morning of the (supposed to be) glorious life
chapter 1: did you smile this morning?
"there are hundreds of languages in the world,
but a smile speaks them all."
Kata orang, untuk melihat langit itu biru, kita harus jatuh cinta. pagi ini saya lihat langit. dia biru. dan saya tidak sedang jatuh cinta. kata orang kebisingan jalan raya bisa jadi melodi di telinga orang yang jatuh cinta. nah, kalau yang satu ini mungkin saya setuju. saya berharap bisa menekan tombol mute untuk dunia. pagi ini saja.
lalu lalang orang dengan wajah segar namun sudah berkeringat mencuri perhatian saya. baju kantoran mereka yang setengah basah di ketiak dan punggung mengingatkan saya. dunia tidak berhenti hanya karena saya merajuk. dunia juga tidak berhenti ketika patah hati. atau seorang yang sangat-sangat kamu sayangi mati. atau apa sajalah yang membuat kamu ingin dunia berhenti. dia akan tidak.
kemarin teman saya berharap, kalau jarak bisa dilipat. saya pikir, dunia juga tidak akan berhenti menunggu dia ketika dia menempuh jarak itu. untuk menemui orang yang memang ingin dia temui, bukan terpaksa temui. berdasarkan pekerjaannya, saya yakin dia sering harus begitu. saya pikir begitu.
berhentilah di depan saya. tepat ketika saya sedang memikirkan teman saya. rojali. hal yang paling kebetawi-betawian yang saya temui selama hampir empat bulan saya di jakarta. rojali. dia bilang "halte setiabudi..." dengan suara kencang. dari suaranya saya terka dia masih di usia belasan menjelang dua puluh. usia kuliah. dan di situlah dia berdiri, di depan pintu transjakarta. dengan seragam hitam-merahnya. dengan sepatu ala kantorannya. yang saya pikir lebih baik pakai sepatu kets saja. pasti memudahkan dia untuk berdiri. yet, another silly rules.
saatnya saya turun, huft, saya ingin ikut ke manapun bus ini pergi sebenarnya. on a journey. tapi saya turun, di situ, di halte tosari, satu halte dari halte bundaran HI. berjalan di jembatan busway bikin kaki saya besar, kata ibu yang melahirkan saya. kata dia, itu balasan, karena di bandung saya anaknya malas sekali jalan. ke mana-mana saya diantar kakak, ayah, pacar, atau angkot. oh saya rindu angkot ke mana saja. hampir seajaib pintu ke mana saja.
ibu tidak tahu, saya sering sekali berjalan. dari kampus sampai pintu tol cileunyi. dari pasar baru ke braga. dari riau ke dago. dari mana ke mana. kalau liputan, kalau main sama teman, kalau pacaran. mungkin karena di sini jalannya selalu menanjak dan tangga. entahlah.
hampir terserempet. karena melamun. melamunkan katakata si penyanyi di telinga saya. "jatuh cinta itu biasa saja," katanya. saya tidak setuju. tapi toh dia sudah menikah. dengan perempuan yang menyebabkan dia menulis lagu. mungkin dia benar. anyway. si mobil kia silver itu berhenti tepat di depan hidung saya. well, mungkin beberapa centimeter di depan jempol kaki saya sih. lalu saya berhenti. anehnya saya tidak merasa kaget.
dalam sepersekian detik, saya berimajinasi. bagaimana kalau tibatiba ada mobil ngebut di belakang kia silver ini? saya pasti tidak punya waktu untuk mengelak. untung saya ingat saya enggak punya asuransi. untung juga saya ingat masih punya hutang sama kakak saya, bekas beli jam tangan. jadinya saya berdoa sama tuhan. semoga enggak ada kendaraan di balik kia silver ini.
dan taraaaa. tidak ada kendaraan. saya lanjut jalan, masih dengan earphone di telinga. walaupun tiga orang polisi lalu lintas menatap saya lekat-lekat. walaupun tukang ojek di sebrang juga menatap natap. saya tidak peduli. lalu saya keluarkan uang dua ribu rupiah. beli gorengan. tempe kering, ubi manis, dan singkong lembut. sudah tiga hari berturut-turut. berlalu sudah masa-masa sarapan sehat oatmeal dan susu cokelat. saya bosan.
saya serahkan tas saya pada pak satpam untuk diperiksa. saya lalui. saya tekan lift menuju ke atas. terbuka. saya tekan angka 14. terbuka. saya gesek id card saya. lalu saya lempar senyum padanya. dia yang selalu datang lebih pagi dari saya.
selamat pagi. pagi ini, hanya kamu saja yang membuat saya tersenyum. pada pukul 9.15 wib.
"there are hundreds of languages in the world,
but a smile speaks them all."
