Mungkin, setiap baru pacaran, harusnya sambil nyicil barang?
5 komentar teman ketika mereka tahu berapa lama saya pacaran
Saya butuh waktu tiga bulan buat memutuskan mau beli sepatu
yang mana. Enam bulan untuk mempertimbangkan sebelum akhirnya beli handphone baru. Dan empat tahun untuk
akhirnya beli laptop. Semua proses
diawali dengan keinginan yang tiba-tiba timbul, mencari tahu informasi soal
barangnya, lalu menimbang-nimbang jumlah uang yang akan dikeluarkan. Kebayang, dong, berapa lama waktu yang saya butuhkan
untuk akhirnya memutuskan berbagi hidup sama seseorang?
Hampir, sepuluh tahun.
Saya kenal Irfan waktu masih kelas dua SMA, dia kelas tiga.
Tanpa proses PDKT yang standar, Irfan memang kelihatan banget ngedeketin. Tapi enggak pernah terang-terangan nyatain. Lalu dia lulus, lanjut kuliah. Saya sibuk jadi anak kelas tiga SMA. Tapi dia
enggak pernah hilang dari hidup saya. Walaupun enggak intens, ada momen-momen
Irfan hadir. Ulang tahun. Tahun baru. Atau kadang dia cuma SMS nanya atau
ngabarin. Saya enggak akan nyeritain gimana detailnya. Kayaknya seru dibuat
cerita sendiri dengan bahasa ala-ala Paulo Coelho. Nanti saya coba. Kapan-kapan.
Ternyata, takdir mengatakan saya enggak lolos pilihan
pertama SPMB (Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru – tahun 2004 istilahnya ini)
Managemen Unpad. Tapi lolos pilihan ke-dua, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom)
Unpad. Eh, Irfan udah kuliah duluan di sana, satu tahun. Awalnya saya lupa.
Ingatnya dia mau kuliah Kedokteran, soalnya dia pintar. Pernah ranking satu di
SMA. Saya? Kayaknya ketika dia ranking satu, saya lagi ada di kelas tambahan
buat siswa yang nilai rata-rata ulangan matematikanya di bawah enam. Itu saya,
sama lima atau tujuh anak lainnya. Ha-ha-ha.
Kebetulan saya baru putus. Dan di kampus jadi lebih punya
banyak waktu buat saling mengenal. Banyak aktivitas di luar kelas, banyak
adegan menunggu, kebetulan saya dan Irfan juga enggak kos. Jadi banyak waktu
dalam perjalanan Jatinangor ke Bandung dan Cimahi. Akhirnya, kami jadian di 7 September 2005. Di
Jatinangor. Enggak nyangka, sepuluh tahun kemudian kami menikah. Tanpa
putus-nyambung. Walaupun ada lah, masa-masa yang mungkin bisa menginspirasi
Adele bikin lagu.
Kadang saya dan Irfan enggak habis pikir. How things falls into places. Kalimat
barusan, pengennya ditulis dalam bahasa Indonesia. Tapi kok, bingung. Bagaimana semua hal bisa dengan begitunya terwujud?
Kayaknya enggak begitu deh, bahasa Indonesianya. Eumm. Balik ke cerita. Tapi ternyata bagi orang-orang di sekitar
saya, lebih enggak habis pikir lagi, berapa lama kami pacaran! Ha-ha-ha.
Iya, sepuluh tahun.
“Putus berapa kali itu?”
Dan ketika saya jawab, enggak putus, si teman membelalak
enggak percaya. Dilanjutkan dengan pertanyaan “kok, bisa? Saya jawab, “enggak
tahu.” Lalu saya lanjut jawab, “karena
enggak ada lagi yang mau sama saya,” atau “karena enggak ada orang lain yang bikin saya tertarik.”
Padahal saya percaya kalau cinta atau keadaan in love itu akan luntur setelah dua
tahun, paling lama. Ini saya pernah nonton dokumenternya di Natgeo Channel.
Sisanya adalah familiar, persahabatan, dan komitmen. Makanya banyak yang putus
karena udah enggak dalam fase in love.
Tapi ya memang, enggak ada orang lain yang bisa bikin saya berpikir kalau dia
lebih baik dari Irfan, sih.
“Kamu anaknya enggak bosenan, yah?”
Seringkali, lagi makan, saya berhenti. Bukan kenyang. Tapi
bosan. Tapi kalau sudah menyangkut sama manusia, saya bukan pembosan. Kalau
saya sudah suka sama seseorang, sebagai teman atau orang spesial, mereka bakal
jadi my people, inner circle, orang-orang terpilih Karena saya sulit suka atau
dekat sama orang lain. Most people
annoyed me.
“Kalo nyicil mobil udah lunas!”
Kalimat-kalimat sekenanya gini, nih, yang paling asik. Asik
buat diketawain aja. Enggak usah dijawab. Ya mana kita tahu kan, yah, mau
berapa lama sama siapa. Mungkin di awal relationship,
kita harus mulai menyicil sesuatu bersama. Nanti pas putus jadi punya harta
gono-gini. At least, ada peninggalan
selain kenangan dan patah hati? *Emoji muka rata*
“Dan masih belum diajak kawin? Putusin!”
Pasti punya, dong,
tipe teman yang seperti ini. Yang merasa memegang buku pedoman garis-garis
besar dan aturan dalam hubungan laki-laki dan perempuan? Komentar ini sungguh
menggemaskan. Kalau komentar lain biasanya membuat saya senyum maklum, yang ini?
Senyum terpaksa. Karena nilai seorang laki-laki adalah berani atau enggak
ngajak kawin? Karena asumsinya semua perempuan sangat menanti-nantikan diajak
kawin? Baik. Akan saya hentikan sebelum tulisan saya semakin nyinyir.
“Kalian nunggu apa lagi, sih?”
Ini berasal dari teman dekat saya yang memang peduli sama
masa depan saya. Itunya dua puluh persen. Delapan puluh persennya kayaknya dia
enggak paham saja sama pola pikir saya, he-he-he. Wajar. Saya aja kadang suka
enggak paham sama pola pikir saya sendiri. Lalu saya jawab, mengutip Facebook
di masa-masa kejayaannya, “it’s
complicated.”
Ini bener2 orang yang sanggup berkomitmen dengan baik, gak mudah loh pacaran dengan waktu yang lama, itu klo di terusin nikah tambah mantap
ReplyDeleteThank you very much, this article is very helpful 😊
- Tips Pria
- Tips Pria
- Tips Pria
- Tips Pria
- Tips Pria
- Tips Pria