Untuk Yang Merasa Usia 30 Itu Mengerikan, Tunggu Lima Bulan Kemudian
****4 kali ke salon dalam 4 bulan. Rekor! |
Sebut saja generasi menolak tua, Peter Pan syndrome, atau berusaha mengelak dari takdir. Terus terang saya takut, menjadi tua. Bukan soal ingin kelihatan selalu muda, ini sih mau dandan dan makeup kayak apa juga tetep aja kelihatan kayak anak SMA. Tapi, the fact that I will lose some control of my own body, my own mind, and how it will reduce my quality of life are things that I struggle with the most. Iya sih, enggak di usia 30 juga itu terjadi, tapi, the idea od being old was always about those kind of thing, in my head. Karenanya, ketika itu saya sama sekali enggak antusias menyambut Mei 2016.
"This is such a
pivotal moment in my life! I'm transitioning as a woman, and I'm finally able to
express myself as I am." Beyonce.
“I
don’t think I had a care in the world at 25, either. That all started in my
30s, my awkward phase. I’m a little bit of a late bloomer!
Jennifer Anniston.
Ada alasan kenapa Beyonce bisa menjadi seorang Beyonce. Saya
sih sama sekali enggak embracing the
transitioning moment. Mungkin agak seperti Jenn yang mengalami masalah di
usia 30-an. Menjelang 30, saya seperti hilang arah. Bersikap di luar kebiasaan.
Dan banyak sekali mengambil keputusan salah yang fatal. Malah, bisa dibilang
terburuk seumur hidup saya. “What the
hell is wrong with me?” Pikir saya beberapa bulan lalu.
Here are some of my
worst decisions when turning 30:
1. Satu perasaan
yang paling mengganggu adalah merasa tertinggal. Hirup teh asa kieu-kieu wae. Dari segi pekerjaan padahal sebenarnya
saya lumayan lah waktu itu, editor. Tapi teman-teman saya udah melesat jauh
entah ke mana dan bikin saya merasa seperti ada yang menaburkan garam di atas
luka tiap kali buka LinkedIn. Fakk. What
have I done with my life? Mulai deh galau dengan mengiyakan untuk datang interview beberapa tawaran pekerjaan yang
saya pikir bisa mengubah keadaan.
***Lima bulan kemudian saya sadar, setiap orang punya speed of life yang berbeda. Tapi, ada
bagusnya saya anxious soal ini,
karena ini membawa saya ke keadaan yang lebih baik sekarang. I know my worth, so I strike for the better.
Keputusan salahnya di mana? Ketika itu saya grasak-grusuk, sehingga ketika
mengalami kegagalan kecil kesannya lagi menghadapi armageddon.
2. Waktu itu saya merasa harus ada yang berubah, sekarang! Dan saya mulai berulah yang mengakibatkan komunikasi sama suami yang tinggal di Yogyakarta jadi buruk. Karena saya enggak sabar untuk ada yang berubah. Sudah menikah tapi LDR. Sudah menikah tapi masih nge-kos. Sudah menikah tapi belum mulai nyicil apa-apa. Hal-hal yang awalnya bukan masalah besar tiba-tiba meraksasa. Oh, the heartache and confusion. And then I become numb about all those things.
***Lima bulan kemudian saya sadar, my husband is the greatest man that I know. In my sane moment, I
realize it clearly. Dan cuma dia satu-satunya laki-laki di dunia ini yang
bisa mengatasi perempuan seperti saya. Silver
lining-nya, saya jadi bisa lebih terbuka soal apa yang saya pikirkan.
Selama ini saya sepertinya agak gila ketika saya pikir setelah bareng 10 tahun
seharusnya dia bisa membaca pikiran saya. Clearly
not. “You have a sophisticated mind, sometime I just can’t understand it,”
kata dia. “Complicated. Not
sophisticated,” kata saya. “No.
