Mendingan Ditolak Cowok Daripada Ditolak Tukang Ojek
*5 Penolakan yang Saya
Hindari Tapi Kadang Bikin Saya Susah Sendiri.
Ternyata enggak punya foto di Transjakarta. Adanya ini, tampil beda! |
Saya
enggak suka ditolak!
Iya….
masak iya ada yang suka ditolak?
Tapi
buat saya, penolakan efeknya bisa lama. Membatin. Bahkan untuk hal remeh. Tapi
menghidari penolakan ini malah kadang menyulitkan hidup saya sendiri. Kenapa?
Karena daripada mengambil kemungkinan ditolak, saya lebih memilih mencari jalan
lain yang bisa jadi lebih panjang atau lebih banyak pengorbanan. Dari semua
penolakan dalam hidup, akan saya kisahkan dengan mengalir (karena kata klien
tulisan saya kurang mengalir, mungkin karena bukan air), 5 penolakan yang saya
hindari tapi kadang bikin saya susah sendiri. Kecuali ditolak cowok, yah.
Soalnya udah enggak inget gimana rasanya. Dan kadang enggak bisa dihindari. Lebih sakit ditolak tukang ojek sih, seingat saya mah. Iya enggak?
Ditolak ketika minta tolong
Kata
orang Sunda sih, saya gede ku gengsi,
ibu bilang dari kecil saya udah gengsian. Buat saya, minta tolong itu hampir
seperti merendahkan diri. Sebelum minta tolong, biasanya saya sudah mempertimbangkannya
berkali-kali. Dan kalau pada akhirnya minta tolong, itu udah cukup putus asa,
enggak ada cara lain. Jadi, ketika putus asa lalu ditolak, rasanya lebih sakit
dari putus asanya. Saya juga cuma berani minta tolong sama inner circle. Itu pun kadang masih enggak enak hati dan bakal
selalu merasa hutang budi. Dan males ditolak ketika minta tolong, bikin saya
susah sendiri.
Contoh
kasus:
Jam 12
malam saya tiba-tiba sakit perut. Minum obat maag dan pake cajuput oil lalu
tidur aja, deh. Eh jam 1 kebangun. Lalu mulai buang air berkali-kali disusul
muntah. Terus aja gitu sampai jam 3. Tidur aja deh sampe pagi, baru ke dokter.
Eh, sakitnya melilit sampai enggak bisa berdiri tegak. Bingung harus gimana
karena ngekos. Lalu iseng coba telepon teman di kamar atas, tapi kan masih jam3
yah, dia angkat tapi kayaknya enggak bangun. Mungkin dia ngelindur. Lalu iseng
pesen Gojek siapa tahu aja ada yang mau. Eh ada. Naik Gojek deh ke Siloam,
bayar, lalu minta abangnya nunggu. Pas masuk UGD ternyata harus rawat inap
karena infeksi lambung dan darah putih nge-drop. Dengan tertatih-tatih
dan terbata-bata nelepon abang Gojek untuk enggak jadi nunggu. Abangnya pulang.
Dia bilang begitu. Pas temen-temen nengok di rumah sakit, ada beberapa yang
nanya, salah satunya teman yang kamar kosnya di sebelah, "kenapa enggak
bangunin aku?" *kruk kruk kruk bunyi
perut yang meilit dan gugup enggak tahu mau jawab apa…
Ditolak sama perusahaan
Wawancara
kerja itu asik pas ngobrolnya tapi enggak asik pas nunggu jawabannya. Apalagi
pas nerima email jawaban kalau proses recruitment enggak berlanjut. Adegan butiran debu terbang terbawa angin. Dan
males ditolak sama perusahaan, bikin saya susah sendiri.
Contoh
kasus:
Saya
masih kerja di tempat yang sama selama hampir 7 tahun. Butuh contoh lain? I don’t think so.
