Elio dan Duka Kehilangan Kucing Peliharaan di Masa Pandemi


Kadang suamiku suka tiba-tiba nanya, “Elio lagi apa, yah?” Yang kemudian aku jawab, “Lagi main, lari-larian di luar.” Padahal Elio udah meninggal 128 hari yang lalu, 12 September 2021.

Dari 128 hari itu enggak ada satu hari pun lewat di mana aku enggak kangen sama Elio. Kadang masih suka ngeliatin fotonya, videonya, nangis enggak kenal tempat kalo lagi inget, dan masih ada porsi sisa-sisa perasaan menyalahkan diri sendiri.


“Salah aku, deh. Kalo aku x waktu itu, dia enggak akan mati.” Dan x di sini bisa diisi dengan berbagai alasan atau skenario dan semuanya terasa masuk akal. Berkali-kali juga aku bilang sama suami, ini salah aku, deh. Berkali-kali juga dia bilang, wajar menyalahkan diri sendiri di situasi duka.


Apalagi buat aku, #sipalingmenyalahkandirisendiri di segala situasi. Ya, soalnya mau menyalahkan siapa lagi, Mas Aris?


Ini pertama kali aku berani menuliskan soal Elio, bahkan perdana menulis setelah sekian tahun. Kenapa sekarang? Kalau digali dalam-dalam, rasanya dan semoga ini upaya buat bangkit. Pandemi dua tahun ini udah bikin kita merasakan banyak kehilangan, nggak, sih? Buatku, bukan cuma Elio yang 'hilang,' tapi juga kehidupan yang aku bangun dan konsep diri yang aku bentuk pra-pandemi. Rutinitas, cara pandang, rencana, impian, dan prioritas berubah. Sampai di titik aku lupa, apa yang membuat aku adalah aku dan apa yang membuat aku punya semangat menyambut hidup. [Baca artikel referensi: The Discomfort you're Feeling is GriefYou Can't Outrun Pandemic Grief]



The pandemic has killed the life that I know and the person I was before.



Elio adalah kucing pandemi, yang aku adopsi dari Tika temanku. Sebenernya cukup nekad juga waktu adopsi dia, karena masih tinggal di kost dan WFO (WorkFrom Office). Dan di kehidupan pra-pandemi aku lumayan banyak agenda di luar rumah, tapi sejak ada Elio yang nungguin pulang, kegiatan itu mulai berkurang. Lalu datanglah pandemi. Setiap hari kami bertiga, dari bangun buka mata sampai tidur lagi.


Sejak kecil Elio sudah melanggan di Klinik Amore Kemang. Karena dia sempat mencret dan muntah beberapa minggu di awal masa transisi. Dokter bilang, dia lahir dengan birth defect, ada parasit darah. Dan menurut dokternya ini enggak bisa sembuh, harus dijaga kesehatannya karena imunnya rentan. Sebisaku, selalu ngasih yang terbaik buat Elio, makanan, vitamin, vaksin lengkap, kebersihan, tiap kali ada keluhan aku bawa ke klinik dokter hewan. Jadi patah hati luar biasa menghadapi hasil yang menghianati usaha, ketika Elio meninggal karena infeksi virus. [Baca artikel referensi: Feline Hemotrophic Mycoplasmosis]




Nama Elio diambil dari novel "Call Me by Your Name" karya André Aciman.



Tanpa disangka, keluarga, sahabat, dan teman sangat mengerti ketika aku berduka. Mungkin karena rasa berduka itu universal yah? Semua yang pernah kehilangan tahu rasanya. Dan mereka paham kalau duka enggak bisa hilang. Ketika kita merasakan duka karena kehilangan, rasa duka itu akan selamanya jadi bagian dari diri kita. 


Ada waktunya kita ‘lumpuh’ karena duka tapi ada waktunya kita melanjutkan hidup seperti biasa sambil membawa duka itu ke manapun kita melangkah. Lucunya, bangkit dari duka itu enggak linear, semakin lama waktu berlalu belum tentu duka semakin samar, kadang kita bisa masuk ke lubang yang sama. Enggak jarang, aku kembali ke hari di mana aku menjerit lalu menangis sejadi-jadinya ketika dapet kabar dari klinik kalau Elio enggak berhasil melawan virusnya.


Kalau lagi kembali ke lubang kedukaan, kadang bisa terjun bebas tanpa kontrol. Balik lagi ke menyalahkan diri sendiri, merunut semua skenario yang, “Harusnya gini, harusnya gitu.” Lalu sampai ke dasarnya dan muncul pemikiran playing victim“Why me?” Kayak, “Kenapa Tuhan mengambil satu-satunya hal yang bikin aku bahagia?” Atau, “Kenapa dia bukan aku aja.” Sayup-sayup terdengar suara Tom Rosenthal nyanyi, God, stood me up~.” Klasik. [Baca artikel referensi: How your Brain Copes with Grief]


Grief is a natural response to loss — so we'll feel grief forever.

 


Grieving in 2021.



Lalu masuk ke fase berupaya membuat semuanya masuk akal. Baca semua artikel tentang penyakit yang bisa menyerang kucing, menyaksikan duka orang asing di internet dan menyisihkan air mata juga doa buat mereka, baca semua artikel psikologis dan biologis soal duka pada manusia, dan berusaha mencerna peristiwa ini dengan rasional. Mungkin ini umum untuk para INTJ di dunia? Setidaknya buat aku yang menemukan kenyamanan ketika apa yang dirasakan punya nama dan punya penjelasan ilmiahnya. Soalnya kalo ngerasain sesuatu dan enggak masuk akal itu berasa ‘gila,’ enggak sih? [Baca artikel referensi: How the INTJ Copes With the Many Forms of Loss]


Dari pencarian, sempat baca kalau sel manusia itu mengalami regenerasi setiap tujuh tahun. Luar biasa, enggak sih? Berarti setiap tujuh tahun aku adalah aku yang baru. Berarti tujuh tahun lagi akan ada aku yang baru yang enggak pernah merasakan kehilangan Elio. Sayangnya ini mitos yang diromantisasi, bukan fakta ilmiah. Memang ada beberapa sel manusia yang beregenerasi, misalnya sel kulit yang regenerasi tiap dua atau tiga minggu. 


Sayangnya lebih banyak sel lain yang masih "dia lagi, dia lagi" dari kita lahir. Tapi, jangan patah semangat, katanya lagi ada penelitian soal regenerasi sel otak yang berkaitan sama memori. Mungkin dalam beberapa tahun lagi teknologi yang ada di film Eternal Sunshine of the Spotless Mind bakalan jadi nyata. [Baca artikel referensi: Body Really Replace Itself Every 7 YearsRegeneration of Brain Cells] 



I wish my memory would regenerate every two or three weeks just like the cells that make up my skin are. I know it was created that way because the skin is the main protection against the environment. But aren’t my brain cells that storage memories is the main protection against the brutality of the reality?



Kenapa enggak menyangka reaksi orang di sekitar akan suportif dengan aku yang berduka? Karena aku pikir enggak semua orang menikmati atau punya privilej mempunyai binatang peliharaan. Karena kupikir, banyak yang menganggap mereka "cuma peliharaan." Juga karena ada banyak yang merasakan kehilangan dan duka selama dua tahun kemarin di berbagai spektrum. Dan entah kenapa masih ada yang suka membandingkan tragedi di era “lo masih mending, lah gue” ini. Padahal nyatanya, seperti suka, duka sulit untuk dibagi.



Rest in love, my sweet Elio.


Comments