Perempuan (Jurusan Jurnalistik) Itu Harus Dandan dan Jaim
Enggak tahu siapa yang ngajarin dan mulainya kapan, mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran itu pada kucel kalau ke kampus.
Sebenarnya kalau dilihat per individu, banyak kok yang
memperhatikan penampilan tapi kalau lagi berkoloni gitu kesan yang ditangkap
cuek, urakan, sangar, dan kucel. Saya enggak tahu ini terjadi juga enggak ke
angkatan bawah, tapi kalau angkatan saya 2004 dan ke atas rasanya kesan ini
cukup menempel. Apalagi kalau dibandingkan dengan jurusan lainnya. Seperti
Humas atau D3 yang manis dan modis, selaras dengan image Fikom di Jatinangor.
“Acil, sejak masuk
Jurnal kamu kok jadi kucel?” komentar beberapa teman cowok yang sebelumnya
sekelas sebelum penjurusan. Belum lagi komentar keluarga sendiri dan sahabat di
SMA.
Sebenarnya saya merasa cukup memperhatikan penampilan, dalam
artian baju yang saya pakai. Karena saya memang enggak suka pakai makeup. Tapi saya selalu pakai eyeliner dan perfume kalau ke kampus, lho! Tapi memang sejak masuk Jurnal saya tone down juga dandanan saya di semester
awal.
“Kalungnya panjang
amat.”
“Itu anting-anting
atau leunca?”
“Mau manggung di mana,
neng?”
“Biduan Sumedang?”
“Itu teh apa sih
dipake di leher? Pakenya emang gitu?”
“Kreatif amat
sepatunya, harusnya kamu masuk IKJ.”
“Geng kalung, geng
kalung!”
Dan lain sebagainya.
Tapi dibanding teman saya yang bahkan enggak mandi kalau ke
kampus, saya pikir saya enggak kucel-kucel amat lah. Dibanding teman yang
selalu pakai baju itu-itu aja atau yang beli di Gedebage (thrift shop yang hits
pada masanya) saya pikir saya lumayanan, beli di distro atau di Rumah Mode lah sedjak dulu. Tapi ternyata memang upaya
saya ini tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan disandingkan dengan sesama
mahasiswa Fikom yang pakai topi koboy ala Shanty ke kampus, lengkap dengan makeup. Saya takluk.
Sehingga wajar kalau bercandaan teman saya jadinya begini.
Saya yakin dia enggak ada maksud lain selain mengomentari fenomenanya. Sebagai
perempuan, baik pada waktu itu ataupun sekarang saya enggak merasa terganggu
atau terpojokkan oleh postingan ini. This
is funny! Dan pada kenyataannya memang kami begitu, pun setelah
menyadarinya kami tetap kayak gitu aja, woles.
Karena pada saat itu memang kami adanya begitu. Ya gak sih, gaeys? Ha-ha-ha.
Buktinya setelah postingan ini, kami enggak
langsung jadi berubah. Dalam artian, kalau aslinya sangar walaupun hatinya baik ya
kadang kelihatan sangar aja, yang judes walau tambah ramah ya judes aja. Yang
enggak suka makeup masih polosan aja,
yang suka makeup makin jago. Yang
tomboy walaupun udah gendong anak tetep asik dengan gaya kasualnya. Yang banyak
gaya…. Makin banyak maunya, ha-ha-ha.
Dulu saya dan mungkin teman-teman perempuan lain juga
percaya kalau jadi perempuan harus smart, enggak harus dandan tapi kalau mau ya enggak masalah. Dan lebih penting punya pendapat daripada jaim demi disukai laki-laki. Lebih penting itu
menikmati jadi diri sendiri karena males aja sih mengikuti tuntutan orang lain.
Dan sekarang juga saya yakin masih pada percaya soal hal itu, cuma ya lebih
mantap sama pilihan tampilan, ini sih akhirnya matang bawaan usia, ha-ha-ha.
Then...
Saya kanan bawah. Sip. |
Now...
Baris bawah. Menerima complain kalau ada yang enggak suka fotonya nanti aku ganti. Nyomot-nyomot di medsos aja, geng. Hehehehehe :P |
On a more serious note,
Walaupun pada masanya mereka suka komentar, di dalam hatinya
teman-teman laki-laki di jurusan Jurnalistik ini adalah mereka yang paling
menerima kami apa adanya. Tetap sayang walaupun tahu jarang mandi. Walaupun suka ngegodain kami karena sangar
atau kucel, mereka juga lah yang akhirnya jatuh hati sama kami-kami juga.
Dan mereka yang paling melihat kami sesuai kebisaan kami, beyond gender. Enggak pernah saya enggak
diajak melakukan sesuatu karena saya perempuan. Mau itu nongkrong, ngopi, foto-foto, ngerjain tugas, naik gunung, atau tidur
di atas meja semen di pelataran kampus. Kalau mau ikut ya ikut, enggak ngeliat
perempuan atau laki-lakinya. Walaupun mereka pastinya tetap memperhatikan sih kalau
kami harus pulang malam. Tapi ini bukan karena mereka enggak percaya kami bisa
mandiri, lebih ke enggak percaya sama orang jahat.
Mereka memperlakukan kami dengan setara walau enggak belajar
dengan resmi soal kesetaraan gender
di kelas. Mungkin mereka belajar sendiri, saya juga. Paling belajarnya dasar logika, ya minimal dipakai aja sih logikanya.
Bahkan sampai sekarang. Seenggaknya teman-teman laki-laki
yang masih sering saya temui, yah. Mereka enggak melekatkan keharusan tertentu
pada saya karena saya perempuan. Kalau ngobrolin pekerjaan atau impian, enggak
ada embel-embel “tapi kan kamu perempuan,
harusnya….” enggak pernah sampai di telinga saya.
Sehingga, di obrolan malam yang ngalor-ngidul yang kadang
kami menyesalkan kenapa dulu ngambil jurusan yang belajar nulis bukannya belajar menimbun
uang, ada hal-hal yang patut disyukuri dari jurusan ini. Empat tahun di sana
(atau lebih), kita enggak cuma belajar di dalam kelas, mau enggak mau pastinya
mempengaruhi siapa kita sekarang. Yang gini-gini nih yang kadang lupa
diapresiasi.
Beruntung, dulu bisa kuliah di sana dengan segala kelebihan
dan keterbatasannya. Laft.
Emang kita kucel? |
Comments
Post a Comment