Yang Paling Saya Takuti Dalam Hidup, Mungkin Kamu Rasakan Juga
“Tapi kalau boleh
tahu, apa sih yang bikin kamu terus pengen memperkaya diri?” Deno.
Saya tenggak lagi seteguk langsung dari botol. Manis, pahit,
aromanya memenuhi mulut lalu kerongkongan. Kemudian saya tarik napas panjang,
hembuskan. “Apa, yah?” jawab saya
sambil berpikir. “Karena aku pengen jadi
the best version of myself?” jawab saya setengah bertanya, sambil meneguk
lagi beras kencur seharga Rp25 ribu sebotol dari warung Suwe Ora Jamu itu. Bener
kata Vito, enak sih, tapi mahal.
Obrolan malam di depan Bentara Budaya Jakarta itu sebenarnya
enggak diagendakan, begitu pula dengan temanya, mengalir saja. Mungkin arah
obrolannya menjadi cukup depresif kalau yang ngobrol kami bertiga, ha-ha-ha. Mulai
dari kecemasan akan profesi jurnalis, bisnis media, entrepreneurship, pernikahan, penyesalan, sampai ketakutan pribadi.
Yang sabar yah, kawan-kawan!
Tapi sebenarnya kalau tema ketakutan pribadi dalam hidup ini,
buat saya sih makanan sehari-hari, yang belakangan makin merongrong di pojokan
pikiran. Makanya ketika fellow blogger
Iif minta tema untuk 30 days challenge
di blognya, tema itu pula yang saya lempar, “the
scariest thought you ever had.”
Ada begitu banyak hal yang kita takuti dalam hidup, yang
bukan takut sama anjing atau ketinggian, tapi yang lebih core. Bagi sebagian orang, Iif misalnya, salah satu hal yang dia takuti sangat
adalah kematian dan ketakutan serta alasan lain yang ia rasakan bisa dibaca di sini.
Kemudian kalau bagi saya, saya banyak memikirkan soal ini,
dan sempat menemukan beberapa versi. Ada masanya di mana saya terjun langsung
menghadapi rasa takut ini, ada yang belum sampai hati. Karena walaupun kadang
saya merasa saya pengecut, saya percaya hal paling ampuh dalam mengatasi
ketakutan adalah menghadapinya.
Mengeliminasi
Dulu saya takut komitmen, ternyata masih bisa bernapas. Dulu
saya takut gagal, setelah gagal ternyata masih berani melihat diri sendiri di
depan kaca. Dulu saya takut jadi orang dewasa yang enggak bisa melihat gajah di
dalam ular boa, ternyata ada pilihan. Dulu saya takut hidup sendirian, ternyata
hening itu nikmat. Dulu saya takut jatuh miskin dan enggak punya uang, ternyata
manusia itu diberi banyak akal. Dan berbagai ketakutan lainnya.
Fjjariego |
Tapi dari semua ketakutan yang kemudian saya eliminasi satu
demi satu dalam hidup, ada yang enggak lekang dimakan jaman. Ketakutan yang
sebelumnya saya enggak tahu bagaimana mebahasakannya sehingga enggak tahu
bagaimana menyebutnya, apalagi menghadapinya. Sampai beberapa minggu lalu,
akhirnya saya tahu apa yang membuat saya begitu uneasy dan seringkali enggak nyaman dengan di mana saya berada,
baik fisik ataupun mental.
“Unfullfilled potential”
“Ada banyak hal yang
bisa saya lakukan dengan hidup saya, apakah ini yang mau saya lakukan, sekarang? Ada banyak tempat yang bisa saya berada di
dalamnya, apakah saya ingin berada di sini, sekarang? Ada banyak orang yang
bisa saya luangkan waktu bersamanya, apakah orang-orang ini, sekarang? Apakah
saya buang-buang waktu melakukan ini?”
And the thought goes
on and on and on. Dan pikiran-pikiran ini bisa membawa saya ke negative thought yang masuk ke dalam
kategori scariest thought I’ve ever had.
Yang mungkin terdengar bodoh kalau dikatakan, tapi sama sekali berbeda ketika
dirasakan. Dan walaupun enggak saya tulisakan saat ini, saya yakin you all know what I mean.
The fight
Seseorang pernah bilang sama saya, “ketika kamu enggak melakukan sesuatu berarti kamu enggak cukup
terinspirasi untuk melakukannya,” kata dia. Waktu itu dia nanya kenapa blog
saya enggak aktif lagi. Perkataan dia sangat masuk akal bagi saya, karena
sesibuk apa pun kita, kalau kita memang ‘terpanggil’ untuk melakukannya, waktu
bukanlah alasan utama.
Dan ini jadi sangat masuk akal, karena ketika kita
menginginkan sesuatu kita akan berusaha keras mendapatkannya. Kalau kita enggak
berusaha keras ya mungkin kita enggak cukup menginginkannya. Mirip dengan teori
“he’s just not into you” atau “when someone wants to be with you, they
will be.” Kadang kenyataannya sesederhana itu.
Bukti nyatanya sering kali saya lihat di sekitar. Seperti
seorang teman yang sudah lama menginginkan melanjutkan sekolah akhirnya
memutuskan untuk mencoba di masa kerja tersibuk yang pernah dia alami. Karena
dia merasa dia harus melakukannya setelah lama ditunda, setelah lama takut.
Atau seorang teman yang sudah lama ingin menikah akhirnya memutuskan menikah
dan banyak melakukan kompromi yang dulu mungkin jadi deal breaker. Karena dia merasa tanpa kompromi dia enggak akan
mendapatkan apa yang dia tuju.
And it’s not giving
in. It’s facing the fight, your own fight that nobody else might understand
(and they don’t have to).
Dan untuk sekali lagi, saya memutuskan untuk melawan rasa
takut ini. Yang mana baru beberapa jam saja memutuskan untuk melawannya, saya
sudah dipaksa untuk merasakan ketakutan-ketakutan yang dulunya paling saya
takuti; penolakan, kegagalan, komitmen. Dan walaupun dengan semua dukungan support system, semua ini saya hadapi
sendirian, this is my own fight. Well,
what can I say? We have to be a grown up, right?
*PS: For all of you, who
are in your battle fighting the fight, just keep swimming. You will know when
to get up or put off the fight. Not all battle has to be won, some need to be
left behind to patch our wounds and give it another try another day.
Comments
Post a Comment