Jawaban atas “Udah Isi?” Dan Komentar Imajinatif Soal Penyebab Perempuan Belum Hamil Lainnya Dalam Komik Tiga Kolom

1.

Satu pertanyaan saya setelah menikah. Sejak kapan perut perempuan yang sudah menikah itu jadi ranah publik? Di mana orang-orang begitu ingin tahu apa yang ada di dalamnya dan merasa punya hak untuk menyentuh? Serius, ini, saya bertanya. *Enggak, saya enggak marah, walau kalimatnya seperti ini. Coba bayangkan saya ngomongnya dengan nada lemah lembut dengan logat Sunda,he-he-he.

Sebagai yang selalu menghargai personal space, bahkan di tempat sempit, saya kaget ketika orang-orang yang enggak terlalu akrab sama saya, bahkan yang enggak saya kenal sebelumnya, tiba-tiba memegang perut saya. Ini terjadi beberapa kali, setelah saya menikah, bahkan di beberapa hari sebelum saya menikah, ha-ha-ha.

Sambil mengelus perut, mereka bertanya, “udah isi?”

Karena sudah hampir dua tahun sejak kejadian pertamanya, saya mulai santai menghadapi fenomena ini. Lama-lama jadi lucu, sambil diingat-ingat karena kadang suka di luar dugaan saya kalimat-kalimat yang mengikuti pertanyaan “udah isi,” ini.

Pertama kali sih saya kaget luar biasa, karena saya enggak suka dipegang orang asing, ha-ha-ha. Walaupun sesama perempuan, tapi tetep aneh aja. Saya belum pernah pegang perut teman-teman dekat saya yang udah sahabatan belasan tahun pun. Apalagi di perut, kan kaget!

Apa lagi yang pas sebelum menikah, enggak nanya apa-apa tapi pegang-pegang perut. Out of nowhere. “Enggak bude, saya enggak hamil. Kalaupun hamil, yang mengurus juga saya bude, enggak akan ngerepotin bude,” pengennya ngomong gitu, tapi saya diam, enggak mau merusak suasana. Cukup suasana hati saya aja yang rusak.

Semakin lama usia pernikahan, semakin panjang kalimat setelah pertanyaan sambil pegang perut itu. Biasanya saya balas dengan jawaban “belum,” dan senyum. Makin tua saya belajar kalau senyum dan diam seringkali lebih ampuh daripada argumentasi apa pun. Enggak semua orang terbuka pada jawaban di luar yang dia paham dan enggak semua orang mau meluangkan waktu untuk dialog. So, I choose my battle wisely. Walaupun sebenarnya di kepala sih ada aja jawabannya, ha-ha-ha.

Berikut beberapa kalimat yang kerap saya terima, kemudian telan saja sambil senyum. Mungkin, kamu juga pernah mengalaminya, mungkin ini begitu lumrah di masyarakat kita. Disenyumin aja, sisanya jadi doa, atau buat bahan blog seperti saya.

2.

 3.


 4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Saya sadar, sebagian daripada pertanyaan ini adalah karena peduli. Tapi saya juga sadar kalau sebagian laginya adalah kepo. Yang mana sebenarnya saya enggak punya keharusan memuaskan kekepoan ybs-ybs tersebut.

Pernah ngalamin, juga? Yang nomor berapa? He-he-he.

Comments