Tidak Untuk Membuktikan Apapun Pada Siapapun*
Bagi pemimpi (seperti saya), tuntutan hidup di jurnalistik bagaikan jam weker dengan bunyi nyaring yang kian lama kian membahana. Ia membangunkan saya.
Saya bukan penjual kecap nomor satu, jadi saya tidak akan mempromosikan apa yang saya percaya. Saya tidak sedang berjualan!
Setiap manusia pasti menginginkan yang terbaik, begitu pula saya. Ketika saya harus memilih jurusan yang akan saya geluti di kampus terus terang saya merasa sangat bingung. Ketika itu usia saya 19 tahun dan di usia yang kata orang cukup dewasa itu saya belum tahu apa yang saya inginkan untuk masa depan.
Saya sempat merasa kecil hati. Di saat teman-teman saya dengan tegas memilih jurusan berdasarkan orientasi pekerjaan, I don’t have a clue apa yang ingin saya geluti sebagai profesi kelak.
Berbagai informasi saya kumpulkan, membandingkan satu jurusan dengan yang lainnya. Sampai saya terhenti di satu titik dan sadar. Tidak ada satu jurusan yang lebih unggul dari jurusan lainnya. Setiap jurusan menawarkan keunggulan di masing-masing bidang. Bukan masalah jurusan mana yang paling baik. Tapi masalah jurusan mana yang paling baik untuk saya. Jurusan mana yang saya inginkan.
Keragu-raguan adalah hal yang wajar. Tapi saya berbeda pendapat dengan Oprah Winfrey yang mengatakan if u have a doubt then don’t do it! Bagi saya ragu berarti saatnya untuk berhenti sejenak. Meluangkan waktu untuk berfikir dan mendengarkan hati. Karena satu pilihan saja akan mempengaruhi the rest of our lives.
Jadi saya merenung, kalau kata teman saya sih ‘bermenung’. Saya mulai menggali apa yang ada dalam hati saya. Melihat segala sesuatunya tanpa menimbang mana yang lebih baik. Melihat. Itu saja.
Setelah berminggu-minggu (karena sebelumnya saya tidak pernah memikirkan jurusan apa yang saya masuki nanti) melihat sekeliling, akhirnya saya harus memilih. Dan saya pun memutuskan untuk memilih jurusan Jurnalistik. No doubt!
Meskipun senior-senior mengatakan jangan masuk Jurnalistik. Meskipun Bu Titin melarang kami memilih jurnalistik ketika si ibu mengajar PIJ di kelas. Meskipun senior-senior bertampang sinis dan menyeramkan. Saya masuk juga. Tidak untuk menantang dan merasa sombong. Tidak untuk membuktikan apapun pada siapapun.
Saya masuk karena saya yakin. Tidak ada tempat lain di mana saya bisa merasa bahwa saya sudah berada di tempat yang semestinya.
Atmosphere Pembelajaran
Saya yakin dengan yang saya yakini adalah benar, tapi saya tidak mau mengatakan keyakinan orang lain itu salah. Jadi saya yakin pilihan saya benar dan terserah orang lain mau berbuat apa.
Saya melihat Jurusan Jurnalistik menawarkan atmosphere yang berbeda. Kenapa saya justru membicarakan atmosphere tentang suatu jurursan? Padahal pihak jurusan tentu berlomba-lomba menampilkan materi, pengajaran, sarana dan prasarana yang baik bukan?
Saya menilai hal itu wajar saja. Wajar setiap jurusan berusaha menjadi yang terbaik. Wajar berlomba-lomba memperbaiki diri yang menambah kualitas agar menjadi jurusan berkualitas. Jadi menurut saya hal itu wajar. Yang tidak wajar adalah jurusan yang nyaman dalam kekurangan dan berbagai keterbatasan.
Ingat ketika saya menceritakan fase ‘melihat’ di atas? Aura atau atmosphere yang berbeda, itulah yang saya lihat. Ketika saya melihatnya saya berfikir, saya ingin berada dalam atmosphere seperti itu. Dan setelah berada di dalamnya, saya benar-benar merasakannya.
Sederhananya, saya mengistilahkannya dengan atmosphere pembelajaran. Bagi saya atmosphere pembelajaran yang terdapat di Jurusan Jurnalistik menawarkan dimensi untuk belajar tentang hidup dan belajar dewasa.
Jurnalistik membawa saya melihat fenomena yang terjadi di permukaan, mengajak saya menyelusuri seluk beluk penyebabnya, membawa saya ke dasarnya. Ketika saya paham apa yang terjadi, ia membawa saya pada jawaban dari mereka yang lebih bersinggungan, berpengalaman, berilmu dan lebih mengerti dari saya.
