Lima Menit Terpanjang…



Suram. Seharian ini Saga menghabiskan waktu mengunci diri di ruangan berukuran 4x6 meter, dengan dinding bercat hijau tosca kesukaannya, dan beratapkan bintang plastik glow in the dark. Tak habisnya ia menutup diri dari sapaan orang lain. Mengunci hati dari doa ibundanya, yang senantiasa menghujaninya bila ia menghabiskan waktu di rumah. Layaknya mamalia yang sedang hibernasi, Saga mengurung diri, menumpahkan tubuhnya di atas kasur empuk ber-pegas, tak melakukan apa-apa. Membiarkan lemak dalam tubuhnya menginvasi aliran darahnya. Lalu ia menangis. Kecewa pada ‘dunia kecilnya’, rupanya.

Hal biasa, bagi perempuan yang baru merasakan sulitnya melupakan masa-masa SMA dan mulai jauh meninggalkannya. Hingga ia tersadar, ia cukup tua untuk mulai memikul tanggung jawab yang besar. Bagaimanapun seorang perempuan pada zaman ibunya hingga di beberapa daerah tertentu pada masa sekarang, biasanya sudah menikah dan bahkan punya anak di usia 20 tahun.

Tapi Saga merasa dirinya masih belia dan dunia terlalu besar baginya. Terlalu besar dan hiruk pikik di dalamnya. Dan ‘dunia kecil’ Saga hanya mendatangkan kekecewaan. Kini serasa ia ingin menyerah saja. Ingin tertidur, meniduri hari-harinya dan tak ingin terbangun lagi. Ingin rasanya ia menegak ramuan pencabut kesadaran. Namun tak sehina mati karena obat pembunuh serangga, seperti mereka yang berhasil masuk televisi, karena ide brilian mereka itu. ’’Bodoh,’’ keluhnya, ’’Mereka mungkin terkenal, tapi sungguh tak berguna terkenal tanpa dapat menikmati ketenarannya’’ ia bergumam.

Lamunan mulai mengintai Saga, dan dalam sekali sergapan Saga terbuai tak terelakkan. Ia terlupa akan kewajibannya menjaga nafasnya tetap teratur, di sela-sela isak tangisnya. Ia terlupa kemampuannya mendengar alunan melodi, yang biasa membuatnya bersyukur akan setiap aliran darahnya. Ia terlupa akan sang-Satu yang biasa ia ajak bicara, ketika ia menyadari keajaiban luar biasa, yang ditemuinya dari mata seorang peminta-minta yang biasa ia lihat di keramaian kota.
Lamunan membuai Saga, menyelimutinya dengan erat. Menghimpit jiwanya dan menelan kecerdasannya. Dalam tangis, Saga menerawang melintasi arus emosi membawanya jauh dalam impian.

Tiktok,,tiktok,,tiktok,,

Cukup lama Saga lupa akan dirinya. Pikirannya terbang, lalu menjadi kosong. Dan tiba-tiba sebuah suara menyadarkannya, ’’kruyuk,,kruyuuk’’. Cukup konyol memang, perempuan yang mulai mengutuk dunia dan mempertanyakan mengapa ia harus hidup, tersadarkan akan keberadaannya di bumi dan bernyawa, oleh suara perutnya yang kelaparan! Sangat sederhanya bukan, menyadarkan seseorang ia masih hidup?! Rasa lapar. Dan sangat sederhana pula menyadarkan seseorang masih ingin hidup, jika ia rela mengeluarkan energinya yang tersisa untuk bergerak mencari makanan. Dan ternyata Saga si perajuk masih memiliki banyak keinginan untuk hidup.

Sambil memenuhi mulut kecilnya dengan nasi dan ayam bakar istimewa buatan ibundanya, yang sejak pagi memasak khusus untuk anak semata wayangnya yang sedang dirudung kesedihan. Saga pun menaruh perhatiannya pada televisi layar datar berukuran 25 inchi dengan suara ‘bening’, seperti yang mereka katakan di iklannya, yang dibeli ayahnya sepuluh tahun yang lalu, sebelum ia tinggal bersama ‘keluarga barunya’.

Sesaat Saga terkejut, matanya terbelalak. Nasi dan ayam bakar istimewa buatan ibundanya terlupakan, bahkan wangi sedapnya tak lagi tercium. Saga terdiam, tak berkata, tak bersuara, tak bergeming.

Saga begitu terkejut melihat televisinya dipenuhi gambar-gambar bangunan khas Timur Tengah yang hancur berantakan. Porak poranda. Gedung –gedung tinggi menjadi terlihat lebih rendah daripada dirinya yang memiliki tinggi badan sekitar 1,65 meter. Jembatan besar penghubung dua daerah yang menjadi jalur vital sehari-hari mereka pun ambruk. Tak terdefinisikan kekacauan yang dilihat Saga.
Masih tak berkata apapun.

Kedua mata Saga terikat pada sesosok pria berusia sekitar 30 tahun yang berjalan di sekitar reruntuhan bangunan yang telah hancur berantakan. Pria itu menagis. Ia mengais-ngais reruntuhan bangunan, mencari-cari entah apa. ’’Apa lagi yang ia cari di reruntuhan itu?’’ tanya Saga dalam hati. ’’Apa yang mungkin ia temukan di sana? ia sungguh bodoh, bagaimana jika ia justru tertimpa sisa-sisa reruntuhan itu?’’ lanjut saga dalam hatinya.

