Jangan Geer Kalau Digodain Laki-laki di Jalan, Jangan Ngerasa Cantik
“Kamu kalau digodain sama laki-laki di jalan, jangan geer, bukan
berarti mereka suka sama kamu. Tapi jangan ngerasa kecantikan, juga,” kata
seseorang, waktu itu saya masih SMA.
Kejadian sebelumnya adalah seorang perempuan marah dan ngomong
sesuatu yang menyinggung karena digodain sama sekelompok laki-laki ketika dia
lewat. Saya yang kebetulan ada di lokasi, saksi, diingatkan oleh seseorang
dengan kalimat di atas.
Saya bengong. Saya bingung. Pertama, saya merasa yang
dikatakan sama perempuan itu enggak menyenangkan. Tapi di sisi lain saya juga
enggak suka perilaku sekelompok laki-laki itu, saya tahu gimana rasanya lewat dan
jadi pusat perhatian ditambah siulan atau komentar-komentar yang membuat saya
enggak nyaman.
Catcalling
Tapi saya selalu berpegang sama kalimat itu, sehingga
celetukan atau sapaan laki-laki asing di jalanan enggak pernah saya gubris. Sampai
akhirnya saya mengerti bahwa wajar bagi saya untuk merasa tidak nyaman
karenanya, dan bahwa tindakan itu namanya catcalling.
Walau masuk telinga kiri keluar telinga kanan, tetep kan dia masuk telinga
kiri, kedengeran.
Kalimat-kalimat seperti ini misalnya:
Kalimat-kalimat seperti ini misalnya:
“Pulang sendirian? Ya
ampun, kok enggak ada yang nganterin?”
“Baru pulang kerja?
Daripada jalan mending saya anterin.”
“Kalau cantik gini,
saya anterin gratis, deh.”
“Pulangnya malem amat,
cantik.”
"Cantik-cantik, budeg."
"Cantik ya, sayang sombong."
"Cantik-cantik, budeg."
"Cantik ya, sayang sombong."
Atau yang enggak berupa kalimat:
“Bondol… bondol… si
bondol…”
“Agnes Monica!”
“Duh, The Virgin!”
“Cantiiiik…”
“Neng, e neng”
Atau yang berupa siulan.
Atau yang berupa lagu:
“Pergi pagi,
pulang malam, sendirian.”
*nadanya gimana? Lupa.
Berkat kalimat yang saya pegang sejak SMA, saya enggak
pernah geer. Pun enggak menganggap para lelaki itu suka sama saya. Pun enggak
membuat saya berpikir kalau saya cantik. Mau tahu apa yang saya rasakan atas
catcalling yang mulai saya terima dan harus hidup serta berdamai dengannya?
Tidak aman.
Sepele
Saya harap ada di antara pembaca sekalian yang laki-laki dan
mau berusaha membuka pikirannya atas hal yang mungkin bagi yang tidak pernah merasakan
ini, persoalan sepele. Tapi, pernah kan merasa tidak aman dalam keseharian?
Ingat bagaimana rasanya? Sekarang bayangkan merasakan itu di banyak kesempatan.
Kesempatan yang sifatnya harian, yang harus dilakukan. Mundane.
Berangkat sekolah, kuliah, kerja.
Pulang ke rumah.
Mau main.
Mau ke mall.
Beli makanan.
Ke warung.
Semua aktivitas yang ke luar rumah dan berjalan kaki.
Iya, memang enggak setiap kali terjadi. Tapi seringkali
terjadi. Dan kesemuanya tidak pernah sekalipun saya meminta atau mengharapkannya.
Enggak pernah saya keluar rumah lalu
berpikir di dalam hati, “duh nanti berapa
orang, yah, yang bakal godain aku di jalan,” atau “pakai baju ini ah, biar digodain di jalan.” Enggak pernah.
Malah sebaliknya. Mau tahu kenapa beberapa perempuan ribet
menentukan baju yang akan dipakai kalau keluar? Nanya dengan spesifik mau ke
mana, ngapain, naik apa, suasana di venue
seperti apa? Karena dari informasi yang kami dapat, kami akan kalkulasikan
kombinasi paling tepat untuk tampil yang terbaik, tapi tetap nyaman, appropriate, enggak bikin bad mood dan malah nyusahin, dan yang
terakhir adalah sesuai dengan keadaan supaya enggak terlalu mencolok dan ada
berapa kemungkinannya melewati wilayah bronx
yang mungkin ada cowok iseng yang catcalling.
Ribet? No. Necessary.
Enggak sering dengar
kisahnya?
Seorang teman saya, laki-laki, kaget ketika saya cerita soal
dicolek, dipegang, diremas laki-laki asing di jalan atau di kendaraan umum.
Kagetnya lumayan epic, kehilangan kata-kata, karena dia jarang sekali
mendengarnya. Karena dia bawa kendaraan pribadi, kejadian seperti ini jarang ia
saksikan. Dia pikir, hal-hal seperti ini cuma terjadi di kereta di Jepang.