Ditolak sama tukang ojek
dan supir taksi
Ini
sih yang luar biasa. Penolakan dari kedua profesi ini baru saya alami sejak
pindah ke Jakarta. Beberapa kali saya ditolak sama tukang ojek karena dia minta
bayaran lebih dari tarif yang biasanya. Dengan alasan macet. Malah, pernah juga
udah naik lalu tiba-tiba dia minta lebih karena dia anaknya sakit. Begitu saya
bilang, tarif biasa aja, dia puter balik lalu kasih saya ke tukang ojek
lainnya. Lalu yang lain kan jadi awkward.
Lalu saya memilih jalan kaki. Sejak saat itu saya enggak suka naik ojek.
Ditolak
supir taksi juga beberapa kali. Paling yahud kalau ditolak ketika udah buka pintu mau naik,
misal bilang mau ke Jalan Panjang. Lalu dia bilang enggak mau ke sana karena lagi
macet. Sering pula melambai lalu abangnya cuma lirik-lirik PHP. Sejak saat itu
saya males banget naik taksi. Kecuali sama teman dan dia yang pesan atau
lambai. Saya tinggal ikut bayar. Kalau sendiri? MALES. Udah mahal, sombong.
Tapi males ditolak sama tukang ojek dan supir taksi kadang bikin saya susah sendiri.
Contoh
kasus:
Enggak
naik taksi atau ojek di Jakarta pilihannya naik Transjakarta atau angkutan umum
lainnya. Janjian sama temen di Senopati? Die.
Jauh amat dari halte Transjakarta terdekat di Polda Metro Jaya. Lalu, tiap kali
ketemuan sama teman di Jakarta Pusat atau Selatan, sebelum jam 9 malam harus udah
pulang. Naik Transjakarta di atas jam 10 malam itu repot pas turunnya, karena
harus naik angkot lagi ke gang kosan. Angkotnya pun cuma beroperasi sampai jam 10 juga.
Tapi sejak ada Gojek, Grab, dan Uber dunia saya pun meluas. Semua tempat hanya
one order away. Enggak, saya enggak dibayar sama ketika aplikasi ini. Dear Gojek, Grab, dan Uber, you’re welcome.
Silakan top up akun saya astri.arsita@gmail.com.
Ditolak ketika menawarkan
Enggak
bakat jadi penjual atau sales memang.
Ini menawarkan apa saja, ya. Jadi saya lebih suka menyampaikan informasi
berbentuk FYI saja, enggak nawarin.
Bahkan, kalau saya dari luar kota dan bawa oleh-oleh, saya enggak suka nawarin
ke orang lain. Males ditolak. Ha ha ha. Dan merasa apa yang saya punya mungkin
enggak relevan untuk orang lain. Jadinya kalau saya punya makanan cuma suka FYI sama salah seorang teman, lalu
berharap dia yang nawarin ke yang lain. Korban terakhir adalah Nana sang campaigner, sesuai dengan tipe kepribadian
Myers Briggs-nya, walau dia enggak mengakuinya. Walau saya lupa juga sih tepatnya apa. Tapi, males menawarkan ini
kadang bikin saya susah sendiri.
Contoh
kasus:
Saking
malesnya nawarin, saya pernah punya mochi Jogja satu kotak penuh yang berjamur
di kosan. Udah jauh-jauh ke tokonya buat beli, udah bawa naik kereta dari
Lempuyangan ke Pasar Senen, lanjut Gojek ke Kebon Jeruk. Sungguh terlalu. Dan
kejadian kayak gini berulang kali terjadi. Maafkan
saya adik-adik di belahan dunia sana yang kelaparan, saya berdosa.
Ditolak ketika ngajak
ketemuan
Enggak
tahu kenapa, kok rasanya nagging aja
kalau ngajak ketemuan duluan. Padahal kalau ada yang ngajak, saya senang (pakai
banget). Dan hampir selalu meluangkan waktu untuk hadir kecuali memang enggak bisa
(pakai banget). Tapi males ditolak ketika ngajak ketemuan kadang malah bikin
saya susah sendiri.
Contoh
kasus:
Sabtu
dan Minggu menggeletak di kosan. Bosan.
Comments
Post a Comment