Sejak kapan hidup yang sekarang, enggak cukup?

Perjalanan menuju self contentedness


Manusia enggak pernah puas. Klise, ya? Pasti langsung males bacanya. Semua pertanyaan atau pernyataan yang mendasar, benar, tapi berulang, jadi terdengar klise. Dan kehilangan makna. Satu frasa ini saja, udah membuktikannya. Iya, enggak sih? Manusia memang enggak pernah puas. Lama-kelamaan kita enggak mau mengucapkan frasa ini lagi, karena berharap ada cara lain buat mengungkapkan; betapa, manusia itu, enggak pernah puas. Dengan cara yang enggak klise.

Enggak cuma buat kata-kata, rasa enggak puas itu selalu muncul. Kadang, di saat-saat yang enggak disangka. Walau lebih sering, saat kita merasa bosan, stagnan, atau kurang tantangan.

Sejak kapan, hidup yang sekarang enggak cukup?

Yang enggak punya pacar, berharap punya pacar. Sudah punya, pengen menikah, sudah menikah pengen punya rumah, belum mobil, lalu anak. Sudah punya anak, pengen anaknya pintar, sekolah di sekolah bagus, pengen tubuh tetap terawat, pengen punya keahlian tambahan, pengen punya dapur lengkap, pengen jalan-jalan ke luar negeri, pengen suaminya naik jabatan, pengan dipandang sukses, pengen… keinginan yang selalu diekori keinginan lainnya. Lalu, kapan puas dan merasa cukup?

Atau merasa cukup itu enggak cukup?

Pertanyaan ini melintas pagi itu, waktu saya berjalan kaki menuju kantor. Apakah seharusnya saya merasa cukup? Atau memang saya harus terus haus, mencari yang harus saya cari dan enggak merasa cukup? Perjalanan saya ke kantor sebenarnya enggak lebih dari sepuluh menit. Lima menit jalan kaki, lima menit dilanjut angkutan umum. Tapi pagi hari, adalah saat-saat di mana banyak pertanyaan muncul di kepala. Lalu, sebelum sampai jalan raya tempat saya menunggu angkutan umum, saya bertemu dengan pertanyaan utama, pertanyaan yang menjadi dasar; sebenarnya, mau saya ini apa?

“Happiness is self contentedness,” Aristotle.

Stumbling upon the internet, tiba-tiba saya berasa di laman zenhabits.net. Sesuai alamatnya, tulisan di situs ini berhasil menenangkan, zen. Di laman ini saya membaca, merasa cukup bukan berarti terlepas dari keinginan. Being content with our life doesn’t mean that we are free from wants.

Lahir dari dua orangtua yang penuh harapan, setiap anak pasti dituntut untuk berusaha mencapai sesuatu. Masuk ke bangku sekolah yang mendidik kita untuk bersaing dan menduduki peringkat. Terjun ke masyarakat dan dunia kerja yang menuntut kita selalu memperbaharui diri dan berinovasi. Manusia selalu menginginkan lebih, karena memang dicetak untuk menjadi demikian. Dan karena ketika kita enggak punya keinginan lebih, kita akan berhenti berusaha. Yang sama saja dengan menyerah, enggak hidup.

Yang harus dipelihara, situs ini bilang, adalah self contentedness. Merasa cukup akan diri sendiri. Siapa diri kita, apa kemampuan kita, dan semua yang kita miliki. Dan menyadari, manusia akan selalu berusaha meningkatkan diri, sebahagia apapun kita. Bukan merasa puas dengan situasi hidup kita saat ini dan enggak berusaha meningkatkannya.

Lalu sang penulis pun memberikan beberapa cara gimana kita bisa mencapai self contentedness yang menurut saya terlalu text book. Bo-ring. Tips ala motivator atau quotes yang sering kita baca di Pinterest. Mulai dari count your blessing, focused on the good side, and all that crap. Untuk yang suka tips seperti ini bisa langsung baca di sumbernya, klik di sini


Tapi walaupun enggak suka tips-nya, ada satu istilah yang paling menggugah buat saya. Di salah satu bagian tulisan ini, sang penulis, yang juga menerbitkan buku Essential Zen Habits ini menyebutkan simplicity. Contentedness is at the core of simplicity.

Simplicity adalah mengulas dan mempertanyakan mengapa kita merasa ingin lebih. Dan menyelesaikan masalah itu di akarnya. Inti masalah mengapa kita menginginkan lebih dengan menimbang apa yang sudah kita punya. Begitu kita mendapatkan jawabannya dan belajar merasa cukup, kita enggak akan menginginkan lebih lagi. Kita akan belajar menerima keadaan dan menikmatinya. Tanpa disiksa lagi perasaan ‘enggak cukup.’

I do, need to simplify my life. Wait. Nope, it’s my way of thinking. You?



Comments