6 Pelajaran Karir yang Saya Dapat Setelah 7 Tahun Bekerja
Sukses itu relatif, tapi gagal itu universal. Ha-ha-ha. Enggak,
saya enggak akan memulai artikel ini dengan sesuatu yang klise. Tips sukses di
usia muda saja sudah terdengar klise dan bikin malas bacanya. Iya, kita semua
berharap jadi orang yang berhasil, tapi dengan terlalu ambisius dan selalu
mencari cara buat sukses macam Mark Zuckerberg yang udah bikin Facebook di usia
20, kok, kayaknya malah jadi beban, ya?
Enggak ada cara pasti yang menjamin kita pasti berhasil dalam
hidup. Karena kalau ada, semua orang pasti sudah melakukannya dan sukses dalam
pengertian yang sama. Iya, pengertian sukses bisa berbeda bagi tiap orang.
Kalau sukses buat kamu adalah hidup mandiri, dalam artian mampu menghidupi diri
sendiri, membantu orang lain dengan bekerja, dan berkarya, bisa jadi pengertian
kita akan sukses sama.
Saya enggak banyak baca self help soal karier.
Pun, enggak suka baca biografi orang-orang sukses di dunia. Semua yang saya
tahu soal karier adalah dari obrolan, bimbingan mentor, dan pengalaman. So,
kalau kamu sekarang ini lagi mau mulai melangkah menjadi seorang yang mandiri
secara mental dan finansial, ada beberapa tips yang saya percayai betul
sekarang. Dan, saya harap ada mentor yang mengelaborasinya ketika saya berusia
23 dulu. Tapi enggak ambisius-ambisius amat, sih.
Ini dia 6 pelajaran karir yang saya dapat setelah 7 tahun
bekerja yang mungkin first jobber mau
tahu. Mungkin. Mungkin juga enggak.
Ambil waktu rehat
Ya, kali. Mulai saja belum, ini sudah diminta
rehat. Hear me young ones, sebagai yang sudah mulai bekerja sebelum
lulus kuliah, saya menyesal nggak mengambil waktu rehat setelah lulus kuliah.
Berasal dari keluarga sederhana, saya selalu menemukan diri saya dalam keadaan
BU alias butuh uang, sounds familiar? Makanya, sejak belum lulus
kuliah saya sudah cari kerja. Begitu pegang ijazah langsung cari kerja yang
lebih menjanjikan.
Waktu rehat ini bisa kita pakai untuk volunteering atau solo
traveling. Sounds cliché again? Kadang yang klise itu ada
alasannya, dan kadang alasannya adalah karena ia memang berguna. Kita
menghabiskan sekitar 16 tahun untuk sekolah, tidak termasuk TK dan pre
school. Saya rasa boleh banget mengambil satu hingga dua
bulan untuk rehat melakukan apa yang sebelumnya nggak bisa kita lakukan karena
terikat kewajiban masuk sekolah dan kuliah. Kedua hal ini bisa kita lakukan
sambil kuliah tapi pastinya beda ketika kita fully committed melakukannya.
Murni demi pengembangan diri di luar akademis.
Kita pun akan lebih mantap ketika tanda tangan kontrak kerja
tanpa cuti selama setahun. Di awal kerja, liburan enggak jadi impian, semangat
kita adalah benar-benar masuk ke dunia profesional, show them what we
got. Atau, kalau kita mantap jadi entrepreneur kita
akan mengerahkan semua waktu yang kita punya, fokus. Dan, mungkin enggak
membaca artikel ini lebih lanjut karena tips yang saya berikan lebih buat kamu
yang masuk bekerja di perusahaan alias salarywoman, he-he-he.
Enggak terpaku sama passion
Waktu masih kuliah dulu saya ingin jadi wartawan perang. Namanya
juga impian masa muda. Lalu saya magang sebagai wartawan harian, meliput
kriminalitas, seorang ayah ditangkap karena membunuh anaknya sendiri. Ketika
kami wawancara, dengan bercucuran air mata dia mengatakan dia tidak punya uang
untuk memberi makan anaknya. Dia seorang pemulung, bagi dia lebih baik anaknya
mati daripada hidup susah bersamanya. Pulang liputan ini saya menangis
sendirian di kamar. Lalu selama satu bulan magang ada beberapa kisah serupa
yang membuat saya sadar, saya enggak cukup kuat mental untuk menghadapi hal-hal
seperti ini setiap hari. Saya enggak bisa enggak ikut merasa.
Setelah masa magang selesai saya diminta melanjutkan masa magang
sampai lulus dan ditawari jadi reporter. Saya menolak. Karena masih ingin jadi
jurnalis, saya pun mencari jalan untuk menulis soal pendidikan atau hiburan.
Tapi, berkat sudah mencoba, saya jadi tahu pasti kenapa saya banting setir.
Keren banget kalau sudah tahu apa passion kita
dalam hidup. Bisa diikuti. Tapi, kalau ada tawaran yang masuk akal, kenapa enggak
dicoba dulu? Kalau enggak cocok, kan, bisa enggak dilanjutkan sambil cari
pemasukan. Apalagi buat yang masih enggak tahu passion-nya apa,
daripada kebanyakan mikir, mendingan bikin list pilihan apa
saja yang make sense lalu dicoba. Kadang kita enggak tahu apa
yang kita mau karena belum pernah mencoba mengerjakannya, atau karena belum
tahu pilihan itu ada.