Lalu Saga kehilangan nafasnya untuk beberapa saat. Saat ia melihat pria itu memungut sebuah buku, ah bukan, sebuah kitab. Lalu ia meletakkan kitab itu di keningnya lalu menciumnya. Pria itupun terdiam sesaat, pandangannya kosongnya menyusuri daerah sekeliling sambil memeluk erat-erat kitab itu di dadanya. Lalu dengan luntai ia berusaha berjalan di atas reruntuhan bangunan. Di sisi lain para ibu menangis dan berteriak histeris, tak lama mereka mengagungkan nama tuhan seraya berdoa.

Tak terasa air mata mengalir di pipi bulat Saga, berbeda dari air mata sebelumnya air mata Saga lebih panas. Mungkin karena air matanya mengalir dari hatinya yang panas terbakar. Saga tersadar, ia merasa marah. Ia begitu marah sampai lupa akan ayam bakar istimewa buatan ibunya, ia begitu marah sampai tak sadar ia berteriak, ’’Dan siapa pula yang bertanggung jawab atas semua ini?!’’ kata Saga.

Saga yang merasa bahwa hidup adalah hak tiap manusia, Saga yang percaya bahwa setiap manusia harus hidup bahagia, Saga yang merasa setiap manusia memiliki kuasa akan upaya atas hidup dan masa depannya, Saga yang merasa manusia hidup harus saling berdampingan, merasa dihianati oleh apa yang ia lihat.

Ia dihianati oleh fakta di mana mereka yang terbunuh di Libanon tak bisa memeluk hak atas hidup mereka sendiri. Fakta di mana ratusan nyawa, termasuk para ibu, seperti ibunya yang ia kasihi, anak-anak dan bayi tak berdosa, melayang tanpa kehendak raga yang terikat daripadanya. Dan fakta di mana ada manusia di belahan bumi sana yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini.

’’Biadab,’’ keluh Saga.

’’Bagaimana bisa mereka yang bertanggung jawab atas hal ini, tidur dengan tenang tiap malam? Bagaimana bisa mereka makan pagi dengan roti dan keju juga susu dengan nikmat setiap harinya? Bagaimana bisa mereka makan siang dengan koleganya sambil bersenda gurau tanpa teringat nasib anak-anak Libanon yang harus kehilangan rumah, keluarga, bagian tubuh, masa depan, dan bahkan nyawa? Bagaimana bisa mereka tidak peduli?! Betapa hebatnya mereka memalingkan muka, mengatupkan bibir dan melipat tangan. Betapa hebatnya mereka mengendalikan arus informasi hingga sahabat-sahabat mereka berfikir ini bukan tanggung jawab mereka,’’ hati Saga berkobar-kobar.

Lalu dengan suaranya yang renyah, Saga berkeluh pada ibundanya tersayang, "Ahh ibu, aku tak mengerti, mengapa ada manusia yang membunuh manusia lain sementara ia memiliki pilihan untuk tidak melakukannya??!! Aku sungguh tak mengerti! Aku memang hanya seorang gadis kecil dan dunia terlalu besar untukku, dunia terlalu rumit, dunia terlalu… ahh aku tak mengerti!’’ lalu hanyut dalam pelukan ibunda.

Sementara ibundanya hanya mampu memeluk dan membelai rambut hitam panjang anak gadis kecintaannya. Di sana, di rumah besar itu mereka berpeluk di depan televisi layer datar berukuran 25 inci yang acaranya mulai beralih pada berita lain.

Air mata Saga memang telah mengering. Tapi pipinya masih panas, begitu pula hatinya. Dalam hatinya mengalir sungai sesal, ia sungguh menyesalkan mengapa hal ini terjadi. Dan hingga saat itupun Saga masih tak mengerti mengapa hal ini harus terjadi, pada rakyat Libanon. Saga tahu masalah politik yang terjadi antara Israel dan tentara Hizbullah di Libanon, Saga tahu masalah perebutan wilayah antara mereka yang telah berlangsung cukup lama. Saga tahu. Namun bagi Saga itu bukan alasan yang cukup kuat untuk menyengsarakan manusia lain, terlebih menghilangkan nyawa mereka.

Ini adalah lima menit terpanjang dalam hidup Saga. Saga mulai menenangkan dirinya, ia pun mulai tersenyum getir.

"Aku begitu bodoh mengira aku adalah manusia paling malang di dunia. Aku yang memiliki banyak kesempatan untuk bernafas justru ingin menyerah karena alasan konyol. Aku adalah perajuk nomor wahid di dunia!’’ kata Saga pada dirinya sendiri.

’’Padahal di belahan bumi sana, mereka yang ingin tetap hidup dipaksa kehilangan nyawanya oleh nafsu-nafsu duniawi orang-orang yang memiliki kekuatan lebih dari manusia lainnya. Kesedihanku adalah kecil dibanding kesedihan mereka. Dan aku tidak sadar akan hal itu. Bodoh, aku adalah perajuk nomor wahid di dunia! Dunia ini memang begitu besar, dan ketika aku keluar dari dunia kecilku dunia ini akan terus membesar..’’ lanjut saga dalam hati.

Saga membebaskan diri dari pelukan ibundanya, tersenyum penuh kasih pada wanita yang telah melahirkan dan merawatnya, lalu ia kembali pada nasi dan ayam bakar istimewa buatan ibundanya. Kegiatan Saga sama persis memang dengan lima menit yang lalu. Namun Saga yang sekarang, berbeda dengan Saga lima menit yang lalu.

Comments