Kenapa Sulit Menulis Ketika Kita Bahagia?
**5 Alasan Kenapa Kita Lebih Gampang Menulis Ketika Sedih
“Kalian kan band dari
Indonesia, kenapa selalu menulis lagu dalam bahasa Inggris?” tanya saya
pada band Mocca belasan tahun lalu di Bandung, untuk mata kuliah Dasar-Dasar
Wawancara. “Karena kita merasa lebih gampang aja menumpahkan perasaan dalam
bahasa Inggris,” kata Arina sang vokalis yang lain pun mengamini.
Ya kita tahu lah ya, tiap orang punya kecenderungan
masing-masing dalam menumpahkan perasaan. Kalau saya, paling gampang menuliskan
kesedihan. Dan hampir enggak bisa menuliskan pengalaman menyenangkan. My brain was like, so, what should I write?
Where do I start? Lalu sadar, kenapa sih sulit menulis ketika kita (saya)
bahagia?
Menulis itu terapi
Some people dance,
some go out and about, some straight forward tell their friends, some write.
Buat saya, yang suka gagap mencurahkan perasaan secara
langsung, menulis itu terapi. Karena menuliskan kesedihkan juga membantu saya
manganalisa perasaan, dialog dengan diri sendiri. Tapi, walaupun bentuknya
tulisan, saya tetap late post. Alias,
saya cerna dulu perasaan saya, baru menuliskannya agak lama setelah itu. Saya
enggak menulis begitu merasa. Karena perasaan itu memang untuk dirasakan. Iya,
saya baper. Hanya karena istilah itu jadi overused,
enggak berarti kemudian dia jadi kegiatan yang salah, sih. Bayangkan kalau
enggak ada orang-orang baper, enggak akan ada puisi, prosa, film, lukisan, dan
enggak akan ada musik. Saya enggak bisa membayangkan dunia tanpa musik. Dengan
mengeluarkan perasaan menjadi tulisan, maka perasaan itu menjadi sesuatu yang
lain, menjadi kisah.
Secara scientific
juga dijelaskan betapa menulis itu bisa menjadi terapi. Bisa dibaca di sini.
Bahagia enggak
membuat kita merenung
Kapan terakhir kali merasa bahagia? Bahagia yang membuat
kita enggak bisa menahan senyum, yang membuat hati seperti ditiup dan
mengembang? Saya, ketika menicum bibir suami saya di sebuah restoran, minggu
lalu. Mungkin kesannya hal kecil, tapi dulu suami saya ini anti banget sama
afeksi di depan umum dia enggak suka PDA. Jadi ketika dia sesantai itu, I feel like there’s a lotus flower blooming
in my heart. That moment become something so dear in my heart but I don’t write
about it, why? Karena pengalaman menyenangkan enggak membuat kita merenung.
Kita cenderung on high
merasakannya saja, ketika kita bahagia. Enggak mempertanyakan kenapa. Kita lebih
suka berkegiatan, go out and about,
hangout with friends, menatap langit yang birunya hampir transparan. Enggak
merenung sendirian di kamar dan akhirnya membuka aplikasi note di hand phone atau membuka laptop,
dan menulis.
We don’t want to brag
Mungkin ini saya saja, yang merasakannya. Membaca pengalaman
bahagia orang lain kadang seperti mendengar dia sedang bragging about her/his life. Tergantung cara menulisnya memang,
ketika ada sesuatu yang akhirnya saya bisa ambil dari tulisan itu sih, enggak
masalah. Misal, tulisan pengalaman perjalanan disertai tips. Atau pengalaman
menyelenggarakan resepsi pernikahan disertai masukan. Bermanfaat banget, kan?
Tapi enggak semua seperti itu, dan tulisan-tulisan bragging begitu yang saya coba hindari. I don’t like to read them, why should I write them, right?
Tapi kemudian, jangan-jangan selama ini saya bragging juga soal keenggakbahagiaan
saya, dong? Seakan-akan berharga untuk disombongkan, ha-ha-ha. Please believe me, it was never my intention
to do so.
Enggak meluangkan
waktu
Ketika kita bahagia, kita sibuk bahagia. Kayak kalau baru
punya pacar, maunya sama dia terus. Kayak baru dapet kerjaan baru, kita terus
aja ngerjain itu. Kayak kalau lagi ada album baru dari musisi kesukaan, terus
aja kita dengerin itu. When we’re happy,
we just want to be. Kita enggak meluangkan waktu untuk menuliskannya, kita
hanya ingin merasakannya. Malah mungkin bahkan enggak kepikiran sama sekali
untuk menuliskannya. Dan bagi saya, yang suka menabung bola-bola memori
bahagia, saya sangat posesif, sulit membaginya dengan orang lain. Sulit, bukan
sama sekali enggak bisa, kalau dicoba. Never
say never.
Pilihan genre
Paling suka buku atau film genre apa? Kalau sudah suka genre
itu kita cenderung terus mencari buku dan film baru di genre yang sama. Karena
kita suka, because it touch our heart.
Sama dengan tema tulisan. For me, the sad ending, the shadow of sorrow, the misfortune moments,
the bitter end, the underdog, the misfits, the injustice, the angst, the irony,
adalah genre yang menarik dan
membekas di hati. Jikalau memang suka kisah cinta fairy tale bisa baca tulisan di blog lain. Atau ingin motivasi
super positif yang saking positifnya terasa seperti dipaksakan? Bisa juga di
domain lain. It’s not that I hate those
kinda writing, it just too hard for my brain to digest.
*foot note:
Not that I have to
explain to everyone about my life. But I fear people start to see me as that
lady who can never be happy. And I
worry it will affect your perception towards some people that I care about most
(and care about me). I am alive, healthy, willingly struggling in life just
fine like everyone else. And just like Robert Smith once said, "I've always spent more time with a
smile on my face than not, but the thing is, I don't write about it." But,
I’ll try.
Comments
Post a Comment