Cuma Abang Ojek Online yang Enggak Pernah PHP


Enggak pernah foto di atas ojek online, ternyata.

“Price is what you pay. Value is what you get,” Warren Buffett.

Judulnya berlebihan? Mungkin iya. Tapi ijinkan kisah saya ini mengubahnya.

Pukul sebelas malam tiba-tiba saya terbangun karena perut melilit. Saya ke kamar mandi lalu memaksakan diri tidur kembali. Pukul 12, makin sakit. Dan setelah bolak-balik kamar mandi juga muntah sampai lima kali, saya merasa ada yang tidak biasa. Sakitnya berlebihan untuk maag atau keracunan makanan. Keduanya pernah saya alami. Tapi otak saya mengatakan, okay this is not normal. Saya pun memaksakan diri berganti baju, sekeambilnya. Legging dan oversized sweater.

Lalu saya coba telepon teman saya yang tinggal di lantai dua kosan yang sama. Enggak diangkat. Saya coba melangkah perlahan ke kamarnya, memanggilnya, sambil kembali mencoba meneleponnya, enggak ada respon, tampaknya ia tidur begitu lelap. Saya kembali jalan ke kamar, sempat terduduk di tangga sejenak karena rasanya enggak sanggup berjalan lagi.

Di tempat tidur, saya iseng coba pesan Gojek. Ketika itu sekitar pukul 3 dini hari. Saya pikir mana ada Gojek jam segini? Tapi saya coba-coba saja karena tampaknya saya enggak bisa lagi menunggu pagi. Enggak lama telepon saya berdering, abang Gojek menanyakan posisi persis kosan saya. Dia bilang tunggu sebentar karena dia harus lewat gang kecil, karena jalan ke kosan saya masih diportal sampai pukul 5 pagi.

Dengan gontai dan membungkuk, saya berjalan menuju gerbang. "Ke Siloam, yah, Pak," ucap saya dengan suara lirih ala-ala dying people in movies. Dan saya pikir suara seperti itu terlalu mengada-ngada sampai saya alami sendiri.

Enggak sampai lima menit saya sampai. Karena RS Siloam memang dekat dari kosan. Bodohnya, saya diturunkan di gerbang, little that I know saya bisa minta diturunkan tepat di pintu IGD. "Bapak boleh tunggu saya selesai diperiksa? Saya mau balik lagi ke kosan. Saya tambah tips-nya nanti," kata saya. Abang Gojek setuju.

Lalu dimulailah perjalanan panjang dari gerbang ke pintu IGD. Iya ini lebay. Namanya juga orang sakit. Ha ha ha. Sampai saya sempat jongkok beberapa kali menuju pintu IGD. It was not my best moment. Untung enggak ada yang lihat.

Sampai di IGD saya langsung diminta berbaring di kasur. Enggak lama, dokter jaga datang dan memeriksa saya.

"Kenapa, mbak?" Kata dokter perempuan yang masih muda itu.
"Sejak jam 11 saya bolak-balik kamar mandi dan muntah," jawab saya.
"Sudah berapa kali muntahnya?"
“Mungkin lebih dari tiga, lima?"

Tiba-tiba saya mual lagi dan muntah on the spot mengotori lantai rumah sakit dan sepatu dokter.

"Lebih dari lima," lanjut saya setelah muntah.
"Oke, kita cek darah, ya," kata dia.

Seorang suster datang untuk cek tensi dan ambil darah. Sementara suster lainnya membereskan bekas muntah saya.

"Maaf yah, sus," kata saya.
Dia tersenyum. Tapi entah apa kata hatinya. Saya yakin dia sih udah biasa.

Suster juga memberikan saya obat, penahan sakit dan supaya enggak muntah lagi. Setelah diperiksa darah saya langsung diinfus. Saya hanya terkulai lemah menatap langit-langit dan mikirin abang Gojek yang nunggu di gerbang. Si abang pasti bosan nunggu, pikir saya. Lalu sang dokter berseragam scrubs biru itu pun datang dengan hasil lab.

"Mbak Astri, dirawat yah. Ini leukositnya tinggi sekali. Kemungkinan ada infeksi internal jadi leukositnya produksi terus. Tapi ini tinggi sekali, untung langsung ke sini, kalau enggak ini sedikit lagi bisa hilang kesadaran. Di rumah tinggal sama siapa?"
"Sendiri," kata saya sambil kaget saya bisa hilang kesadaran. Ya ampun dok, dalam hidup, saya sering sekali hilang kesadaran, if you know what i mean, ha ha ha.
"Kalau sendirian, saya enggak kasih pulang. Dirawat aja yah," lanjutnya. Kalau diingat-ingat, kalimatnya sounds so sweet, ya? Ha ha ha. 


