Nusa Penida Trip 1: Atuh Beach, Serasa Jadi Manusia (Paling Beruntung) Terakhir di Dunia



Besar di era millennium, film The Beach yang dibintangi Leonardo DiCaprio itu bagi saya begitu magical sekaligus mystical. Walaupun endingnya cukup mengerikan. Tapi untuk menemukan sebuah tempat terpencil yang kebangetan bagusnya, sepi, dan serasa jadi satu-satunya manusia di bumi itu jadi impian di siang bolong. Enggak harus pantai yang sama dengan Leo, the feeling of it, that’s the ‘drug.’

Sekarang bayangkan dengan mindset seperti itu, saya diberi pemandangan seperti ini:



Jantung langsung berdebar dan rasanya ingin lari, loncat, lalu salto masuk ke laut. Tapi enggak bisa. Jalannya harus hati-hati, karena banyak kerikil, kalau terpeleset, bantuan medis paling dekat entah dari mana dan rasaya saya enggak melihat helikopter di pulau Nusa Penida ini. Sehingga, harus selalu menjaga diri supaya liburan enggak terganggu dan enggak menyusahkan orang lain. Lagi-lagi ingat kejadian di The Beach? #Sikap.


Atuh Beach.
“Rustic, isolated cove beneath a sheer cliff face, with a sandy beach & offshore rock formations,” begitu kata Google. You had me at rustic and isolated!

Tapi sebenarnya saya ke sana tanpa googling terlebih dahulu. Tahun 2015 saya pernah ke Nusa Penida tapi pulang-pergi karena menginap di Seminyak. Big mistake. Karena jadinya enggak banyak spot yang bisa dikunjungi, terbatas dengan speedboat yang paling sore berangkat dari Nusa Penida ke Sanur pukul 15.00 WITA.

Padahal kami sudah naik speedboat paling pagi pukul 07.00 WITA dan tiba sekitar pukul 08.00 WITA. Tapi little that we know ketika itu, perjalanan dari satu spot ke spot yang lain itu memakan waktu 30 menit hingga 2 jam menggunakan motor. Yes. Pegel pantat. But the best kind of pegel pantat that I’ve ever had, ha-ha-ha.

Jadi ketika ke sana Oktober 2016 lalu, saya dan Irfan memutuskan untuk menginapnya di Nusa Penida juga. Begitu tiba, kami langsung sewa motor, menyimpan tas di hotel, lalu bertanya sama penjaga hotel spot mana yang lebih baik kami datangi pertama kali. Dia memberi kami penjelasan soal beberapa spot yang menurut dia worth it lalu memberi selembar peta, dari sana kami memutuskan untuk mengunjungi sisi terjauh yang berhadapan dengan Lombok, di titik itu tertulis ‘Atuh Beach.’


Tree House
Penjaga hotel bilang, kalau mau ke Atuh Beach sempatkan ke Tree House karena lokasinya berdekatan. Lalu dia menjelaskan arahnya ke Irfan, saya langsung enggak paham kalau arahnya pakai Barat-Selatan, saya lebih bisa hafal kalau pakai patokan.

Baju renang sudah dipakai, handuk dan kamera sudah di backpack, siap berangkat. Jangan lupa pakai helm. Oh iya karena Nusa Penida panas banget, saya naik motor, dan alergi sun block jadinya pakai kaos tangan panjang. Karena kulit tangan suka melepuh. Kalau kulit kaki sih tidak, jadi pakai quick dry shorts supaya ringkas.

Dari hotel, perjalanan kami dengan motor, tidak macet sama sekali, malah di sepanjang perjalanan kami seperti satu-satunya pengunjung di pulau. Sesekali papas an dengan motor pengunjung lain atau warga, tapi enggak sering. Kami menuju lokasi dengan bantuan Google maps dengan dua cell provider, saya pakai Telkomsel, Irfan pakai XL. Sehingga kalau yang satu hilang sinyal ganti yang lain. But both works well, hanya kadang memang ada blind spot sehingga kami harus bertanya sama penduduk. Jangan lupa hapalkan istilah spot itu dalam bahasa lokal, karena kadang penyebutannya berbeda.

Tibalah kami di Tree House atau orang sekitar menyebutnya Rumah Pohon atau Mol Lenteng. Setelah bayar parkir, kami menyimpan motor, lalu kami mulai berjalan kaki. Lalu dihadapkan dengan trek yang naik turun lalu naik banget demi menuju venue yang kata penjanganya, “bagus sekali, pemandangannya.” Kami percaya. Dan kami bersyukur sudah percaya.

Just keep walking. Jangan lupa bawa air minum.
Iya, mukanya kelihatan capek. Memang capek :p


Di dalam rumah pohon itu kamar, bisa disewakan.

Setelah jalan ke bukit di sebrang Rumah Pohon,
ini pemandangannya.

Naik lagi, menuju gardu pandang.

