nyontek massal



"Astri, nanti kalau tahu jawabannya tolong kasih tahu yang lain yah. Apalagi yang dekat, ke belakang ke xx, ke samping ke xx, ke depan ke xx. Jangan lupa, temannya dibantu yah. Enggak apa-apa saling membantu," kata beliau.

Padahal saya tidak termasuk kalangan pintar, setidaknya saya pikir begitu. Sejak pindah ke SD itu di kelas 4 jangankan masuk lima besar. Dua puluh besar saja sepertinya tidak. Makanya saya heran waktu wali kelas saya bilang begitu di hari ujian nasional.

Saya ingat sekali, jantung saya berdebar kencang. Ini biasa terjadi kalau saya mau bohong atau disuruh bohong. Makanya saya enggak suka bohong, soalnya pasti ketahuan. Saya ingat saya merasa perkataan si bapak itu salah. Tapi saya bingung, soalnya dia baik selama mengajar. Dan dia guru, masak iya dia mengajarkan saya hal yang salah.

Jadilah nasehatnya saya turuti. Lagipula kata ayah saya dulu, dengan memberi tahu orang lain pengetahuan saya tidak akan berkurang, saya tidak rugi. Mereka dapat prestasi bukan karena kemampuannya sendiri, saya juga tidak rugi. Dan lagi, saya ingat betul. Perkataan wali kelas saya beberapa menit sebelum ujian dimulai itu, membuat saya berpikir kalau mungkin saya ini memang pintar. Kali pertama saya berpikir begitu sejak masuk ke sekolah yang terbilang elit di kawasan Cimahi itu.

Saya bagi jawaban saya. Apalgi pada satu teman saya di belakang sebelah kiri saya. Dia baik sama saya, saya juga suka sama dia karena cantik. Dan dia murid pindahan seperti saya. Saya tahu bagaimana sulitnya berbaur dan mengejar ketinggalan pelajaran yang pastinya berbeda di tiap sekolah. Saya tidak merasa rugi. Tapi jantung saya tidak berhenti berdebar kencang sampai ujian berakhir.

Sampai sekarang tidak pernah saya ceritakan ini pada orang tua saya. Karena saya pikir tidak penting. Karena saya yakin wali kelas saya tidak mungkin mengajarkan saya hal yang salah. Dia guru, dia itu teladan. Dan di otak kecil saya ketika itu, saya yakin maksud dia baik. Membantu teman saya agar bisa lulus semuanya.

Ketika rapor terakhir dibagikan, saya sangat terkejut. Saya dapat peringkat tiga atau empat, saya lupa. Pokoknya masuk lima besar, bersama beberapa teman yang sebelumnya tidak masuk sepuluh besar. Lima peringkat teratas bukan lagi jatuh pada si anak cantik anak politikus penting di bandung. Bukan lagi jatuh pada anak si ibu yang sering menyumbang ke sekolah. Bukan lagi jatuh pada anak si ibu yang aktif mengumpulkan uang dai orang tua murid yang lain untuk membelikan kado bagi semua guru. Saya ingat, ketika itu kami kaget sekali.

Pengalaman itu membuat saya melihat berbeda pada wali kelas saya. Saya mulai memikirkan ulang semua pengalaman saya ketika SD. Mulai tidak yakin pada guru, pada sekolah, pada sistem. Saya mulai tidak menyukai guru. Hubungan yang saya jalin, profesional saja. Saya benci aturan sekolah tapi tidak punya nyali melanggarnya.

Untungnya saya suka pergi ke sekolah. Saya suka melihat teman-teman, saya suka menyepi di keramaian. Saya suka memupuk imajinasi, melihat kecengan dan bermimpi. Saya suka menggambar di sela-sela guru menerangkan pelajaran yang membosankan. Saya suka mengerjakan ujian bahasa karena saya tahu saya pasti dapat nilai bagus. Saya suka pelajaran biologi karena saya akan ke laboratorium bermain dengan preparat. Saya suka pelajaran olah raga karena saya akan keluar dari kelas.

Kenapa saya masih semangat mengejar peringkat? Karena itu satu-satunya cara yang saya tahu untuk membuat ibu saya punya sesuatu yang dibanggakan ketika ngobrol dengan tetangga. Sebenarnya saya tidak suka ibu saya cerita ke tetangga. Saya tidak suka cara mereka melihat saya. Seperti anak pintar. Padahal saya merasa biasa saja. Saya juga bisa nakal. Makanya saya buktikan ketika SMA. hahahaha.

Dan ketika SMA, tidak perlu guru menyuruh murid untuk saling membantu. Kami sudah cukup dewasa untuk mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Dan tidak hanya karena sesuatu itu salah maka tidak kami lakukan. Apa artinya salah kalau dianggap wajar?

Saya yakin, pola pikir yang punya negara masih seperti itu, saya ketika masih sekolah dulu, perkataan ayah saya dulu. Toh, pengetahuan tidak akan berkurang kalau dibagi. Betul pak mentri?

Comments

  1. kalau mengerjakan PR dan tugas aku berbagi, kalau ulangan aku gak mau berbagi. Pernah dimusuhi teman sebangku. Tapi, EGP. Pernah juga dapat nilai 3 dan HER karena keukuh gak mau ikut nyontek. Ah biarin hehe

    ReplyDelete
  2. betul, dek acil -> itu kt pa menteri :D
    saya paling malas nyontek, ngabisin waktu nuggu jawaban dr org lain. kecuali ppkn yng seringkali ngumpetin buku/lks langsung dbwh meja utk ditiron sepersis di bukunya :p

    ReplyDelete
  3. cil cing genti atuh ieu bekgron na. lieur macana

    ReplyDelete
  4. hihi, iya sih kadang kalo enggak mau ngikut yang "wajar" jadinya dimusuhi :p saya juga paling enggak berani nyontek (pengecut) kalau mencontek pasti ketahuan :))

    eh, ini kan bintangbintang di langit peh, masa bikin pusying :p

    ReplyDelete
  5. hahah, geus nikah ge maneh jigana emang tetep jeprut peh! *eh, cil, sori ya ikut ngomen, tapi yg ga nyambung sama posting (si ipeh jeprut sih).

    ReplyDelete

Post a Comment