little grey cat in a dark grey night
"There is something about the presence of a cat that seems to take bite out of being alone," Camuti.
Sejak kecil dia memang enggak mau dipengang. Enggak tahu kenapa, mungkin trauma sama manusia. Lahir di antara perumahan padat di Jakarta, di antara rumah-rumah tanpa pekarangan luas, kehadirannya memang tidak diharapkan. Maklum, kucing kalau buang kotoran suka di mana saja, mengganggu kenyamanan.
Sejak kecil dia sudah sering masuk ke rumah kos saya. Seringkali menyebabkan kehebohan. Entah mengapa para perempuan di kosan saya senang sekali menjerit. Tidak ada air, kedatangan kecoak, memanggil pembantu, semuanya menjerit. Apalagi kalau ada anak kucing liar, kotor, masuk ke rumah kos. Semua menjerit. Pembantu saya juga ternyata takut kucing, jadilah si kucing kecil diusir dengan sapu lidi.
Ditambah lagi sejak kecil suaranya memang lantang sekali kalau mengeong. Suatu malam saya lihat dia terduduk di atap mengeong kencang sekali. Tidak bisa turun. Saya minta pacar saya bantu kucing abu-abu itu turun. Eh, dia malah lari. Seperti saya bilang, sejak kecil dia enggak suka dipegang manusia.
Malam kemarin, sepulang makan malam masakan Manado bersama pacar saya, saya lihat dia di sebrang pintu kosan. Seperti biasa, dia sering nongkrong di sana. Tapi gerakannya aneh. Dia meliuk-liuk ke arah yang sama, ke kiri lalu terjatuh, bangun lalu terjatuh. Saya sering pelihara kucing, sering ditinggal mati kucing. Firasat saya bilang, dia pasti terlindas kendaraan.
Lalu dia jatuh terkapar di sana, di depan rumah tetangga sebrang kosan saya. Dia terkapar saja, diam, sesekali seperti kejang. Tapi mulutnya tidak berbusa. Matanya terbuka. Saya sejak pulang tadi itu masih saja menatap dia. Bingung harus bagaimana. Selain menangis. Sampai terisak-isak saya tunggui dia. Sampai dia tidak bergerak lagi. Lalu saya hampiri, jongkok, menunggui dia sampai dia tidak bergerak lagi. lagu dia, diam, diam sekali.
Tetangga kos saya bilang, "dibungkus aja sama kain. Enggak apa-apa kalau enggak sengaja," dia bilang. "Bukan saya yang bunuh!" saya bilang. Kalau saya yang bunuh mungkin tangisan saya bukan isak lagi tapi mengerang. Setelah bilang begitu dia pun tak peduli lagi.
Saya masuk rumah kos, saya obrak-abrik beberapa kardus di atas lemari. tempat saya simpan barang-barang aneh dan tak terpakai. Saya ingat, di salah satunya saya simpan secarik kain biru bekas membuat tote bag. Ternyata ada.
Saya cari lagi plastik. Saya temukan loundry bag yang saya ambil dari hotel yang pernah saya inapi di KL. Saya bawa keluar. Saya gelar kain biru itu di jalan. Pacar saya angkat si kucing lalu membungkusnya. Adegan horor dari malam itu adalah ketika darah mengalir dari telinga si kucing abu. Isak tangis saya makin menjadi.
Setelah dimasukkan plastik, kami bingung mau dikubur di mana. Sementara tanah kosong, sulit sekali dicari. Naiklah kami ke atas motor. Melaju ke arah RS. Mata Aini, mungkin di sana ada tanah lapang. Sementara tangan kanan saya menenteng plastik putih. Berisi kain biru. Berisi si kucing abu.
Tidak jauh dari Aini ada lapak kosong di tepi jalan. Kami menepi. Pacar saya mulai menggali tanah, dengan kunci baut atau apalah itu namanya, kunci yang dia ambil dari bagasi motornya. Saya enggak tega, sampai kapan dia selesai menggali kalau alatnya sekecil sendok.
Saya beranjak ke kedai kopi dan indomie tidak jauh dari situ. "Pak, saya boleh pinjam sekop?" saya bilang. Bapak pemilik kedai menatap saya dengan heran. Saya tahu, dia pasti heran ada perempuan dengan mata berkaca-kaca meminta sekop di pukul setengah sepuluh malam. "Untuk apa?" dia bilang. "Mengubur kucing," kata saya. Setelah bertanya agak mirip polisi, dia memanggil kawannya, bapak-bapak juga. "Biar bapak ini saja yang kuburkan kucingnya."
Saya ambil plastik putih itu, saya panggil pacar saya. Lalu kami berjalan ke arah tanah lapang. Ternyata tidak jauh dari situ ada tanah lapang yang luas dan terbengkalai. Si bapak mengambil pacul dari masjid. Kami lalu menguburkannya di sana.
"Memang kasihan kalau kucing mati ditinggal di pinggir jalan. Keun, di dieu weh moal aya anjing," kata dia. Ternyata si bapak dari Singaparna. Jadilan dia dan pacar saya ngobrol dengan bahasa Sunda halus. Saya mendengarkan saja sambil melihat jalannya penguburan. Dan kaki saya digigiti nyamuk kebon dan semut merah.
Setelah selesai, pacar saya memberi si bapak uang sepuluh ribu rupiah. Tidak sebanding atas kebaikannya membantu kami. Tapi sebegitu adanya di dompet pacar saya. Saya enggak bawa dompet saking buru-burunya berangkat dari kosan.
Saya masih sedih. Tapi sedikit mendingan. Beberapa saat ketika pacar saya membantu si bapak mencuci pacul, dari arah kuburan si kucing abu, muncul kucing kecil berwarna hitam putih. Lucu sekali dia. Mengendap-endap. Saya mau pegang, tapi saya takut dia nanti dimakan lagi oleh ibunya. Dia masih sangat kecil soalnya.
Lucu sekali, waktu saya panggil, dia melihat saya dengan mata besarnya. lucu sekali. Malam itu, dia membuat saya tersenyum, seperti bilang, "satu kucing mati, ratusan lainnya berlari."
Sampai jumpa kucing abu, ibu saya bilang, semua binatang mati masuk surga. Walaupun yang nakal seperti kamu :')
Sedih banget, Cil. Jadi inget kucingku, si mavin :((
ReplyDeleteAhhh... Acil... turut berdukaa.... Kucing abu, sampai ketemu di Surga... *doakan saya, acil, pacar acil dan semuanya masuk surga yah...
ReplyDeleteauh auh auh auh auh
ReplyDeletekucing kamu kenapa, yas? :(
ReplyDeletehehe, thanks you wan :)
iya peh, auuuuuh :'((