Diam itu emas. Tebak, siapa yang enggak punya emas?
5 kejadian di mana
saya semestinya tutup mulut saja
“Sometimes, we decide
to keep silent not because we have nothing to say. Sometimes, it because we
know the world wouldn’t be ready to hear what we’re going to say.”
Saya pernah baca kutipan itu di suatu tempat. Mungkin enggak
tepat seperti itu, tapi inti pesannya sama. Kadang kita diam bukan karena
enggak punya pendapat. Atau enggak paham. Tapi kita memilih diam karena kita
tahu, kata-kata yang akan keluar dari mulut kita, apa yang sebenar-benarnya
ingin kita ungkapkan, lebih baik enggak pernah didengar manusia lain.
Ini sesuatu yang saya yakini sejak lama. Tapi kadang masih
suka lupa. Karena saking seringnya saya ngobrol dengan pikiran saya sendiri, dan
responnya positif, ketika saya ngobrol sama orang lain, kalimat itu menyembur
begitu saja. Tepat sedetik setelah kalimat itu menyuara, saya biasanya langsung
menyesal. Atau, kalau saya pikir pendapat-pendapat itu layak, tapi respon teman
saya negatif, baru kepikiran semalaman. Atau selamanya. Seperti lima kejadian
di mana saya semestinya tutup mulut saja ini.
“Pakai kerudung pas Lebaran doang itu munafik”
Lokasi kejadian di perjalanan menuju sholat Idul Adha di
rumah. Lagi jalan sama mamah dan seorang ibu-ibu tetangga. Lalu saya ditanya
kenapa enggak pakai kerudung. Padahal ibu itu tahu saya enggak pakai kerudung.
Dia bilang, seenggaknya pakai aja di hari Lebaran. Lalu, terlemparlah kalimat
itu dari mulut saya.
Ini saya baru aja masuk kuliah. Masih suka menggunakan kata
yang pedas dan menganggap setiap kali ada orang bertanya adalah peluang
berargumentasi. Padahal, ibu itu mungkin basa-basi. Harusnya saya diam aja dan
jawab dengan senyuman. Masing ingat gimana wajah mamah dan tetangga saya waktu
itu. *emoji monyet tutup mata*
“Untung kamu enggak bunuh diri”
Teman saya cerita dia baru putus. Setelah putus nyambung
beberapa kali karena masalah besar yang sama, dia bilang mereka putus for good. Cowoknya ngajak balikan tapi
dia tahu mereka bakalan putus karena alasan yang sama lagi suatu saat nanti.
Kejadiannya menjelang dia ulang tahun. Dan dia waktu itu sakit. Dan dia tinggal
sendirian, seperti saya. Dan dia lagi enggak kerja karena baru resign.
Lalu saya komentar begitu. Maksudnya saya mau bilang dia hebat
karena udah kuat. Dan saya tahu dia orang beriman, enggak mungkin bunuh diri
malah mungkin enggak kepikiran. Tapi yang terlintas itu. Mestinya saya diam
aja, senyum.
“Jangan-jangan kamu sukanya sama cewek”
Jadi teman saya ini single. Tiap kali deket sama cowok, ada
aja sesuatu tentang cowok itu yang mengganggu. Malah, belum ngasih kesempatan
buat si cowok itu mendekat, dia udah bisa melihat apa yang dia enggak suka.
Luar biasa memang kemampuan teman saya ini, hi-hi-hi. Lalu ketika dia ngeluh
kenapa susah banget ketemu sama cowok yang tepat, saya komentar seperti itu.
Dengan muka lempeng. Tapi saya ingat setelah itu saya tertawa. Sampai pulang
juga saya enggak merasa ada yang salah. Sampai akhirnya si teman kirim chat message bilang dia jadi kepikiran.
Ha-ha-ha. Langsung minta maaf.
“Aneh banget, ngarepin orang lain terus”
Setelah ngomong gini, dengan sok tahunya, saya ngomong
panjang lebar betapa semua hal yang kita inginkan di dunia ini harus kita coba
dapetin sendiri. Enggak nunggu bantuan teman, enggak berharap uluran tangan
atasan, enggak berdoa ada rejeki nomplok.
Kenapa sok tahu? Soalnya saya ngomong gini sama bapak saya
sendiri. Waktu itu dia berumur 50an awal. Saya kuliah. Habis dengerin saya
ngomong, bapak cuma senyum. Saya yakin, dia diam bukan karena enggak tahu harus
ngomong apa, ha-ha-ha. Tersenyum tapi hati menangis.
“Kenapa sih, mamah punya anak?”
Yang ini udah minta maaf setiap Lebaran. Tapi enggak tahu,
deh, mamah inget enggak saya pernah ngomong begini. Mungkin banyak kata-kata
lain saya yang lebih menyakitkan. *kemudian
hening. Lalu sayup-sayup terdengar lagu Iwan Fals, ribuan kilo jarak yang kau
tempuh*
Kalimat ini terlontar ketika sama masih SMP, kulit saya
lebih hitam dari sekarang, badan saya lebih pendek dari sekarang, rasa percaya
diri saya hampir nol, dan saya lagi patah hati. Saya bilang kalau saya marah
karena dilahirkan. Karena harusnya mamah tahu, kalau gen mamah dan bapak
digabung, itu jadinya anak cewek jelek, seperti saya. Ha-ha-ha. Saya pikir anak
SMP lain juga berpikir kayak gini dan bilang gini ke ibunya. Enggak, toh? *emoji keringet menetes dari kening*
Bersamaan dengan tulisan ini, saya memohon maaf kepada semua
orang yang telah mendengar kalimat-kalimat ajaib yang keluar dari mulut saya.
Selanjutnya, saya akan lebih berhati-hati. Akan lebih banyak diam. Demi
mengumpulkan bongkahan emas.
**Kosong adalah isi. Isi adalah kosong. Amithaba.
Comments
Post a Comment