Sophisticated!” kata dia. Kita sepakat di outer space and inter-galactic mind aja, deh.
3. Say YES to many things. Gara-gara numb, males mikir, capek harus
mempertimbangkan masak-masak tentang satu hal di mana hal yang harus dipikirin
sebenar-benarnya malah enggak kepikiran, I
ended up say yes to some things. Masa-masanya beli baju tiap ke mall.
Padahal biasanya juga beli di Rumah Mode atau bazaar. Masa-masanya beli sepatu
sebulan dua kali. Masa-masanya makan di luar setiap malam dan pesan tanpa liat
harganya. Masa-masanya bilang iya, tiap diajak jalan sama siapa aja. Untungnya
enggak ada yang nawarin narkoba, ada sih yang nawarin weed, tapi untungnya enggak kejadian. Ngeri abis.
***Lima bulan kemudian, saya bokek. Uang side job weekend
kecil-kecilan yang tadinya pengen diubah jadi barang pun raib entah ke mana.
Badan lemes karena tiap malem keluar sampai larut. Sakit maag gara-gara
sok-sokan jadi doyan ngopi. Ngenes. Sekarang sudah kembali ke chai tea latte.
4. Berganti-ganti penampilan. Sebagai
pembosan, sebenarnya saya lumayan sering ganti penampilan, khususnya model
rambut. Dan waktu itu saya bosan banget sama penampilan. Bosen rambut pendek,
bosen bob, bosen panjang, bosen potong rambut, akhirnya saya ke salon minta
dikeriting. Ha-ha-ha. Walaupun banyak yang memuji, tapi enggak bertahan lama,
sih. Akhirnya saya paham bagaimana perasaan cewek berambut keriting, sulit
ditata. Apalagi kalau yang kritingnya palsu seperti saya kemarin. Sebulan udah enggak
secakep itu. Sempet dikeriting lagi karena yang pertama merasa gagal. Tapi
kemudian dua bulan udah jelek lagi. And I
honestly don’t really like the attention I got from men when I had curly hair.
They suddenly noticed me. Enggak kayak sebelumnya, yang mana tampilan saya
biasa tomboy dengan baju hitam-hitam.
All of sudden older men like to stare. It
was not flattering. It was creepy! See, enggak semua perempuan dandan buat
menarik perhatian cowok, kan?
***Lima bulan kemudian kembali ke rambut cepak dengan modal dua
ratus ribu aja enggak kayak mengeriting rambut. I feel more like myself.
5. Saya merasa menolak
ada dalam satu kategori dengan perempuan lain seusia saya. Padahal saya ini
enggak spesial, siapa sih saya bisa-bisanya enggak mau ada di kategori yang
sama? Masih aja memakai kata “mbak-mbak banget” atau “ibu-ibu banget.” Dan
takut bakalan kelihatan kayak gitu. Saya malah sempet nanya sama teman, “saya
enggak kelihatan kayak gitu kan? Saya enggak kelihatan seperti menyerah sama
hidup kan? Saya enggak kelihatan mentang-mentang udah nikah jadi enggak merawat
badan, kan?” dan begitu banyak pertanyaan enggak penting dan annoying lainnya. Untung teman saya
sabar.
***Lima bulan kemudian, I
embrace being in the same category. Kenapa mesti menolak? Saya ada di
kategori yang sama dengan perempuan-perempuan hebat. Perempuan mandiri yang
bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa bergantung pada suami. Perempuan kuat
yang setiap hari mengurus anak, rumah, dan menjaga hubungan sehat sama suami.
Perempuan tangguh yang bekerja setiap hari dan pulang ke rumah ganti baju jadi
ibu dan istri. Perempuan hebat yang terus membuka pikiran dan mengejar
cita-cita setingggi-tingginya. Kepada perempuan-perempuan ini, saya salut
sekali!
Dan beberapa keputusan lainnya yang saking buruknya enggak bisa saya tuliskan di sini. Bukan sok misterius, but there are some thing that are too private to share.
