Sebulan Enggak Jadi Jurnalis, Rasanya Kayak Apa?
“Kenapa memutuskan untuk enggak jadi jurnalis lagi?”
((Insert lagu Sementara by Float))
Tiap ditanya
pertanyaan itu, saya punya argumentasi kuat. Yang selalu diikuti anggukan oleh
si penanya, yang biasanya calon user,
atau head of division. Sebenarnya
saya enggak tahu apa urgensinya menanyakan ini, mungkin lebih karena rasa
penasaran. Untuk seseorang yang kuliahnya Jurnalistik, yang pekerjaan
pertamanya jadi jurnalis, dan selama tujuh tahun terakhir bekerja di media,
kenapa akhirnya saya memutuskan untuk enggak jadi jurnalis lagi.
Saya punya jawaban
idealis dan realistis untuk pertanyaan ini. Yang mana, buat saya sangat
personal dan bisa jadi enggak dipahami orang lain. Namanya juga lyfe, manusia banyak maunya.
Dari sisi idealis, saya
ingin mengembangkan diri di dunia digital. Learning
the whole environment, how it works, how it changes people’s life, our life.
Setelah menggeluti media online, dari nulis sampai mengonsep, dari ngide sampai
realisasi, dari cuma mikirin konten sampai mikirin bisnis, pada sebuah momen
saya merasa fed up. Saya sempat stress dan marah-marah setiap kali membaca
judul ‘berita’ online kemudian
tertipu isinya yang click bait. Itu
lho, ‘berita’ yang enggak nyambung antara judul dan isi, yang cuma mencari sensasi,
yang setelah dibaca enggak ada informasi bermanfaatnya sama sekali. Apalagi 'berita' yang degrading perempuan.
((Can I have an amen?))
Iya, enggak semua
media begitu, kok. Banyak yang masih bagus yang masih bermanfaat dan menjaga
kualitas. Tapi di dalamnya saya tahu, ujung-ujungnya traffic, ujung-ujungnya duit. Yang belum dikejar jadi ‘receh’ akan
ada saatnya jadi ‘receh.’ Kalau enggak receh, kalah saing sama yang lain. Ada
juga kok yang tetap bisa bersaing dengan memberikan konten bermanfaat, ada.
Tapi kalau kata bos di kantor lama saya sih, media tersebut keuntungannya
enggak bisa membuat dia bertahan lama, tanpa mengikuti pola yang ‘populer’ atau
tanpa ‘suntikan dana’ tidak lama lagi akan gulung tikar. Sehingga menurut
beliau, terjun ikut ke dalam permainan atau mati. Kata beliau, lho, bukan kata
saya.
Tapi buat saya bukan
ikut terjun atau mati. Buat saya, ikut terjun atau tidak terlibat sama sekali.
Saya pilih B. Karena saya tidak mau mengerjakan apa yang saya pahami harus saya
lakukan demi bertahan, saya pilih untuk tidak melakukannya sama sekali. Kenapa?
Karena untuk saat ini, saya tidak sanggup pertanggungjawabannya. Saya tidak sanggup menjadi
bagian daripadanya. Enggak tahu kalau nanti. Kan lyfe, manusia selain banyak maunya juga suka berubah.
((Daripada apa, sih?))
Kenapa enggak masuk
ke media lain? Sempat kok terpikir untuk bekerja di media lagi, malah sempat apply. Dari semua media yang ada di
Indonesia saat ini cuma ada dua media yang saya kirimkan CV, satu sempat ikut
tes dan enggak lolos, satu lagi enggak ada kabar sampai sekarang (dia memang
enggak membuka lowongan sih, ha-ha-ha). Jadi ya sudah, lah, ya. Bulan-bulan
kemarin memang banyak mengalami penolakan. LPDP juga ditolak. Hiks. *eya.
((Kasyan~))
Kenapa enggak media
selain yang dua itu? Padahal ada media yang nawarin kerjaan juga eh sayana yang merasa enggak cocok. Duh, manusia! Karena kalau saya masuk ke divisi online-nya saya rasa akan sama saja akhirnya. Enggak berbeda dengan
pengalaman sebelumnya. Toh saya juga bekerja di salah satu media terbesar di
Indonesia, yang tersohor, yang dulu ketika masuk saya bangga sekali. Juga
kemudian terbentur dengan alasan realistis.
Apa lagi yang lebih
realistis dari uang? Iya, saya ingin banyak belajar di tempat kerja. Iya, saya
ingin dapat banyak pengalaman, bertemu orang, kolaborasi, berteman, tapi tentu
saja harus masuk akal dari segi salary.
Orang media pasti tahu kalau salary
di industri media lebih kecil dari salary
teman-teman di brand, di bank, apa lagi di oil and gas. Padahal kalau dari ngobrol, kantor tempat kerja saya
dulu ini cukup komitmen dalam mensejahterakan karyawannya. Kalau dibandingkan
PNS saya enggak tahu, teman-teman saya yang PNS enggak terlalu terbuka soal
gaji. Beberapa media enggak bisa menawarkan salary
lebih besar dari sebelumnya, sehingga saya coba industri lain. Maklum, sudah
mulai terpikir untuk punya cicilan.
((Momok banget yah, cicilan?))
“Lalu, gimana
rasanya sebulan enggak jadi jurnalis?”
((Insert lagu With or Without You by U2))
To be honest, nerve racking. Walaupun pekerjaan saya tetap berhubungan
dengan konten, tapi industrinya sama sekali berbeda. Walaupun tujuan utamanya
serupa, tapi aturan mainnya berbeda. Dan karena perbedaan-perbedaan ini juga
saya sering menemukan diri saya tertegun diam dan banyak menyimak saja di meeting non konten.
Sebenarnya
menyenenangkan dan bisa diatasi, sebagai anak daerah yang selalu dipaksa
adaptasi, saya sudah biasa beradaptasi di situasi baru. Tapi, mungkin karena
sebelumnya saya sudah lama sekali di kantor sebelumnya and every day I enter the office thinking that I know what to, I know
the drill, but suddenly….
I become Jon Snow.
Know nothing.
(TheThings.com) |
Ya enggak nothing banget, sih, almost nothing. Lah. Hahahahaha. Saya rasa sih semua orang yang baru pindah kantor
atau yang pindah jalur pasti merasakannya di awal. Namanya juga memulai,
namanya juga mencoba sesuatu yang baru. Wajar.
Tapi kadang tetep
aja suka feel a little bit low bertemu
dengan orang-orang yang well informed
about the business. Ngerasa kalau, “yailah
gue ke mana aja? Ngapain aja sih idup?” Dan lupa kalau, iya sih, di sini
mungkin saya mulai dari nol. Kadang lupa kalau di season 13 kemarin, at least I
did something. Karena ini season
14.
And here we go again.
*hugs (TVLine) |
((BTW yang pas baca judulnya pengen jawab, ‘manis,
asam, asin,’ yu anak 90-an banget))
Comments
Post a Comment