Curi-curi foto :P


Saya mengangguk pasrah. Lalu saya langsung telepon abang Gojek.

"Pak, saya harus dirawat jadi enggak bisa pulang, maaf ya udah bikin bapak nunggu," dua kali saya mengulang kalimatnya karena suara saya masih ala-ala sinetron.
Abang Gojek menjawab singkat, "oh, iya oke." Dia enggak bilang "ya ampun" atau "get well soon."

Lalu datanglah bagian administrasi membawa surat-surat yang harus saya isi. Mas, saya ngomong aja susah apalagi nulis. Akhirnya si mas membantu saya mengisi, dia minta juga KTP dan nanya mau bayar pakai apa sambil mengatakan kalau payment awal Rp5 juta yang nanti kalau ada sisa setelah perawatan akan dikembalikan.

Saya kasih dia beberapa kartu, salah satunya debit bank Niaga di mana saya menyimpan sedikit demi sedikit tabungan sejak pertama kali bekerja *sengaja didramatisasi.* Masnya juga nanya saya mau masuk kamar kelas berapa.

Saya langsung bilang, "yang paling murah, mas!"
Dia pun pamit untuk menyelesaikan administrasi. "Sementara di sini dulu yah, Mbak, tunggu kamarnya siap," katanya.

Saya hanya menatap, mengangguk pun malas. Saya kembali menatap langit-langit. Tanpa sadar saya tertidur. Enggak lama saya dibangunkan suara seorang bapak yang teriak-teriak. 

"Tolong saya, dok, tolong saya, sakit, dok, sakit sekali, seperti mau mati ini saya, tolong, dok, tolong," pekik bapak itu berkali-kali. "Aduh, gimana ini, dok, kok lama, keburu mati ini saya, mau mati ini, sakit, dok, saya bayar berapa juga, saya bayar, tolong dok," lanjutnya dengan nada lebih tinggi.
"Iya pak, ini sedang ditolong, bapak tenang," kata suster dan dokter jaga berkali-kali.

Dari balik tirai saya enggak bisa melihat kejadiannya. Mungkin kecelakaan, saya pikir. Lalu saya bangun untuk ke kamar mandi, karena memang ini dan sambil ingin liat keadaan, kepo abis. Begitu membuka tirai, seorang suster langsung menghampiri, mau membantu. Tapi saya bisa berdiri sendiri sambil pegangan tiang infus, sih. Seru juga jalan-jalan pegangan sama tiang infus, untung suka nonton Grey's Anatomy jadi tau caranya ke kamar mandi sambil bawa infus. Tapi saya enggak bisa lihat si bapak itu kenapa. Saya cuma lihat sedikit bagian kakinya berdarah hebat sementara beberapa suster berusaha menenangkan dia yang meronta-ronta. Mungkin dia enggak sadar saya pikir, shock gitu. Suster pun memapah saya kembali ke kasur, tirai saya ditutup.

"Agak berisik, tapi coba istirahat, yah, kamarnya belum siap," kata suster.
"Bapak itu kenapa, sus?" tanya saya.
"Digigit anjingnya sendiri," kata dia.
"Oh," kata saya.

Setelah tirai ditutup saya masih mendengar jeritan si bapak. "Bius saya dok, enggak tahan saya, bisa mati saya, bius dok, saya bayar berapa juga, saya bayar!" Kata dia.
"Iya pak, kami harus hati-hati memilih obat bius, lihat dulu riwayar bapak, usia bapak, untuk tindakan selanjutnya juga kami harus menunggu spesialis," kata salah seorang dokter jaga.

Oh jadi bapaknya belum dibius dan dokternya belum datang. Dan si bapak pun terus berteriak. Dan saya pun ketiduran. Saya enggak sadar berapa lama saya ketiduran, tapi lalu saya dibangunkan. Barang saya dibereskan. Diminta ganti gaun rumah sakit. Diminta minum obat lagi dan ganti infus, labu ke-dua. Dokter jaga kembali memeriksa.

"Saya sudah baikan, dok. Saya pulang aja, ya," kata saya.
"Iya kalau habis di infus memang terasa baikan, tapi belum benar-benar sembuh. Dirawat aja, paling sehari atau dua hari. Setelah itu benar-benar sembuh. Daripada sendirian enggak ada yang merawat?"
Ah, dokter, tepat di sasaran.