Hal seperti itu membuat saya lebih peka dengan sekitar, lebih belajar memahami apa yang terjadi di balik dinding, belajar menerima dan maklum dengan perbedaan, memaknai sesuatu tanpa mudah terpengaruh ke mana angin kekuatan berhembus. Mungkin ini yang dikatakan orang dengan kritis, skeptis dan berfikir logis, mungkin.
Jurnalistik membuka mata, pikiran dan hati. Mendekatkan saya pada kehidupan karena saya ikut melihat sulitnya menjalin hidup dan nikmatnya mencapai kesuksesan pada masyarakat kita. Mendekatkan saya pada kematian karena saya melihat kerusakan moral dan pedihnya kehancuran harapan pada bagian masyarakat lainnya. Saya katakan melihat, saya tidak punya nyali mengatakan saya ikut merasakan.
Dengan beberapa kali mengalami hal seperti itu, saya dituntut untuk bersikap. Pengalaman itu mau tidak mau, disadari atau tidak telah mempengaruhi pribadi dan cara berfikir saya. Apa yang saya akan pilih dalam berbagi keputusan dalam hidup saya dengan segala resiko dan kelebihannya. Itulah yang saya katakan belajar dewasa. Karena setiap orang pasti bertambah usia, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Dan dewasa bukanlah satu titik akhir, namun merupakan proses tiada akhir.
Saya setuju dengan perkataan senior, bhwa Orientasi Jurnalistik adalah ajang menempa mental. Tapi menurut saya kuliah di Jurnalistik adalah ajang menempa mental yang lebih nyata untuk beberapa tahun ke depan. Sebelum akhirnya kehidupan nyata itu sendiri yang menjajal saya.
Tak ada kalimat lain yang dapat saya tuliskan untuk melukiskan atmosphere pembelajaran di Jurnalistik. Masalah jumlah sks yang banyak, mata kuliah yang berat, tugas yang banyak dan dosen yang tegas tak usah saya ceritakan. Rasanya orang dari jurusan lain juga sudah tahu.
Saya hanya bisa berkata, atmosphere pembelajaran yang terdapat di Jurusan Jurnalistik membawa anda sedekat dekatnya dengan kehidupan nyata. Dan dimensi ini saya anggap sesuai untuk si pemimpi seperti saya. Bagaikan jam weker dengan bunyi nyaring yang kian lama kian membahana. Ia membangunkan saya.
Seperti perkatan saya di awal, saya bukan penjual kecap nomor satu, jadi saya tidak akan mempromosikan apa yang saya percaya. Saya tidak sedang berjualan.
(*Curhat saya tentang atmosphere pembelajaran-saya yang kiranya saya dapati di jurnalistik. Dibuat pada 20 maret 2007, 19:13:10. Oleh: mighty-achilles. Dalam rangka diminta jurusan, namun tidak lolos seleksi. Seleksi sesuatu lah pokoknyamah..)
heuhe.. iya, iya saya setuju...
ReplyDeleteHuahhhh....masih ada aja..kalo masih ada yang ngeluh lagi soal kuliah di jurnalistik..sini lah suruh ngomong sma gw dan gw akan ngomong : YA UDAH LAH LU KALO GA MAU SUSAH..GA MAU REPOT, GA MAU BANYAK TUGAS...JANGAN KULIAH DI JURNALISTIK..
ReplyDeleteJANGAN JADI WARTAWAN..
tugas kuliah..ga ada apa apanya setelah lu kerja!
sumpah deh..sini kalo ga percaya ikut gw ke kejagung ama mabes polri ama pengadilan jakarta selatan dalam sehari..sini sini ikut gw nongkrong di Polda metrojaya yang kemudian beritanya ga dimuat di tempat lu kerja karna tidak ada aspek bisnis dan ekonominya..Tahh Tahh..Cik Cobian tahhh Kasepp geeulisss...
Maap-Maap kecapean..Konpress Kejagung tentang eksekusi Amrojih membuat gw kurang tidur dan esmosi.Sini sini Cil..yang mau ngeluh..suru ngomong sma gw cill?
hehe, iya bu wartawan, baiklah....
ReplyDeletelha, keunapa atuh meliput nyang begituan?
apanan tidak ada aspek ekonominyah?
hihi, ampun, ampun, job sebulan di sindo sajah sudah cukup memberi bayangan gimana sehari-harinya jadi wartawan harian. seulamad berjoeang atuh di jakarta nan panas. Saya di sini masih belajar dan mencari tujuan hidup. hehe...
ps: nanti kalau ada yang ngeluh2 saya kasih nomor telepon teh ipeh yah, silakan di tatar.
hahahaha...
hiii, senang ada yang setuju..
ReplyDeletethnx
Dipindah kompartemen/desk..jadi ke hukum dan kriminal..ada juga di koran saya..desk hukum satu lembar doang..
ReplyDeleteYuuu mari...sini ngobrol sama saya..
ReplyDelete