Kata orang, untuk melihat langit itu biru, kita harus jatuh cinta. pagi ini saya lihat langit. dia biru. dan saya tidak sedang jatuh cinta. kata orang kebisingan jalan raya bisa jadi melodi di telinga orang yang jatuh cinta. nah, kalau yang satu ini mungkin saya setuju. saya berharap bisa menekan tombol mute untuk dunia. pagi ini saja.
lalu lalang orang dengan wajah segar namun sudah berkeringat mencuri perhatian saya. baju kantoran mereka yang setengah basah di ketiak dan punggung mengingatkan saya. dunia tidak berhenti hanya karena saya merajuk. dunia juga tidak berhenti ketika patah hati. atau seorang yang sangat-sangat kamu sayangi mati. atau apa sajalah yang membuat kamu ingin dunia berhenti. dia akan tidak.
kemarin teman saya berharap, kalau jarak bisa dilipat. saya pikir, dunia juga tidak akan berhenti menunggu dia ketika dia menempuh jarak itu. untuk menemui orang yang memang ingin dia temui, bukan terpaksa temui. berdasarkan pekerjaannya, saya yakin dia sering harus begitu. saya pikir begitu.
berhentilah di depan saya. tepat ketika saya sedang memikirkan teman saya. rojali. hal yang paling kebetawi-betawian yang saya temui selama hampir empat bulan saya di jakarta. rojali. dia bilang "halte setiabudi..." dengan suara kencang. dari suaranya saya terka dia masih di usia belasan menjelang dua puluh. usia kuliah. dan di situlah dia berdiri, di depan pintu transjakarta. dengan seragam hitam-merahnya. dengan sepatu ala kantorannya. yang saya pikir lebih baik pakai sepatu kets saja. pasti memudahkan dia untuk berdiri. yet, another silly rules.
saatnya saya turun, huft, saya ingin ikut ke manapun bus ini pergi sebenarnya. on a journey. tapi saya turun, di situ, di halte tosari, satu halte dari halte bundaran HI. berjalan di jembatan busway bikin kaki saya besar, kata ibu yang melahirkan saya. kata dia, itu balasan, karena di bandung saya anaknya malas sekali jalan. ke mana-mana saya diantar kakak, ayah, pacar, atau angkot. oh saya rindu angkot ke mana saja. hampir seajaib pintu ke mana saja.
ibu tidak tahu, saya sering sekali berjalan. dari kampus sampai pintu tol cileunyi. dari pasar baru ke braga. dari riau ke dago. dari mana ke mana. kalau liputan, kalau main sama teman, kalau pacaran. mungkin karena di sini jalannya selalu menanjak dan tangga. entahlah.
hampir terserempet. karena melamun. melamunkan katakata si penyanyi di telinga saya. "jatuh cinta itu biasa saja," katanya. saya tidak setuju. tapi toh dia sudah menikah. dengan perempuan yang menyebabkan dia menulis lagu. mungkin dia benar. anyway. si mobil kia silver itu berhenti tepat di depan hidung saya. well, mungkin beberapa centimeter di depan jempol kaki saya sih. lalu saya berhenti. anehnya saya tidak merasa kaget.
dalam sepersekian detik, saya berimajinasi. bagaimana kalau tibatiba ada mobil ngebut di belakang kia silver ini? saya pasti tidak punya waktu untuk mengelak. untung saya ingat saya enggak punya asuransi. untung juga saya ingat masih punya hutang sama kakak saya, bekas beli jam tangan. jadinya saya berdoa sama tuhan. semoga enggak ada kendaraan di balik kia silver ini.
dan taraaaa. tidak ada kendaraan. saya lanjut jalan, masih dengan earphone di telinga. walaupun tiga orang polisi lalu lintas menatap saya lekat-lekat. walaupun tukang ojek di sebrang juga menatap natap. saya tidak peduli. lalu saya keluarkan uang dua ribu rupiah. beli gorengan. tempe kering, ubi manis, dan singkong lembut. sudah tiga hari berturut-turut. berlalu sudah masa-masa sarapan sehat oatmeal dan susu cokelat. saya bosan.
saya serahkan tas saya pada pak satpam untuk diperiksa. saya lalui. saya tekan lift menuju ke atas. terbuka. saya tekan angka 14. terbuka. saya gesek id card saya. lalu saya lempar senyum padanya. dia yang selalu datang lebih pagi dari saya.
selamat pagi. pagi ini, hanya kamu saja yang membuat saya tersenyum. pada pukul 9.15 wib.
***
Yah, emang jalan di Jakarta mah nggak senyaman di Bandung. Nggak ada angin dingin bertiup. Trotoar di sini masih aja ada motor, gampang keserempet.
ReplyDeleteahaha, gw suka scene ini cil ;)
ReplyDeletewaduh acil....jarambah..hahaha...
ReplyDeleteiyah. trotoar buat motor. ke jalan dikit diklaksonin mobil. di jembatan penyebrangan dipake eksibisionis. terus kita jalan di mana yah, Lin? *lebay tralala trilili*
ReplyDeletehehe. sarapan saya setiap pagi ini, hihihi. *jadimallu*
ReplyDeletemaklum ut. enggak punya kendaraan jadinya kemanamana jalan hihihi :p
ReplyDeleteiyah cil bagus cil..sehat.,,hehehe..
ReplyDeletesehat sih, tapi betis, au au, hihihi *enggak tega ngomongnya*
ReplyDeletecil..gorengan di jakarta juga ga enak ya..
ReplyDeletetahunya apalagi..
puih..
:))
di depan kantor aku makanannya enakenak teh ipeh, main main yuk, hehe :D
ReplyDeletecuman yah tu dia, mahal. di bandung masih 500an di sini 2000tiga. heu
tapi kalau tahu emang gapernah nemu yang enak, aneh yah, enggak ada tahu cibuntu atau tahu tauhid kayaknyamah :))