Serangkaian Jikalau dan Apabila







“My flight has finally landed down. 
And the ground has stopped moving all around. 
Eyes open, awake for the very first time.
We both forfeit this game of crime.”
-A Wake, Macklemore & Ryan Lewis.


Saat di mana kau lihat senyumnya di wajah orang yang tak kau kenal. Dari kerumunan orang berjalan, kau lihat punggungnya menyembul di balik bahu-bahu yang berlalu-lalang. Kau tangkap cahaya matanya dari binar orang-orang yang familiar. Sesaat, kau seperti mendengar suaranya di antara khalayak ramai. Seperti memanggilmu. Menyebut nama panggilanmu, yang orang lain tidak tahu. Kadang, bayang-bayang memang seperti hantu.


Lima belas tahun. Mungkin lebih. Lima belas tahun lebih sudah kau tidak pernah bertatap muka dengannya lagi. Awalnya kau pikir rasanya baru kemarin. Tapi kalau dipikir-pikir, bayi saja sudah jadi remaja dalam waktu lima belas tahun. Selama itu juga kau rasa masih dirantai pada sesuatu. Tapi ia tak membuatmu sesak tak bergerak. Bagai sabuk pengaman, untuk jarak tertentu ia akan mengikuti gerakan tubuhmu, memanjang. Tapi ketika kau bergerak tiba-tiba, atau terlalu jauh, ia akan menarikmu kembali. Tegak. Diingatkan kalau kau, masih di tempat yang sama. Tak beranjak.

Katanya, kadang kita cenderung mengingat apa yang kita ingat. Kenyataan versi kita. sesuatu yang ingin kita percaya. Sesuatu yang kita rancang sedemikian rupa dalam hayalan, dilengkapi pembenaran subjektif. Toh, kenyataan memang tidak hanya satu, sifatnya tidak mutlak. Kau boleh percaya apa yang kamu mau percaya. Dan kita, lemah terhadapnya. Apalagi jika berkaitan dengannya, sang lima huruf satu kata.

Kau habiskan waktu selama ini menyusun fakta. Serangkaian jikalau dan apabila. Dan datanglah saatnya, dalam hidup, sebuah momentum yang membuka mata. Kecuali kematian, tidak ada satu alasan pun seseorang akan melepaskanmu dari hidupnya, jika ia memang berupaya. Jika ia memang percaya, kau adalah apa yang ia cari. Jika tidak?

Maka 'kau' adalah jawabannya. 

Comments