Inisiatif, dong, ah…
Saya pernah menjadi bawahan dengan berbagai macam atasan. Juga,
pernah jadi atasan dengan berbagai macam bawahan. Dari kedua posisi ini saya
sadar, kalau added value yang selalu dicari dari seseorang
adalah inisiatif. Kita bisa jadi seorang pekerja yang rajin, pintar, dan
mengerjakan semua job desk dengan baik. Tapi, inisiatif
yang akan membawa diri kita setingkat lebih maju.
Mengeluarkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih
baik, memberikan ide baru, atau inisiatif untuk memimpin akan membuat orang
lain percaya kalau kita bukan hanya bisa memimpin diri sendiri tapi juga orang
lain. Jadi inisiatif, dong, ah, jangan nunggu disuruh-suruh aja.
Cara pandang terhadap bos
Ada banyak banget artikel yang membahas cara supaya disukai sama
bos. Saya enggak pernah baca. Waktu masih kuliah dulu, ayah saya pernah bilang, “Sejelek-jeleknya
karyawan tetap kepakai asal dia enggak nyusahin bos, itu aja.”
Belakangan ketika ada di posisi memimpin, saya sadar betul apa
yang pernah ia katakan ini.
Atasan atau team leader atau bos punya target,
kita sebagai anggota timnya bertugas mengerjakan job desk masing-masing
demi tercapainya target ini. Kalau kita bisa mengerjakan peran dengan baik,
tujuan bersamanya pasti tercapai. Apalagi kalau kita inisiatif, pasti jadi
nilai plus. Tapi, kalau keberadaan kita malah menambah pekerjaan atasan, dia
pasti terbebani dan bisa saja mencari anggota tim lainnya. Enggak usah fokus
sama drama apalagi mencari perhatian dengan kata-kata manis atau hadiah. Kerja
aja yang beres, jangan jadi beban tim.
Dengan prinsip ini saya akhirnya punya hubungan yang cukup baik
dengan atasan atau bawahan. Soalnya kalau pekerjaan selesai, kan, kita jadi
punya waktu juga buat hal yang lebih personal di luar jam kantor. Biarkan
masa-masa drama itu berakhir di SMA. Kecuali kalau justru atasannya yang drama,
maka baca tips selanjutnya.
Tahu kapan harus move on
Tadi saya bilang kita harus mau mencoba, kan? Tapi kita juga
harus tahu kapan move on, bukan menyerah, bukan gagal, tapi move
on. Seorang adik kelas pernah galau karena merasa enggak cocok di tempat
kerjanya setelah seminggu kerja. Saya bilang, tahan sampai satu bulan sambil
cari kerjaan lain. Kalau tawaran pekerjaan baru terasa sangat enggak bisa
ditolak, resign dan kerja di tempat baru itu. And she
did it.
Untuk hal baru, coba minimal satu bulan sebelum udahan.
Setidaknya setelah itu kita tahu betul kita nggak akan menyesal dengan pilihan
yang kita buat. Yang enggak saya rekomendasikan adalah, resign via WhatsApp setelah
satu hari kerja. Ini akan memberikan kesan yang salah bukan hanya tentang diri
kita tapi juga almamater dan angkatan kita. It
happened.
Terbuka sama perubahan
Kalau ada satu lagi HRD yang tanya, “Bagaimana kamu melihat
diri kamu dalam lima atau sepuluh tahun mendatang?” saya mendingan
langsung keluar ruang wawancara. So old school. Banyak banget
pekerjaan yang lima tahun lalu bahkan belum ada. Mungkin saja, tiba-tiba ada
teknologi yang membuat banyak hal jadi nggak relevan lagi. Mana bisa menjawab 5
atau 10 tahun lagi mau ngapain? Sehingga rekan mudaku sekalian,
yang paling masuk akal adalah menjawab bahwa kita akan berusaha mengikuti
perubahan.
Contoh kasus yang lebih personal, tujuh tahun lalu saya menjadi
jurnalis di sebuah majalah dari salah satu grup media terbesar dan dihormati di
Indonesia. Dua tahun menjadi reporter saya diberi tanggung jawab untuk
mengelola website dan media sosialnya, tanpa pengetahuan
digital di kampus, saya mau mencoba.
Lima tahun setelah kejadian itu, majalah tersebut ditutup.
Tergerus perubahan jaman, senasib dengan banyak media massa cetak di dalam
maupun luar negeri. Ketika yang lain baru mulai belajar menyesuaikan diri
dengan dunia digital, itu pun sebagian karena terpaksa, saya sudah belajar
duluan. Enggak mengatakan saya lebih pintar, tapi saya enggak gentar karena
sudah mencoba.
Lalu sekarang, saya kembali menantang diri untuk mencoba dan
terbuka dengan perubahan, dengan menanggalkan identitas sebagai seorang
jurnalis. Karena setelah mencobanya selama tujuh tahun, saya tahu ini saatnya
untuk move on.
*Artikel ini juga pernah naik di Tunaiku.com
dengan judul asli 6 Nasihat Karier Ambisius Tingkat Medium yang Harus Diketahui Usia23 Zaman Sekarang.
Comments
Post a Comment