The best shade of blue.



Atuh Beach
Dari Rumah Pohon kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Atuh Beach. Katanya dalam perjalanan kami akan melewati bukit Teletubbies. Referensi kita ini yah, semua aja disebut bukit Teletubbies, ada di mana-mana, ha-ha-ha. Dan gini perjuangan menuju Atuh Beach.

Jangan lupa pakai alas kaki yang nyaman. Saya sudah beberapa trip trekking di wilayah pantai seperti ini pakai sandal Havaianas, enggak licin, enggak gampang sobek kena batu karang, empuk dan enggak bikin lecet. Kecuali enggak suka pakai flip flop bisa pakai sandal Teva atau Eiger. Kalau pakai sepatu enggak praktis walau melindungi punggung kaki dari panas matahari, sih.


Belum ada setengah perjalanan, itu Atuh Beach-nya di bawah.
And no, there are no other way.

Setelah melalui jalan setapak yang panjang itu,
harus melewati tangga yang lumayan curam untuk kaki pendek saya.
Enggak tahu ada berapa anak tangga, I lost count.
Tiga kali berhenti buat tarik napas, deh.

Sampai!
Setelah sekitar 20 menit jalan kaki, pelan-pelan
ha-ha-ha.


Dan ketika merasakan sapuan ombaknya di kaki, melihat ke kejauhan, membuang pandang ke sekeliling betapa hanya ada kami saja, saya bisa mengerti apa yang karakter Leonardo DiCaprio rasakan, total bliss and euphoria rushing in the blood.


Kelapa di pantai.
Some things are not cliche, it comes naturally fit.

Ketemu lagi sama rumah Sponge Bob.

Cuma beberapa pohon aja udah bikin super adem.


Kami menghabiskan waktu sekitar hampir dua jam di Atuh. Ngaso dulu sebentar di warung tepi pantai, beli kelapa sebutir, harganya sekitar Rp10 atau Rp15 ribu saya lupa. Main pasir, main air, main ombak, berdua saja ditonton keluarga penjaga warung yang ramah, he-he-he. Menjelang siang, baru berdatangan pengunjung lain, tapi tetap enggak banyak, jadi suasananya begitu kondusif, saya suka sekali pantai yang sepi. It was heaven for me.


Irfan juga berenang kok, enggak motret aja, he-he-he.
One tiny being having so much fun in the sun.
Di tepi pantai udah bisa berenang.
Tapi bukan lokasi snorkeling.
Karena ombaknya cukup besar,
beberapa kali saya
 kesapu ombak.
Enggak ada life guard on duty, jadi hati-hati, yah!
 
Pantainya putih,
tapi batu-batu super tiny bukan pasir lembut.
Saking panasnya di beberapa foto jadi kelihatan pink.
no filter or editing whatsoever.

Kalau mau ngadem di bawah payung ini, sewa yah.
Sekitar Rp50-75 ribu kalau enggak salah?
We didn't rent it.

Spot rawa-rawa dekat pantai.
Itu andukan, panas. Sekalian jemur anduk juga.

Itu dia tangga yang tadi,
perjalanan pulangnya ya balik lagi.
Itu titik dua adalah pengunjung yang baru balik dari pantai.
Kelihatan? Ha-ha-ha.

Sampai parkiran motor, anduk udah kering.
Juara mataharinya.

It was totally worth it. Serasa jadi manusia paling beruntung, terakhir di dunia.




*PS: More to come, another blogpost untuk Nusa Penida Trip ini. Tadinya mau digabung tapi bakal panjang banget sehingga dipisah per spot. Atuh Beach adalah yang pertama.

*Details:




Transportasi
Speed boat dari Sanur – Nusa Penida menggunakan Maruti Express Rp250 ribu/ Rp480 ribu PP. Perjalanan sekitar 60 menit dari Sanur.
Sebenarnya speed boatnya ada beberapa jenis, berbagai jam keberangkatan, dan dari berbagai lokasi. More info dibahas lengkap di blog ini.
Sewa motor Rp 60-75 ribu per hari, bisa sewa di dermaga begitu tiba, atau bisa di hotel. Jangan lupa bawa uang cash!
Sewa mobil Rp 900 ribu (browsing, enggak tanya-tanya di lokasi).
Bisa juga sewa jasa guide kalau enggak mau repot-repot pakai Google Maps atau nyasar-nyasar sedikit. Banyak jasa trip juga ke sana bisa googling ‘Nusa Penida Trips.’
Akomodasi
Ada banyak hotel di Nusa Penida dari yang Rp100 ribu sampai jutaan semalam.
Tapi jarang yang lokasinya pas di spot pantainya, pasti harus jalan kaki atau naik motor.
Saya menginap di Gepah Garden, maaf enggak foto-foto. Murah (Rp275 ribu per malam), bersih, dan nyaman, tapi jauh dari mana-mana, ha-ha-ha.

Comments