Saya pun menelepon pacar bilang saya dirawat, kirim foto, juga selfie. Lalu mas administrasi datang lagi, menanyakan apakah saya punya asuransi atau penggantian dari kantor. Karena belum pernah dirawat saya bingung. Lalu karena jam sudah menunjukkan sekitar pukul 8 pagi, saya putuskan untuk WhatsApp sekretaris kantor. Enggak lama dia nelepon dan minta dihubungkan ke bagian administrasi. Kelas rawat inap saya juga dinaikkan satu tingkat, katanya sudah beres saya tinggal istirahat. Super sekali Mba Ita! Saya pun mulai WhatsApp pak bos bilang kalau saya ijin sakit dan enggak tahu sampai kapan karena dirawat. Setelah itu saya dipindah ke kamar rawat inap didorong dengan kursi roda oleh suster. Dan mas bagian administrasi mengembalikan semua kartu saya. Ada juga dua kartu anggota RS; MMC dan Santosa Hospital Bandung.

"Lho kok saya ngasih kartu ini? Ini bukan kartu Siloam, ya?" kata saya.
"Iya, kami enggak ada kartunya, Mbak. Enggak apa-apa," kata masnya sambil senyum. Saya jadi malu.


Matanya enggak bisa bohong! :)))

Sesampainya di kamar, saya langsung pengen tidur. Ada tiga kasur di kamar itu tapi hanya dua yang terisi termasuk saya. Sambil terkantuk saya berpikir, tadinya saya pikir akan menakutkan, ke RS sendirian, dirawat sendirian. Turns out biasa aja. Dengan pelayanan sigap dan ramah, dengan suasana yang terang dan enggak kayak 'rumah sakit banget,' saya merasa lagi check in di hotel. Mungkin hotel termahal so far yang pernah saya inapi, ha ha ha. Saya pun tidur.

Tidur. Bangun. Makan. Tidur. Bangun. WhatsApp.

Mulai deh masuk beberapa WhatsApp yang menanyakan soal saya. Ada juga yang menelepon. Enggak lama mulai datang teman satu per satu atau satu geng menjenguk. Dan ketika saya ceritakan kisahnya, semua tertawa. Tertawa karena cara saya mengisahkannya. Tertawa karena saya juga tertawa. Setelah tiga labu infus, saya bisa menertawakan kejadian beberapa jam lalu. Ada beberapa teman yang bilang, "ih kenapa enggak telepon aku, kenapa enggak bangunin mbak kos?" ketika kejadian maksudnya.

Saya jadi mikir. Iya juga yah. Enggak kepikiran aja sih. Kayaknya walaupun dalam keadaan sulit, saya cuma membiarkan orang terdekat untuk membantu. Saya enggak mau ngerepotin orang. Kalau ngerepotin abang Gojek kan bayar. Dan saya juga enggak mau make a fuss about it. I don’t really like it when people see me weak. Eyya~ ribet.


Diinfus itu enak, yah, cepet segernya :P


Setelah menginap semalam saja di RS, saya boleh pulang! Langsung beres-beres dan naik taksi. Tadinya mau naik Gojek lagi, tapi karena bawa beberapa botol air mineral dan buah-buahan dari yang jenguk, enggak kuat bawanya, naik taksi aja. Kemudian besokannya di kantor lagi-lagi ada teman yang komentar.

“Kayak enggak punya temen aja, di sini banyak kali yang bisa nganterin pulang,” kata dia.
“Enggak kepikiran,” kata saya sambil mesem-mesem.

Setelah pengalaman ini dan pengalaman beberapa kali dicolek orang ketika lagi jalan, saya sih semakin mengandalkan Gojek. Ketika muncul transportasi yang bisa dipesan via online lainnya seperti Grab dan Uber, saya juga sangat mengandalkan mereka. Bisa dibilang saya udah enggak pernah naik transportasi umum lainnya. Karena selain merasa aman, lebih cepat, ekonomis, saya juga merasa mereka enggak PHP dibandingkan Transjakarta, angkot, dan bus yang umpel-umpelan dan kadang enggak tahu kapan datangnya.

Bukan cuma buat transportasi, untuk saya si pemalas ini, mereka juga membantu saya membeli makanan juga grocery. Bahkan suami pernah mengantar bunga dan cheesecake ke kantor dengan jasa Gojek. Saya dan suami juga enggak hanya memakai jasa transportasi online ini ketika di Jakarta. Di Bandung, Jogja, sampai ketika di Bali juga tetap pakai mereka.

Dan ini poin utamanya, they always show up when I need them. Kalau enggak bisa, mereka akan bilang. Kalau bakal lama datangnya, mereka akan bilang. Kalau cancel, mereka akan bilang. Kalau hujan, mereka bawa jas hujan. Dan kalau jemput mau ke kantor, kadang mereka bilang selamat pagi. Memang, cuma abang ojek online yang enggak pernah PHP.


The magnificent Dore cheesecake :*


*PS: Tulisan ini enggak berbayar. Hitung-hitung balas budi, dulu credit Gojek saya pernah sampai Rp2 juta karena rajin share di Twitter yang pada masanya hits banget. Hi hi hi.

Comments