laki-laki berparas lumayan mau senyum padanya, di Jakarta ini.

Lanang semakin bersemangat. Tapi di hati kecilnya dia juga merasa ketakutan. Pertemuan pertamanya dengan Rika kali ini harus berhasil. Harus berhasil. Lanang tidak boleh gagal lagi. Belasan kali pertemuannya dengan sang calon kekasih gagal setelah memupuk hubungan via dunia maya selama berbulan-bulan. Kali ini, dengan Rika, Lanang memutuskan untuk segera bertemu setelah hanya tiga minggu saja berkontak tanpa bertemu muka. Usia Lanang sudah menjelang tiga puluh dua. "Kali ini, tidak boleh gagal lagi. Rika adalah yang terakhir," begitu pikirnya.

Transjakarta jurusan Kota pun menghampiri. Lanang naik bersama puluhan orang lainnya yang sudah mengantri sejak tadi dari Halte Dukuh Atas. Kota. Ya, Kota Tua adalah pilihan Lanang untuk pertemuan pentingnya. Lanang pikir suasana Kota menjelang malam pasti cocok untuk kisahnya dengan Rika. Lanang sudah menyiapkan uang beberapa puluh ribu. Dia pikir pasti cukup untuk makan sate padang dan minum teh botol berdua. Bahkan masih cukup kalau-kalau Rika masih mau jajan yang lain.

Walaupun Lanang mau mengajak Rika ke mana saja, tapi dia juga harus hemat. Belum lama ini kantor tempat dia bekerja sedang ada penyusutan. Dia harus pandai menabung. Kalau-kalau nasibnya sama dengan Daslim, teman dekatnya dari kampung. Dan Lanang, tidak akan pernah mau pulang ke kampungnya lagi, dia tidak mau bernasib sama dengan Daslim.

Bunderan HI, macet, selalu macet. "Pemerintah itu enggak pernah mikir ya, kalau macet begini kan merugikan orang," kata seorang Bapak yang berdiri di depan Lanang. Menjawab pertanyaan si Bapak, Lanang hanya mengangguk sambil tersenyum. Di pikirannya hanya ada Rika. Dan dia tahu kalau HI pasti macet, makanya dia berangkat satu jam lebih awal. Demi Rika. Bahkan, macetnya Jakarta sore itu sama sekali tidak membuat Lanang geram. Buat dia, menit-menit yang dia habiskan di jalanan Jakarta sore itu hanyalah cobaan kecil sebelum kebahagiaan terbesarnya.

Setelah melewati bunderan HI, banyak kursi yang kosong. Lanang pun memilih duduk di kursi paling pojok belakang, di samping jendela. Untuk ukuran laki-laki, Lanang memang melankolis dan sedikit dramatis. Sambil memandang ke luar, dia rogoh saku kanannya, dia ampil ponselnya dan menyalakan music player. Dari kedua earphone-nya keluar suara, lagu yang sedang dia gemari. Lagu kenangannya bersama Rika. Biasanya, sambil bertelepon menggunakan ponselnya yang CDMA, Abdi menyalakan lagu itu perlahan dari ponselnya yang lain, dari BB-nya. BB yang masih harus sepuluh kali lagi dibayarnya. BB yang dia sengaja beli hanya untuk ber BBM ria dengan Rika.

Sore itu Jakarta terlihat cantik di mata Lanang. Apalagi di telinganya mengalun lagu Buka Hatimu dari Armada. Hanya setelah tiga lagu saja, Lanang sudah sampai. Dia berdiri, bergegas berjalan menuju Kota Tua. Jam 5 dia berjanji sudah menunggu Rika di depan restoran Batavia.

Lanang jadi ingat lagi, ketika dia membuat janji itu dengan Rika. "Eh, bener Bang mau ketemuan di restoran Batavia? ih Abang banyak duit yah? he he," goda Rika. "Nanti yah Dek Ri-ka, kalau Abang sudah jadi bos. Nanti kalau kita ke sana, ketemu bos Abang, dia malu. Masak satu restoran sama OB-nya. Iya, kan?" jawab Lanang ketika itu.

Lanang merasa bersyukur bisa bertemu Rika. Usianya masih dua puluh delapan. Bekerja di counter DVD bajakan di Glodok. Dia juga tidak mempermasalahkan usia dan pekerjaan Lanang. Mereka satu agama, jadi tidak akan ada masalah juga di situ. Rika asli Jakarta, makanya dia memanggil Lanang, Abang. Sebenanrnya Lanang lebih cocok sama panggilan Mas. Tapi itu tidak jadi masalah. Apalagi setelah Lanang melihat foto-foto Rika di Facebook. Dia langsung jatuh hati. Malah, untuk pertemuan pertamanya ini, dia meminta Rika memakai dress selutut berwarna warna merah marun. Dress yang dia pakai di foto profil picture Facebook-nya.

Sambil merapikan poni dan kemejanya sekali lagi, Lanang menunggu tepat di pintu masuk. Sesekali ada perempuan yang meliriknya. Ada yang mengajak senyum karena menganggap dia ganteng. Ada juga yang mentap curiga. Perawakan Lanang memang kecil, tulang rahang di pipinya juga lebih tirus dari laki-laki kebanyakan. Bahunya sempit dan tangannya lentik. Daslim pernah bercanda, "Nang, kalau kowe itu wedok, pasti ayu!" Mendengar itu Lanang marah. Sampai-sampai Daslim tidak dia tegur selama tiga hari. Lanang paling tidak suka dibilang cantik, makanya dia berusaha sekali kelihatan macho.

Jam di tangan kanan Lanang menunjukkan pukul 4.45 sore. Lima belas menit lagi. Lima belas menit lagi dia akan bertemu Rika. Di antara batu-batu bulat besar itu, dengan hati berbebar, Lanang menunggu.


-part 1 end-

Comments