Serupa dengan catcalling, sebagin
menganggapnya enggak pernah terjadi, sebagian lagi merasa itu wajar.
Kenapa? Karena kita, perempuan, enggak banyak ngomongin soal
ini. Kenapa? Karena kami yang dicolek, kami yang ‘seharusnya’ malu. Karena kami
yang digodain, kami yang dibilang geer. Karena kami lahir dengan buah dada dan
vagina, kami dianggap lebay, dramatis,
dan membesar-besarkan yang biasa, yang wajar. Malah, harusnya kami senang dan
menganggap itu pujian.
Pujian?
Kenapa saya enggak merasa ini pujian? Balik lagi, karena
‘pujian’ ini membuat saya merasa tidak aman. Kenapa? Karena saat dihadapkan
dengan keadaan seperti ini kalau saya tanggapi, dianggap ‘undangan’ atau ‘ijin’
kepada pelaku untuk terus melakukan apa yang dia inginkan. Dan saya enggak
berani membayangkan apa yang dia inginkan.
Kalau saya diamkan, dianggap sombong atau lebih parah
dianggap menghina pelaku karena tidak menggubris atau menolak. Dan saya enggak
mau membuat laki-laki asing marah. Kenapa? Saya enggak berani membayangkan apa
yang dia akan atau bisa lakukan kepada saya. Saya tahu persis ukuran tubuh dan
seberapa kuat tubuh saya, enggak kuat-kuat banget. (*)
Bahkan ketika kuliah saya pernah membawa pisau lipat di tote bag. Just in case. Karena saya sering ke mana-mana sendirian dan pulang
malam. Sampai saya diingatkan bahwa skenarionya bisa terbalik dengan senjata
tajam. Alhirnya saya simpan di rumah. Senjata penggantinya? Selalu waspada.
Waspada 24/7. Makanya kalau pulang malam atau lewat tempat gelap, saya bukan
takut hantu. Saya takut orang jahat.
Kalau ada skenarionya harus melintasi jembatan penyeberangan
atau jembatan halte Transjakarta malam hari, saya lari, as fast as I can. Kalau lagi pakai wedges atau heels, saya
buka dulu. Nyeker.
Segitunya? Iya, segitunya merasa enggak aman. Karena saya
sudah mengalaminya sejak buah dada mulai tumbuh. Dan saya yakin banyak
perempuan yang mengalami hal yang sama. Yang terpaksa harus sering jalan kaki
atau menggunakan angkutan umum.
Gangguan online
Rasa aman ini mulai terbantu sejak ada angkutan umum online.
Bisa mengurangi durasi saya berjalan kaki di jalan raya. Terus terang sejak
pindah ke tempat sekarang yang jalanan menuju rumah ini tanah kosong, jarang
ada yang nongkrong, dan hampir selalu naik angkutan online, saya makin jarang
mengalami catcalling atau street harassment lainnya. Ini jadi
solusi bagi saya. Tapi belum tentu bisa jadi solusi masuk akal buat perempuan
lainnya. Angkutan online ini membuat
saya merasa aman, sampai…
Abangnya mulai SMS atau WhatsApp ngajak kenalan.
Ini banyak terjadi. Dan mungkin enggak banyak yang
ngomongin. Kenapa? Karena wajar, kan, ada orang ngajak kenalan? Kalau enggak
suka kan tinggal ignore, sepele,
enggak usah diomongin. Jangan geer, dia cuma iseng? Jangan marah dan ngerasa
sok cantik?
Inhale. Exhale.
Wajar, ada yang ngajak kenalan. Saya senang, kok, dapat
kenalan baru. Tapi bukan kenalan yang sudah tahu nama, nomor telepon, alamat
rumah, dan alamat kantor. Ini kembali lagi ke persoalan yang saya jelaskan
sebelumnya, saya beri tanda (*), silakan baca ulang. Efeknya sama. Dan saya
enggak berani membayangkan, apa yang pelaku bisa atau berani lakukan
selanjutnya kalau saya menyinggungnya.
Padahal, mereka sudah membuat saya merasa tidak aman atas
hidup saya sendiri. Sekali lagi, tanpa saya pernah memintanya.
Jadi, tolong, jangan anggap sepele ketika ada seorang
perempuan merasa takut karena seseorang menggodanya di jalan. Atau ada supir
angkutan umum online yang chat atau menelepon setelah antar mengantar
selesai. Karena satu kejadian kecil ini masuk ke dalam folder, yang di dalamnya menumpuk banyak data. Memori, kejadian,
perasaan, atas kejadian-kejadian sebelumnya yang mungkin sama ‘sepele’-nya,
yang kami harus tanggung sejak usia belasan, karena kami dilahirkan sebagai
perempuan.
Dan jangan pernah tanya ketika kejadian, saya pakai baju
apa.
Nanti saya bilangin BFF saya, lho :P |
Comments
Post a Comment