hiperbola
"To reduce uncertainty," kamu bilang. "Salah satu fungsi komunikasi. Iya kan? Manusia berkomunikasi untuk mengurangi ketidakpastian," kamu melanjutkan.
Saya mengangguk, tertegun. Tidak hanya dengan apa yang meluncur dari mulut kamu, tapi dengan timing di mana kamu mengatakannya. Saya sering meresapi apa yang saya alami, perbincangan di mana saya terlibat, kalau saya belajar banyak, biasanya saya lebih banyak diam. Begitu saya kebanyakan berlaku, di depan kamu.
Kemudian kepala saya mencerna, tanpa kamu, banyak merekonstruksi kejadian sebelumnya. Asal kamu tahu kebanyakan perempuan melakukan itu. Khususnya perempuan macam saya, kalau bahasa kamu, hiperbola, berlebihan, ya, saya di mata kamu. "Lalu apa yang terjadi setelah ketidakpastian itu hilang atau berkurang? Tidak ada artinya hanya memastikan. Pada akhirnya kata-kata tidak berarti apa-apa, tanpa tindakan," pikir saya.
Dan itu berdiam di pikiran saya sampai sekarang, sama seperti racauan-racauan saya lainnya yang begitu banyaknya. Tapi kenapa seringkali saya merasa saya tidak bisa membicarakan pikiran saya terang-terangan di depan kamu?
Ahh, bisa jadi karena saya akan memulainya dengan sebuah keluhan, wajah yang memurung, kepala yang gontai, dan mulut yang manyun, dan kamu akan berkata "sekarang kenapa lagi?" membuat saya batal berkata-kata. Atau karena saya malas dikatai "berlebihan" untuk kesekian kalinya. Atau karena kamu selalu memberi masuka logis sementara yang saya butuh hanya didengar dan di-iya kan. Atau karena kamu akan diam dan mengangguk dengan mata yang tidak menatap kembali pada mata saya. Atau karena saya hanya bisa berkata-kata setelah merasa yakin, nyaman, bertatap muka, diberi waktu, dan diminta. Dan kesempatan itu sekarang ini, sulit sekali ada, hampir tak ada.
Saya tahu saya berlebihan, semua orang bilang saya begitu, dan kamu tahu bahwa saya tahu itu. Saya hanya mau ketika 'pulang' saya dimaafkan atas keberlebihan saya. Tapi tampaknya saya sekali lagi berharap berlebihan.
And sadly, those uncertainty left uncertain.*
Saya mengangguk, tertegun. Tidak hanya dengan apa yang meluncur dari mulut kamu, tapi dengan timing di mana kamu mengatakannya. Saya sering meresapi apa yang saya alami, perbincangan di mana saya terlibat, kalau saya belajar banyak, biasanya saya lebih banyak diam. Begitu saya kebanyakan berlaku, di depan kamu.
Kemudian kepala saya mencerna, tanpa kamu, banyak merekonstruksi kejadian sebelumnya. Asal kamu tahu kebanyakan perempuan melakukan itu. Khususnya perempuan macam saya, kalau bahasa kamu, hiperbola, berlebihan, ya, saya di mata kamu. "Lalu apa yang terjadi setelah ketidakpastian itu hilang atau berkurang? Tidak ada artinya hanya memastikan. Pada akhirnya kata-kata tidak berarti apa-apa, tanpa tindakan," pikir saya.
Dan itu berdiam di pikiran saya sampai sekarang, sama seperti racauan-racauan saya lainnya yang begitu banyaknya. Tapi kenapa seringkali saya merasa saya tidak bisa membicarakan pikiran saya terang-terangan di depan kamu?
Ahh, bisa jadi karena saya akan memulainya dengan sebuah keluhan, wajah yang memurung, kepala yang gontai, dan mulut yang manyun, dan kamu akan berkata "sekarang kenapa lagi?" membuat saya batal berkata-kata. Atau karena saya malas dikatai "berlebihan" untuk kesekian kalinya. Atau karena kamu selalu memberi masuka logis sementara yang saya butuh hanya didengar dan di-iya kan. Atau karena kamu akan diam dan mengangguk dengan mata yang tidak menatap kembali pada mata saya. Atau karena saya hanya bisa berkata-kata setelah merasa yakin, nyaman, bertatap muka, diberi waktu, dan diminta. Dan kesempatan itu sekarang ini, sulit sekali ada, hampir tak ada.
Saya tahu saya berlebihan, semua orang bilang saya begitu, dan kamu tahu bahwa saya tahu itu. Saya hanya mau ketika 'pulang' saya dimaafkan atas keberlebihan saya. Tapi tampaknya saya sekali lagi berharap berlebihan.
And sadly, those uncertainty left uncertain.*
Comments
Post a Comment