Di Social Media, Kenapa Kamu Beda?
Alasan dari hasil penelitian kenapa kita versi online beda sama kita
versi offline.
Kenapa?
Kenapa? Kenapa sih, kamu seperti orang yang berbeda kalau di social media? Beda
gimana? Di social media, kadang orang bisa-bisa berperilaku beda sekali dengan
sifat aslinya. Bisa tiba-tiba lebih ramah dan seru, jadi enggak sopan dan
sembrono, keras dalam ngasih pendapat politik atau agamanya, atau yang ceria di
dunia nyata ternyata di social media
malah ngeluh setiap hari. Tapi sih, tentunya yang akhirnya jadi masalah ketika
sikapnya cenderung lebih negatif kalau di social
media.
"Cil, baca enggak sih dia posting apa di
Facebook? Kok dia jadi gitu banget yah? Dia kenapa, sih?"
"Cil, aku unfollow Twitter dia, enggak
kuat bacanya."
"Aku sih enggak un-friend dia di Path
walaupun ngeselin banget. Seenggaknya seru jadi bahan obrolan sama yang
lain."
Tiga
orang teman yang berbeda pernah ngomong gitu tentang tiga teman yang berbeda
juga. Dan ketika mereka ketemu, semua baik-baik aja. Mereka civilized, saling menghargai. Tapi kalau
sudah di social media, mereka memilih untuk enggak ada interaksi. Kenapa?
Berteman
di social media memang enggak lantas
harus berteman di dunia nyata. Dan sebaliknya. Tapi, kenapa seseorang bisa
sangat berbeda di kedua realm ini?
Saya mau tahu.
Why people act differently online and
offline?
Klik
search.
Selain
alasan yang saya rasa orang-orang sudah tahu seperti; di internet kita bisa
memilih informasi apa yang kita bagi dan apa yang enggak, alias pencitraan.
Lalu karena tidak berupa komunikasi langsung dan personal sehingga seseorang
merasa nyaman dan bisa jadi membuatnya lebih berani mengungkapkan sesuatu. Dan
ada keinginan untuk membuat orang lain terkesan, lagi-lagi pencitraan.
Selain beberapa alasan di atas, saya menemukan pemaparan dari hasil penelitian yang
menurut saya menarik. Sesuatu yang enggak seratus persen menekankan ke
psikologi komunikasinya tapi psikologi interaksi di social media. Ada tiga poin.
Interaksi di social media bisa
mengurangi self awareness
Ini
jadi menarik buat saya yang sangat menghargai self awareness. Sebuah penelitian membuktikan kalau, seseorang yang melakukan
banyak interaksi di social media (dalam penelitian ini, Facebook) tingkat self awareness mereka berkurang.
Ketika
kita menghabiskan banyak waktu membaca status orang lain, apa yang mereka
rasakan, pikirkan, keluhkan, atau melihat kegiatan orang lain, ini membuat kita
sangat terfokus pada orang lain dan menjauhkan dari diri kita sendiri. Sehingga
mengurangi self awareness yang bisa
jadi merujuk ke berkurangnya self control.
Lawan bicara yang enggak fixed
Ketika
bertemu muka langsung di dunia nyata, kita banyak mengontrol diri dan omongan,
disesuaikan dengan orang yang kita ajak ngobrol. Online, kita bicara tanpa merangkai informasinya spesifik untuk
satu tipe orang. Mungkin kita hanya mempertimbangkan perasaan atau oendapat
orang-orang yang sering berinteraksi dengan kita lately, offline atau online.
Padahal,
teman kita di social media banyak yang enggak melakukan interaksi tapi ikut
membaca pesan kita. Bisa jadi, orang yang enggak kita pertimbangkan akan
mengonsumsi informasi kita merasa tidak cocok. Atau bahkan tersinggung. Malah,
ada juga yang saking kehilangan self control jadinya melakukan bullying atau trolling.
Lebih mudah membenci online
persona daripada seseorang di dunia nyata
Seperti yang salah satu teman saya rasakan
(ditulis di atas), ia berteman baik dengan seseorang di dunia nyata tapi sama
sekali enggak bisa mentoleransi aktivitasnya di social media. Kenapa? Masih
menurut penelitian yang sama,
kita memang lebih mudah membenci persona seseorang di social media. Karena, di
kehidupan nyata kita beradaptasi ketika berinteraksi. Ada banyak indera yang
terlibat.
Tapi
ketika online, hanya satu indera yang
kita andalkan, mata, membaca status atau melihat foto. Dan enggak semua orang
pandai merangkai kata-kata sebagai perwakilan pendapat atau pikirannya. Pun,
gagasan mereka enggak disaring oleh konteks sosial lainnya yang mungkin banyak
terjadi di interaksi langsung. Dan ini, bisa memicu salah paham.
Saya sendiri berupaya tetap menjadi diri
sendiri di social media. Tapi
tentunya tetap yang versi edited, curated. Karena di dunia nyata pun
sebenarnya, sebagai seorang introvert, saya juga melakukannya. Hanya, karena
lebih sering berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata, mereka bisa melihat
sisi diri saya yang candid, non edited, raw. Hal yang mungkin enggak akan saya biarkan terjadi pada online persona saya.
Yah, pada akhirnya kalau menurut saya sih,
kita harus ingat kalau, social media
itu sama sekali bukan ranah private,
enggak se-anonim itu, dan mem-branding
diri kita sendiri. Terserah, bagaimana mau menciptakan brand image kita, classy or
lousy? Up to you.
Comments
Post a Comment