See, dari kelakuan
aneh saya itu pantas dong kalau saya berpikir, ‘what the hell is wrong with me?’ And then I start to browse online.
And I found these articles:
Ada lho, yang namanya pre-30 crisis, dan biasanya dialami
sama perempuan:
“Much like the quarter-life crisis, a pre-30 crisis seems to stem from the misconception that you have to have everything figured out by a certain age — causing confusion, anxiety and insecurity about the ways that your life might have veered off course or fails to measure up to your expectations.” (Baca artikelnya di sini: huffingtonpost.com).
“Much like the quarter-life crisis, a pre-30 crisis seems to stem from the misconception that you have to have everything figured out by a certain age — causing confusion, anxiety and insecurity about the ways that your life might have veered off course or fails to measure up to your expectations.” (Baca artikelnya di sini: huffingtonpost.com).
Efek krisi ini pada gen-Y (kelahiran 1980 – 2000):
“In your 30s; your brain is at the peak of its functioning.
But this comes with a downside because you know enough to realize you still
have a lot more to learn. Generation-Y no longer defines the status quo by what
they own; it’s by who they are. You ache to be the best possible version of
yourself. The tormenting questions are, “Do I know enough?” “Have I've done
enough?” and “What other dream do I need to fulfill?” (Baca artikelnya di sini:
elitedaily.com).
Wajar, kalau pikiran kita mulai mengadakan evaluasi
internal:
“The initial jobs, whatever they were, now can seem
unsatisfying. There is no career path, the work is boring or too competitive.
Part of your creativity and sense of purpose have been lost or pushed to the
side of your life. Time to re-evaluate. Time for grad school in something new –
law, web design, etc. You can’t imagine having to do what you’re doing now
for…ever.”
(Baca artikelnya di sini: psychologytoday.com).
Iseng-iseng, baca juga ulasan elle.com
yang isinya komentar para seleb dan cewek sukses di Hollywood about being 30 yo.
Phew! Turn out I was ‘normal’
after all.
Dan untuk yang saat ini menuju tiga puluh, yang baru saya
berulang tahun ke-30, atau beberapa tahun lagi akan mengalaminya, please do relax as your life turn into chaos. Here I am, lima bulan kemudian.
Setelah melewati fase paling absurd
yang pernah saya alami, setelah terlempar ke luar angkasa dan ditarik kembali
ke bumi dengan kekuatan gravitasi paling kuat, I am still alive.
Kata-kata menyejukkan dari Oprah (bukan motivator, tapi
hidup doi keras, setelah sukses pun tetap menantang. Dan dia banyak mengambil
keputusan hidup yang enggak umum bahkan cenderung mendobrak kebiasaan. So, I found her inspiring and worth to
listen) ini cukup membantu menenangkan saya ketika seperti mau meledak. Dan
dia kayak abis baca tulisan saya di blog ini lalu mau nasehatin saya. BOOM!
Bottom line is, for me
turning thirty was the worst (so far), I hit rock bottom, but then I crawl back
again.
Dan pesan-pesan dari Jennifer Aniston buat yang umurnya
30-an:
“Go
to therapy. Clean up all of the shit. Clean up all of the toxins and the noise.
Understand who you are. Educate yourself on the self.”
Will do, Jenn. Will do.
*Foot note, kepada
sesama INTJ di luar sana, it’s OKAY:
INTJ: Forgive yourself for not having it all figured out.
You have always been
searching for answers, INTJ, but there are times when you will not have them
all. There will be times when life is a half-finished puzzle and you cannot
collect all the pieces you need to complete the picture. And it’s okay to wait
these times out. It’s okay to still be in the process of searching. You don’t
have to have all of the information in your hands to move forward – you just
have to learn to move forward with patience. With acceptance. And with
forgiveness, for the times when you do not have it all figured out.
.
ReplyDelete