Jadi, menikah itu, impian siapa?
Kenapa saya enggak menikah di usia 22
Memangnya siapa yang yang menikah di usia 22? Ibu saya. Dan
ada juga beberapa orang yang menikah di usia itu, tampaknya.
Jadi pengantin itu
impian Usagi Tsukino
Pertama kali saya sadar kalau perempuan itu umumnya punya
impian untuk menikah itu, waktu masih SD. Sekitar kelas dua SD. Pulang sekolah
nonton anime favorit sepanjang masa, Sailor Moon. Di salah satu episodenya,
Usagi Tsukino si Sailor Moon bilang kalau cita-citanya adalah menjadi pengantin
yang cantik dan menikah dengan laki-laki impiannya. Minako Aino si Sailor Venus
dan Makoto Kino si Sailor Jupiter juga sama. Ini tentunya di episode awal,
sebelum mereka semua sadar kalau impian utama mereka adalah melindungi
orang-orang yang dicintai dengan kekuatan super seorang pahlawan Sailor.
Sejak saat itu saya ngeuh. Tiga dari lima perempuan seperti
itu. Tapi masih ada juga yang seperti Ami Mizuno si Sailor Mercuri yang lebih
memikirkan cita-citanya menjadi dokter, ilmuwan, bahkan astronot. Dan Rei Hino
si Sailor Mars favorit saya yang lebih terobsesi menempa diri dan intuisinya
juga melanjutkan kewajiban keluarganya menjaga kuil Shinto milik sang kakek.
Dan saya mulai terdengar geeky.
Pacaran itu sementara
Enggak punya role
model pasangan menikah yang happily
ever after ketika usia saya belasan cukup mempengaruhi pendapat saya soal
pernikahan. Sejak pertama kali pacaran pun, kelas tiga SMP, saya selalu
berpikir pacaran itu sementara, sampai putus. Ketika jadian, saya selalu tahu,
suatu hari saya bakal putus. Sesuka apa pun saya sama si cowok. Enggak ada
Prince Charming. Enggak ada the one.
Enggak ada jadi pengantin yang cantik yang menikah di Bulan Juni. **Kenapa sih, bisa ada anggapan pengantin
bulan Juni pasti bahagia? Ini masih kata Usagi Tsukino. Apalagi di zaman
kuliah, kenalan sama banyak pribadi cewek yang mandiri dan enggak bergantung
sama cowok. Baru belajar apa itu feminisme. Baru kenal sama teman-teman yang
dengan penuturan ilmiahnya mencoba menentang banyak aturan sosial yang udah
kuno. Menikah, makin tidak terlihat dalam daftar impian saya.
Jadi, paham lah ya, di usia 22 saya masih menyusun skripsi.
Skripsi yang sengaja saya pilih tema yang menyenangkan supaya saya semangat
mengerjakannya. Lagi asik bekerja, walau awalnya terpaksa karena uang jajan
sudah diputus. Dan lagi asik sama pacar yang hanya berbeda satu tahun yang juga
sedang sibuk memikirkan tema skripsinya. Semuanya teratur, sesuai, dan
memuaskan. Bahagia. Sama sekali enggak memikirkan soal menikah. Pendapat saya
masih sama. Bahkan sampai saya pindah ke Jakarta, LDR, dia menyusul ke Jakarta,
SDR. Masih, bukan impian saya.
Impian semua ibu,
kan, yah?
Setiap orang berkembang dan menjadi dewasa dalam jangka
waktu mereka sendiri. Tampaknya. Bukan karena usia. Dan di usia 28, menikah
mulai terdengar masuk akal. Kenapa? Saya sudah bersama pacar hampir selama
sembilan tahun, dan mengenalnya bahkan beberapa tahun sebelumnya. Dan ternyata,
pacaran yang satu ini, sementara tapi lama. Walaupun harus diakui ada juga
pengaruh ibu yang selalu bertanya (baca:
memaksa) saya harus segera menikah. Tapi, alasan utama yang membuat menikah
itu masuk akal adalah orang yang saya pikir akan menikah bersama saya.
Selama Sembilan tahun, saya sama sekali enggak tertarik sama
orang lain. Komunikasi semakin baik. Bisa mengatasi perbedaan pendapat. Bisa
menerima kekurangan masing-masing. Dan ada satu momen penting yang saya alami
ketika pulang dari screening film The
Book of Eli di Plaza Indonesia, saya sedang jalan menuju halte Transjakarta
Tosari, seperti biasa saya melamun. Kalau memang dunia ini mengalami
apocalypse, saya dikasih dia aja merasa cukup, untuk bertahan hidup. **Setelah saya baca, malah terdengar basi.
Padahal pada momennya bagaikan sebuah epiphany. Ha-ha-ha. Ditambah kalau
enggak menikah, enggak bisa tinggal bersama. Saya enggak hidup di alam FRIENDS atau Sex and The City, tampaknya.
Dan saya makin terlihat geeky.
Jangan lupakan hormon. Enggak usah disalahkan, sih, asal
jangan dilupakan aja. Kombinasi kesemuanya membuat menikah semakin masuk akal.
Tinggal ada yang ngajak aja. Iya, kan?
Ternyata impian pacar
saya
Pacar sudah biasa saya ajak ngobrol malam ngalor-ngidul.
Saya cerita soal pemikiran saya. Soal betapa pendapat saya yang berusia 22
sudah berbeda dengan saya yang berusia 28. Dan ternyata, menikah ada di daftar
hal yang ingin dia lakukan dalam hidup. Tapi selama ini, dia menunggu saya
menginginkannya juga. Dan di Desember 2014, ketika saya berusia 28, dia
mengajak saya plesir ke museum Ulen Sentalu, Yogyakarta.
Setelah tur selesai, kami berdiri di taman belakang. Sudah
sore, kami tur terakhir untuk hari itu. Yogyakarta sedang hujan. Dan ketika
saya memalingkan muka, dia menyodorkan buket bunga mawar. Ada cincin di bagian
tengahnya. Kata dia sih ada cincinnya. Saya enggak bisa menemukannya. Lalu entah
bagaimana caranya dia memegang cincinnya, and
pop the question. Saksinya cuma patung Dewi Sri. Pacar saya, eh tunangan,
memang tipe romantisnya seperti ini.
Lalu ketika saya tanya, “jadi kita beneran mau nikah, nih?
Kapan?”
“Dibahasnya 2015 aja, yah. Januari,” kata dia.
“Oke.”
Lalu kami makan. Di café Kebun, Tirtodipuran. Di lantai dua.
Di luar, langit sudah gelap dan masih gerimis. Suasana dan keadaannya membuat
saya mikir, pacaran itu memang sementara. Kalau enggak putus, ya, nikah. Dan
saya, bahagia. Seperti berusia 22.
Masalahmu terkadang bagai perbandingan antara debu dan krikil dibandingkan mereka. Kamu menangis karena lemah, sedang mereka menangis karena ............. https://www.itsme.id/bermimpi-ditengah-bom-yang-menderu/
ReplyDeleteYuk Coba Keberuntunganmu Setiap Hari... Join Disini Sekarang Kumpulan Berbagai Macam Permainan Taruhan Online Terbaik di Indonesia, Kunjungi Website Kami Di Klik Disini dan Dapatkan Bonus Terbaru 8X 9X 10X win klik disini untuk mendapatkan akun Sabung Ayam anda dan Bonus Berlimpah.
ReplyDelete