Setelah menikah, satu-satunya harapan orang lain terhadap saya adalah, hamil
“Udah isi?” Pertanyaan ini pertama kali saya terima, dua minggu setelah menikah. Awalnya saya enggak paham maksud pertanyaan ini. Lama-lama saya ngeuh kalau ini adalah bahasa pergaulan untuk bertanya apakah seseorang sudah hamil atau belum.
Pertanyaan ini datang dari orang dengan berbagai latar
belakang relasi terhadap saya. Dari ibu sendiri sampai teman SMA yang lama
sekali enggak bertemu. Udah isi ini
semacam latah yang akan otomatis terucap ketika bertemu dengan pasangan
pengantin baru.
Contoh penggunaannya dalam kalimat:
“Geus eusi, can?”
Asep, 30 tahun, bertanya dalam bahasa Sunda.
“Si Kanaya udah lima
bulan, lho. Kamu udah isi belum?”
Dewi, 27 tahun.
“Astri, apa kabar,
gimana, sibuk yah? Udah isi belum?
Saudara saya, lupa usianya, via WhatsApp.
“Abis ngobrol sama
tetangga, katanya kamu udah isi belum?”
Ibu saya, 60 tahun, via WhatsApp.
“Acil makan mulu, udah
isi, nih,”
Drew, 35 tahun.
“Si Meri jago banget
deh, baru dua bulan nikah udah langsung isi. Kamu belajar deh sama dia, biar
langsung cuss.”
Yence, 28 tahun (setengah bergosip).
“Acil, gimana ini aku
udah mau setahun nikah belum hamil. Temen-temen aku udah pada punya anak. Aku
kenapa belum aja? Ah, gimana kalau kamu isi duluan?”
Alda, 27 tahun (yang sekarang sedang hamil).
*semua nama di atas
bukan nama yang sebenarnya*
Jikalau pertanyaan adalah doa, sopannya memang diamini.
Berbagai jawaban mulai saya telusuri. Mulai dari, “belum doanya aja,” sampai yang berusaha sedikit jenaka “udah isi, nasi.” Tapi dari pengalaman
saya berusaha membaca raut wajah orang, jawaban mana pun tidak akan sememuaskan
kalau saya menjawab “Alhamdulillah, udah
lima bulan.”
Ya, udah, sabar aja.
Betul?
Sebenarnya bukan enggak sabar. Tapi ketika pertanyaan
semacam ini berulang dan menggaung dalam beberapa tahun terakhir, wajar kalau
saya mulai jengkel. Bagaimana maksudnya berulang? Rasanya baru kemarin saya
bergelut dengan pertanyaan “kapan kawin?”
Dan saya baru lepas dari pertanyaan ini dua bulan lalu. Enam puluh satu hari
yang lalu. Dan sekarang, ini.
Penasaran.
Saya googling artikel di Psychology Today. Salah satu situs yang seringkali membantu saya
mengurangi kegalauan yang disebabkan perilaku manusia.
Termasuk perilaku saya
sendiri.
Artikel Why People Ask You Awkward and Annoying
Questions bilang, setidaknya ada 6 alasan kenapa seseorang menanyakan
pertanyaan menyebalkan semacam ini.
Inability to emphatize with someone else feeling
Sang penanya bisa saja merasa kalau pertanyaan macam itu
sah-sah saja untuk ditanyakan. Di artikel ini lebih disebutkan kalau orang yang
bersangkutan menderita mental disorder
yang membuatnya tidak bisa berempati pada orang lain. Semisal bipolar disorder
atau autisme.
Rebelliousness
Sifat yang mungkin terkandung dalam diri banyak orang, ingin
melawan sistem sosial dan enggak mau sama dengan kebanyakan. Pola pikirnya
sederhana, “emangnya kenapa saya enggak
boleh nanya itu?” Sederhana, ya?
Envy
Ini kayaknya enggak perlu orang dengan latar belakang psikologi
untuk bilang kalau kadang orang yang annoying
itu memang sirik aja. Tapi, kalau yang bilang situs psikologi terpercaya jadi kutip-able, kan? *manusia* Perasaan ingin
membuat orang lain enggak nyaman ini berhubungan dengan perasaan cemburu atau
iri.
Identification with the aggressor
Yang ini bahaya banget, menurut saya. Psychoanalyst bilang
kalau, ketika kita pernah disakiti, lalu melihat orang lain mengalami hal yang
serupa, alih-alih bersimpati, kita justru mengambil peran si pelaku yang menyakiti
kita. Misalnya ospek, deh. Karena dulu pernah dikerjai senior, ketika kita
senior malah mengulangi sejarah. Bukannya simpati sama anak baru dan memutus
polanya. Dengan pemikiran, karena saya
pernah mengalaminya, orang lain harus mengalaminya juga. Balik lagi ke
penjelasan psychoanalyst, perilaku macam ini bisa memberikan perasan kuat dan
berkuasa bagi si pelaku. Sad. But true.
Comes from the heart
Oke, akhirnya ada satu penjelasan positif soal kenapa orang
suka menanyakan pertanyaan yang menyebalkan ini. Bisa jadi kalau terkadang, kepo artinya sayang. Seseorang bertanya
karena ia peduli dan kalau bisa mau membantu, andai kita mau berbagi apa yang
sedang kita alami. Saya penasaran, dari semua orang yang pernah bertanya pada
saya, berapa yang comes from the heart?
Jikalau kamu, yang lagi baca ini, pernah bertanya sama saya, saya yakin kamu
salah satunya. *blow kiss*
Try to make connection
Dari semua penjelasan, kayaknya yang terakhir ini yang
paling sering terjadi. Kita selalu berusaha berkomunikasi dengan mahluk lain.
Berusaha menciptakan hubungan. Salah satunya adalah dengan small talks yang (sayangnya) di dalamnya kadang termasuk pertanyaan
yang menyebalkan ini. Tapi satu hal, selain ini adalah sebuah tindakan yang
sangat manusiawi, ini pun, datang dari niat yang baik. Kan?
Jadi setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit
buat browsing dan akhirnya membaca
artikel ini, simpulan yang saya dapat sebenarnya bisa saya capai dalam dua
menit. Andai saya memilih untuk berprasangka baik, “mereka maksudnya baik, kok, pengen saya senang segera punya momongan.
Amin aja.”
Tapi,
Buat saya, paham akan sesuatu lebih memuaskan daripada
berprasangka, baik atau buruk. Pemahaman bisa jadi landasan yang lebih konkrit
untuk lain kali ketika saya akan menjawab, “belum,
doain, yah,” ketika ditanya “udah
isi, belum?”
Semoga, pada saatnya nanti, saya enggak menjawabnya sambil
menggelengkan kepala atau memutar bola mata. *finger crossed*
Comments
Post a Comment