Kalau Mau Jadi Influencer atau Celebgram, Gitu Caranya!
Salah Satu Sesi yang
saya hadiri di Social Media Week 2016, bersama Keenan Pearce dan Ernanda
Putra.
Anyway, kalau dari sesi ini ada beberapa kunci buat teman-teman yang ingin jadi influencer. Yang mungkin udah pernah denger juga, sih, sebelumnya. Jadi, sekaligus menegaskan, lah ya.
Dipikir-pikir susah juga, yah?
saya sih, followersnya masih sedikit. |
Saya duduk paling belakang, karena datangnya telat. Yang berdiri
di depan, di panggung itu, Ernanda Putra sama Keenan Pearce. Buat yang suka
main Instagram dan Snapchat, pasti merasa kenal, sama mereka berdua, walau
sebenarnya enggak kenal. Saya terus terang enggak follow keduanya di kedua media sosial tersebut. Kenapa? Biar saya
sendiri aja yang tahu.
Awalnya saya datang karena judul sesi master class ini adalah Keys to Working with Bloggers and Influencers. Wah, butuh banget, nih, buat pengetahuan di
dunia kerja saya, yang mana, salah satunya adalah berusaha menjalin kerjasama
dengan para bloggers. Niatnya. Lalu
setelah mengikuti sesi, saya jadi paham sih, gimana proses kreatif di balik
kedua seleb media sosial ini, biasa disebut influencer.
Dan ada satu kalimat yang muncul di kepala saya di akhir sesi
adalah, “oh, kalau mau jadi influencer atau
celebgram, gitu caranya!”
Walaupun sebenarnya saya juga sudah menyusun beberapa teori
soal apa yang bikin seseorang terkenal di media sosial. Tapi, mereka kan
benar-benar menjalankan teorinya, yah. Saya sih, lebih menjalankan teori ini di
media tempat saya bekerja. Sementara akun pribadi cukup terbengkalai.
Saya juga melihat pola ini sih, di beberapa rekan. Yang
kerjaan sehari-harinya memegang akun media sosial brand, atau media, kadang kala akun pribadinya terbengkalai. Karena
dua alasan, satu, karena udah capek. Seperti tetangga saya yang koki dan kalau
di rumah enggak pernah mau masak. Atau dua, tahu teorinya tapi kemudian memilih
untuk enggak melakukannya karena enggak sesuai dengan kepribadian atau prinsip
hidupnya. Bisa ditambahkan alasan lainnya, kalau ada yang mengalami. Tapi
banyak juga yang keduanya berjalan dengan baik tentunya.
Anyway, kalau dari sesi ini ada beberapa kunci buat teman-teman yang ingin jadi influencer. Yang mungkin udah pernah denger juga, sih, sebelumnya. Jadi, sekaligus menegaskan, lah ya.
Satu.
Content is king.
Maksudnya, jualannya konten kan, ya konten yang bagus yang
harus ditawarkan. Kalau Instagram ya fotonya harus bagus. Temanya harus
relevan. Dan sesuai target. Kalau targetnya orang yang suka foto, ya teknik
fotonya mesti oke. Kalau makanan, ya makanannya harus unik dan sekali lagi,
fotonya bagus. Kalau travelling ya harus sering jalan-jalan dan fotonya cakep. And so on. Intinya,
bukan cuma kualitas foto yang oke, tema di balik fotonya juga harus unik, dong.
Beda dari yang udah ada. Kalau sama, ya jalan menuju jadi influencer lebih sulit.
Tapi kalau enggak terlalu segmented, maunya bertema kehidupan sehari-hari ya harus kelihatan
banget lifestyle-nya. Soalnya, ketika
mengonsumsi media, orang selalu lebih senang melihat sesuatu yang di atas
mereka. Sederhananya, orang lebih ingin melihat kehidupan crème de la crème daripada yang keseharian mereka atau malah lebih
susah. Kecuali akun meme atau tukang
melucu, yah. Coba aja perhatikan orang-orang yang punya followers banyak. Mostly they
are loaded. Right? Atau ‘kelihatannya’ loaded.
Paragraf yang ini sih, pendapat saya, yah, ha-ha-ha.
Dua,
Rutin.
Kalau serius pengen jadi influencer,
ya postingnya harus rutin. Perhatikan juga jam posting mana yang kita dapet followers atau likes paling banyak. Begitu dapat pola yang sesuai, diulang. Bisa
juga pakai teknik menambahkan hashtag
yang lagi relevan. Sering-seringlah liat konten sukses orang lain, bisa belajar
dari situ juga.
Tiga,
Enggak fake.
Yang terakhir ini adalah yang membedakan user ‘dewasa’ dengan user yang mungkin masih mencari jati
diri. Saya suka ketika Keenan bilang, “jangan
ciptakan persona yang bukan diri kita sendiri di media sosial.”
Dia bilang begini setelah ada seseorang dari grup Ismaya
bertanya, “apa sih, kriteria seorang
influencer? Karena saya beberapa kali mengundang mereka dan ketika datang sama
sekali enggak representative. Diminta mencoba makanan tapi ternyata mereka juga
enggak mengerti makanan. Bukan ahli, hanya punya followers.”
Ternyata baik Keenan dan Ernanda juga beberapa kali kecewa
ketika bertemu influencer yang di
media soasialnya seperti oke banget, pas ketemu, enggak sesuai ekspektasi. Ini
bisa terjadi ketika seseorang jadi orang lain di media sosialnya demi followers. Syarat terakhir ini yang
akhirnya benar-benar membedakan sih, mana yang layak diajak kerjasama, mana
yang enggak, kalau menurut saya sebagai orang yang kerja di media.
Dipikir-pikir susah juga, yah?
Di satu sisi, kita pastinya ingin menampilkan rupa terbaik
dari diri atau hidup kita di media sosial. Tapi di sisi lain, kita enggak mau
kelihatan fake atau phony. Di sini, cuma hati kita sendiri
yang bisa jawab. Menurut saya sih, sebelum posting,
coba pikir aja, apakah followers akan
kecewa ketika ketika ketemu kita langsung?
Tapi sekali lagi, buat temen-temen di atas usia 18 tahun,
apalagi 30-an, media sosial kan cuma alat. Jangan sampai dia yang menentukan
hidup kita, sih. Justru kita yang harus pegang kendali mau melakukan apa
dengannya. Kalau enggak suka, enggak usah dipakai. Kalau mau diseriusin, ya
belajar. Enggak semua orang harus atau mau jadi influencer. Dan enggak apa-apa kalau enggak mau. Asal tetap tahu
apa sih media sosial itu, ya, kan?
Baca juga ulasan sesi ini dari website resmi Social Media Week
2016, di sini.
Akun sendiri terbengkalai, bener bangeeet. Cool stuff mbaknya. Thanks for sharing :)
ReplyDelete